 ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/publicationentity/a02d260f-4d74-4750-b28c-fc4617ee276d.jpeg)

\
The Ministry of Agriculture has recently allocated a 2.7 trillion rupiah budget to increase spice production. The goal is to restore the glory of past spices, including nutmeg. This paper will focus on nutmeg as a concrete example in highlighting this program.

\
The current actors in the nutmeg trade are different compared to the Dutch colonial era, when the nutmeg was in the golden age of world trade. The actors are no longer merely farmers, states, and traders, but there are also agents or collectors, credit providers, seed providers, and transportation. All of that moves in a complex nutmeg supply chain, from land clearing, seeding, weeding, care, harvesting, fruit sorting, drying, to marketing. Along these lines, farmers are the most vulnerable. Ironically, almost 100 percent of the nutmeg comes from the contribution of smallholder plantations.

\
The Ministry of Agriculture (2016) notes that nutmeg plantation is dominated by community plantations covering an area of ​​169,103 hectares or 99.69 percent of the total area of ​​nutmeg plantations nationally. In 2017, the estimated annual production from community plantations was 34,516 tons or 99.75 percent of national production. The annual export value of nutmeg was US $64,398 million with an export volume of 11,549 tons. The data shows that nutmeg is a plant of the people, not the establishment of large-scale capital from giant companies.

\
Institut Penelitian Inovasi Bumi (Inobu) in collaboration with the AKAPe Foundation and the Regency Government of Fakfak has conducted polygon-based mapping of farmers' land and comprehensive data collection from upstream to downstream of the nutmeg chain. In the past year, 246 nutmeg farmers have been mapped with 633.6 hectares of land area in three sub-districts and 20 villages. Some of the most fundamental issues found in this mapping process are as follows.

\
First, the difficulty of distinguishing male and female seeds is a unique problem in nutmeg breeding. Male seed does not bear fruit. The problem is that the nutmeg is known to be male or female after six years. Currently there are innovations available through grafting technique. Aceh has multiplied it, but it still needs to be tested and disseminated to other areas. Second, nutmeg cultivation is passed down from generation to generation and is supported by strong traditions. Farmers have to be driven so that the nutmeg farming system becomes more efficient.

\
Third, post-harvest management standard should begin to reflect global standards, which reflect the interests of consumers. Developed country consumers, such as the European Union, are increasingly meticulous concerning food security aspects. In recent years, many complaints of aflatoxin (cancer-triggering compound) level  and extra chemical mixtures that suddenly appear on our nutmeg. This is strongly suspected to have originated from improper post-harvest handling. For this reason, farmers need to be introduced to these new standards.

\
Fourth, the trade chain is considerably long. This is detrimental to farmers. Moreover, nutmeg is susceptible to other material exposure. The local government needs to streamline the link. Warehouse development can be one solution.

\
The Ministry of Agriculture tries to respond to this problem with policies, such as Minister of Agriculture Decree Number 320/Kpts/KB.020/10/2015 on Guidelines for Production, Certification, Distribution, and Supervision of Nutmeg Seeds. All of these provisions lead to professional management of nutmeg by following agronomic, food safety, sustainability and legality standards.

\
The challenge is how to bridge the gap between the regulation language and the social reality of traditional farmers. An intensive mentoring process is required so that policy standards are internalized into the local culture. This ensures not only compliance with the law, but also social continuity. In addition, the seed certification system must be able to prevent monopolistic practices so as not to result in additional costs for nutmeg farmers.

 ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/publicationentity/a02d260f-4d74-4750-b28c-fc4617ee276d.jpeg)

\
Kementerian Pertanian baru-baru ini mengalokasikan anggaran Rp 2,7 triliun untuk meningkatkan produksi rempah-rempah. Sasarannya adalah mengembalikan kejayaan rempah-rempah masa silam, termasuk pala. Tulisan ini akan berfokus pada pala sebagai contoh nyata untuk menyoroti program ini.

\
Pelaku perdagangan pala saat ini sudah banyak berbeda dibanding pada zaman kolonial Belanda, ketika pala berada di zaman keemasan perdagangan dunia. Pelakunya kini tidak lagi semata petani, negara, dan pedagang, tapi juga ada agen atau pengepul, pemberi kredit, penyedia benih, dan transportasi. Semua itu bergerak dalam rantai pasok pala yang kompleks, sejak pembukaan lahan, pembenihan, penyiangan, perawatan, panen, pemilahan buah, pengeringan, hingga pemasaran. Sepanjang jalur tersebut, petani adalah yang paling rentan. Ironisnya, hampir 100 persen pala berasal dari kontribusi perkebunan rakyat.

 \n Kementerian Pertanian (2016) mencatat, lahan perkebunan pala didominasi oleh perkebunan rakyat seluas 169.103 hektare atau 99,69 persen total lahan perkebunan pala secara nasional. Pada 2017, estimasi produksi per tahun dari perkebunan rakyat tercatat 34.516 ton atau 99,75 persen dari produksi nasional. Nilai ekspor tahunan pala sebesar US$ 64,398 juta dengan volume ekspor 11.549 ton. Data itu menunjukkan bahwa pala merupakan tanaman rakyat, bukan bikinan kapital skala besar dari perusahaan-perusahaan raksasa.

\
Institut Penelitian Inovasi Bumi (Inobu) bekerja sama dengan AKAPe Foundation dan Pemerintah Kabupaten Fakfak telah melakukan pemetaan berbasis poligon atas lahan petani dan pendataan yang komprehensif dari hulu sampai hilir mata rantai pala. Dalam setahun belakangan ini telah terpetakan 246 petani pala dengan luas lahan 633,6 hektare di tiga kecamatan dan 20 desa. Beberapa isu paling mendasar yang ditemukan dalam proses pemetaan ini adalah sebagai berikut.

\
Pertama, sulitnya membedakan benih jantan dan betina merupakan masalah unik dalam pengembangbiakan pala. Benih jantan tak berbuah. Masalahnya, pala itu diketahui jantan atau betina setelah enam tahun kemudian. Saat ini sudah tersedia inovasi melalui teknik sambung pucuk (*grafting*). Aceh sudah mengembangbiakkannya, tapi masih perlu diuji dan disebarluaskan ke daerah lain. Kedua, budi daya pala diwariskan secara turun-temurun dan ditopang tradisi yang kuat. Petani memang perlu digerakkan agar sistem pertanian pala lebih efisien.

\
Ketiga, standar pengelolaan pasca-panen semestinya mulai merefleksikan standar global, yang mencerminkan kepentingan konsumen. Konsumen negara maju, seperti Uni Eropa, makin rewel terhadap urusan keamanan pangan. Dalam beberapa tahun ini, banyak keluhan kadar aflatoksin (senyawa pemicu kanker) dan campuran kimia ekstra yang sekonyong-konyong muncul pada pala kita. Hal itu diduga kuat berasal dari penanganan pasca-panen yang tidak sepatutnya. Untuk itu, petani perlu diperkenalkan dengan standar-standar baru ini.

\
Keempat, mata rantai perdagangannya masih panjang. Hal itu merugikan petani dan pala rentan terpapar materi lain yang akan mempengaruhi pala. Pemerintah daerah perlu memangkas mata rantai itu. Pembangunan gudang bisa menjadi salah satu solusi.

\
Kementerian Pertanian mencoba menjawab masalah ini dengan kebijakan, seperti Keputusan Menteri Pertanian Nomor 320/Kpts/KB.020/10/2015 tentang Pedoman Produksi, Sertifikasi, Peredaran, dan Pengawasan Benih Tanaman Pala. Semua ketentuan itu mengarah pada pengelolaan pala secara profesional, mengikuti standar agronomi, keamanan pangan, keberlanjutan, dan legalitas.

\
Tantangannya adalah bagaimana menjembatani jarak antara bahasa regulasi dan kenyataan sosial petani tradisional. Dibutuhkan proses pendampingan yang intensif agar standar dalam kebijakan itu terinternalisasi ke dalam budaya lokal. Hal tersebut memastikan tidak hanya kepatuhan pada hukum, tapi juga kelanjutannya secara sosial. Selain itu, sistem sertifikasi benih harus bisa mencegah praktek monopoli agar tidak berujung pada tambahan biaya bagi petani pala.

descriptioneng-w7o2exuogwjewrydqypsz

descriptionidn-uhreyjtjp4dqgt1dvxlm3

thumbnail

descriptioneng-s9x6zcc6ks6jz1_uufji2

descriptionidn-eks04kt_mdtelcbhqocwv

descriptionidn-bryscijtp9o3hfwck_ohk

thumbnail_docs

descriptioneng-g6cruj2e3iat1kwp8ne_4

descriptionidn-xmifopq1awwdytfpouzcl

Restoring the Nutmeg’s Glory

Mengembalikan Kejayaan Pala