West Papua, with its dense forests, is trying to find different development areas to reduce poverty while maintaining the forests as they are. Deforestation remains low in these regions as there are no major commodities for alternative land uses. However, the region could follow the same development pathway as other islands, where timber production will be the first activity that opens up the forests, and the secondary activity would be that forests are further replaced with monoculture plantations. This is particularly because non-timber forest commodities harvested in the forest have low value as they do not have a market.

\
So, how can West Papua develop while maintaining its forest cover? \n 

We tried a model of an alternative development pathway for forested regions through the jurisdictional approach in the Fakfak district in West Papua. Since 2016, Kaleka has been working to protect the environment of highly forested districts in West Papua province, while improving the welfare of indigenous, rural communities. Fakfak District, in West Papua province, faces the Maluku Islands, and historically, it has long been integrated into the spice trade, exporting its local variety of nutmeg, Papuan nutmeg *(Myristica argentea Warb),* which is locally known as *Pala Tomandin*. Papuan nutmeg is commercially grown in the Fakfak and Kaimana districts in West Papua, with most of the production concentrated in the Fakfak district. Nutmeg is cultivated in wild and semi-wild forests by indigenous farmers in lands owned and managed under customary laws. Despite being registered as a geographical indication in 2014, as Pala Tomandin, the demand and price for Papuan nutmeg remains low. Consequently, nutmeg farmers often have diversified livelihoods such as fishing, seaweed cultivation, or farming other crops. Deforestation has remained relatively limited in Fakfak District. However, the period from 2010 to 2016 saw a spike in clearing related to forestry concessions and the allocation of an oil palm concession, according to data from the Ministry of Environment and Forestry. Although most land is owned by indigenous communities through the *marga* system, and governed through the *petuanan* system, most of these rights remain unrecognized by the Indonesian government.

\
In 2021, Kaleka launched a jurisdictional approach to sustainability in Fakfak called *Wewowo Lestari*, which means working together to preserve forest and natural resources and indigenous communities. A multi-stakeholder platform was established, consisting of government representatives, customary leaders, producer and supply chain companies, and civil society organizations. The goals of Wewowo Lestari are detailed below:

\
* ***Livelihoods and market.*** Conservation will only work if the standing forests generate direct economic benefits for local communities. The activities under this pillar involve finding indigenous West Papuan commodities that can be promoted for boosting economic development, establishing and strengthening the capacity of local farmer groups to partake in the formal economy including ensuring product quality and improving the market uptake of the produce. 
* ***Acknowledgment of Indigenous people's rights.*** Secure land tenure is crucial for the sustainable management of natural resources including forests. We support the acknowledgment of indigenous land rights at the district level, referring to the Constitutional Court Decision 35/2012, which recognized the rights of indigenous peoples to forests. We have now mapped all the indigenous territories in the Fakfak district as part of the process of acknowledging indigenous land rights.
* ***Conservation and forest protection.*** Forest protection and conservation should be done in parallel with the acknowledgment of indigenous land rights. We align government and indigenous concepts of conservation and sustainable management through the assessment of environmental carrying capacity (*Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup* or DDDTLH). The environmental carrying capacity assessment will form the basis for integrating environmental protection and indigenous land and resource uses into the district spatial plan.

\
\
**__Progress__**

* A draft regulation on the acknowledgment of customary land in Fakfak was developed and the process was validated.
* Seven Petuanans (customary regions governed by a hereditary leader) mapped the boundaries of their regions, which will be used as the first step for the acknowledgment of indigenous people’s rights for the entire district.
* The methodology for identifying and acknowledging the property rights of clans (marga) has also been agreed upon.
* The environmental carrying capacity assessment is completed and issued with a total of 918 thousand hectares of land identified for protection.

\
\
**__Impacts__**

* SNI (Indonesian National Standard) certification for Fakfak nutmeg products was completed.
* 633 indigenous nutmeg farmers were mapped in the Fakfak district. The maps, for the first time, enable farmers to know the value of their lands.
* 130 indigenous nutmeg farmers were trained to change their harvest and post-harvest practices. 
* A district-wide cooperative was established to trade nutmeg with export buyers, with a total of USD 41,246.21 in transactions, since its establishment in 2019.

\
\
**__Who Are Our Partners?__**

* [Climate Land Use Alliance (CLUA)](https://www.climateandlandusealliance.org/)
* [Packard Foundation](https://www.packard.org/)

\


Papua Barat, dengan hutannya yang lebat, berusaha untuk mencari bentuk pembangunan yang berbeda untuk mengurangi kemiskinan sembari menjaga keberadaan hutan sebagaimana adanya. Deforestasi tetap rendah di kawasan-kawasan ini karena tidak ada komoditas utama yang menjadi alternatif penggunaan lahan. Walaupun begitu, kawasan tersebut dapat mengikuti jalur pembangunan yang sama seperti pulau-pulau lainnya, dimana produksi kayu akan menjadi kegiatan primer yang membuka hutan, dan kegiatan sekundernya adalah pembukaan hutan menjadi perkebunan monokultur. Hal ini utamanya karena komoditas hutan non kayu yang dipanen di hutan memiliki nilai rendah karena tidak ada pasar untuk komoditas tersebut.

 

Jadi, bagaimana Papua Barat berkembang sembari menjaga tutupan hutannya?

\
Kami menguji model jalur pembangunan alternatif untuk kawasan hutan melalui pendekatan yurisdiksi di Kabupaten Fakfak di Provinsi Papua Barat. Sejak 2016, Kaleka telah bekerja untuk melindungi lingkungan kabupaten berhutan lebat di provinsi Papua Barat, sambil meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat pedesaan. Kabupaten Fakfak berhadapan dengan Kepulauan Maluku dan secara historis, telah lama berintegrasi dengan perdagangan rempah-rempah, mengekspor pala varietas lokalnya, pala Papua (*Myristica argentea Warb*) atau secara lokal dikenal sebagai Pala Tomandin. Pala Papua ditanam secara komersial di Kabupaten Fakfak dan Kaimana, dan sebagian besar produksinya terkonsentrasi di Kabupaten Fakfak. Pala dibudidayakan di hutan liar dan semi-liar oleh petani asli, di tanah yang dimiliki dan dikelola berdasarkan hukum adat. Meski terdaftar sebagai Indikasi Geografis pada 2014 sebagai Pala Tomandin, permintaan dan harga pala Papua masih rendah. Akibatnya, petani pala seringkali memiliki mata pencaharian yang beragam seperti menangkap ikan dan membudidayakan rumput laut atau bercocok tanam tanaman lain. Deforestasi relatif terbatas di Kabupaten Fakfak, meskipun menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada periode 2010 hingga 2016 mengalami lonjakan pembukaan lahan untuk konsesi kehutanan dan alokasi konsesi kelapa sawit. Meskipun sebagian besar tanah dimiliki oleh masyarakat adat melalui sistem marga dan diatur melalui sistem petuanan, sebagian besar hak tersebut tetap belum diakui oleh pemerintah Indonesia.

\
Pada tahun 2021, Kaleka meluncurkan pendekatan yurisdiksi keberlanjutan di Fakfak yang disebut Wewowo Lestari, yang berarti bekerja sama untuk melestarikan hutan dan sumber daya alam serta masyarakat adat. Platform multi pihak dibentuk, terdiri dari perwakilan pemerintah, tokoh adat, produsen dan perusahaan rantai pasok, serta organisasi masyarakat sipil. Tujuan Wewowo Lestari adalah untuk mengakui hak-hak masyarakat adat, melindungi hutan dan alam, serta menciptakan pasar untuk komoditas lokal, yang dirinci di bawah ini:

* **Mata pencaharian dan pasar.** Konservasi hanya akan berhasil jika tegakan hutan menghasilkan manfaat ekonomi langsung bagi masyarakat lokal. Kegiatan di bawah pilar ini meliputi penelusuran komoditas asli Papua Barat yang dapat dipromosikan untuk mendorong pembangunan ekonomi; membangun dan memperkuat kapasitas kelompok tani lokal untuk berpartisipasi dalam ekonomi formal termasuk memastikan kualitas produk; dan meningkatkan daya serap pasar atas produk tersebut.

  \
* **Pengakuan hak masyarakat adat.** Penguasaan lahan yang aman sangat penting untuk pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan termasuk hutan. Kami mendukung pengakuan hak atas hutan adat di tingkat kabupaten, mengacu pada Putusan MK 35/2012, yang mengakui hak masyarakat adat atas hutan. Kami sekarang telah memetakan semua wilayah petuanan di kabupaten Fakfak sebagai bagian dari rintisan awal pengakuan hak tanah adat.

  \
* **Konservasi dan perlindungan hutan.** Perlindungan dan konservasi hutan harus dilakukan secara paralel dengan pengakuan hak atas tanah adat. Kami menyelaraskan konsep pemerintah dan adat tentang konservasi dan pengelolaan berkelanjutan melalui penilaian daya dukung lingkungan (Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup atau DDDTLH). Penilaian daya dukung lingkungan akan menjadi dasar untuk mengintegrasikan perlindungan lingkungan dan penggunaan tanah dan sumber daya adat ke dalam rencana tata ruang kabupaten.

\
\
**__Perkembangan__**

* Rancangan peraturan tentang pengakuan tanah adat di Fakfak sudah selesai dirumuskan dan prosesnya telah diajukan ke tingkat Provinsi untuk mendapatkan validasi.
* Tujuh Petuanan (daerah adat yang diperintah oleh seorang pemimpin secara turun-temurun) menyepakati batas wilayahnya yang akan digunakan sebagai langkah awal pengakuan hak-hak masyarakat adat untuk keseluruhan kabupaten.
* Metodologi untuk mengidentifikasi dan mengakui hak milik marga (marga) juga telah disepakati;
* Penilaian daya dukung lingkungan diselesaikan dengan total 918 ribu hektar area yang diidentifikasi untuk dilindungi.

\
\
**__Dampak__**

* Sertifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk pala Fakfak sudah ditetapkan.
* 633 petani asli pala di Kabupaten Fakfak sudah dipetakan. Peta-peta tersebut, untuk pertama kalinya, memungkinkan petani untuk mengetahui nilai dari tanah-tanah mereka.
* 130 petani asli pala sudah dilatih untuk mengubah praktik mereka selama panen dan sesudah panen.
* Kerja sama berskala kabupaten sudah dibentuk untuk mendagangkan pala dengan eksportir, dengan total transaksi sebesar 41.246.21 Dollar Amerika, sejak pembentukannya di 2019.

\
\
**__Siapa Saja Mitra Kami?__**

* [Climate Land Use Alliance (CLUA)](https://www.climateandlandusealliance.org/)
* [Packard Foundation](https://www.packard.org/)

\
