In 2022, the foundation's name change to Kaleka was finalized. The name change provides a new aspiration, reflected in the preparation of the 2023 Key Performance Indicators (KPIs), which are based on initiatives developed in 2022. This new aspiration also aligns with the refined Kaleka's focus of work on implementing a jurisdictional approach. Therefore, activities that are no longer relevant will not be continued in 2022.

\
Kaleka's achievements in 2022 are in the range of 90-100%. Nine KPIs achieved a maximum result of 100%, one KPI reached 97%, two KPIs reached 95%, and two KPIs reached 90%. Some KPIs achieved 100% success are practicing no-burn agriculture, increasing non-timber forest products, developing alternative livelihoods for fisheries commodities, preparing environmental documents (DDDTLH and RPPLH), establishing the Wewowo Lestari working group and the Kolibri Alliance. The key to achieving 100% KPIs is good communication and coordination with stakeholders, resulting in strong support and high achievements.

\
As part of the district-based certification, 15 and 13 regulations have been issued by the Districts of West Kotawaringin (Kobar) and Seruyan, respectively, to implement sustainable principles and criteria at the district level. One of those regulations stipulates managing high-conservation value areas, palm oil producer data collection, and conflict resolution.

\
This year, measures to implement a jurisdictional approach have begun in the District (Regency) of Fakfak, West Papua, and are called the Wewowo Lestari. Wewowo is a term from the local language in Fakfak (Iha language), which means gathering/deliberating to discuss a problem to find a solution. The Regent of Fakfak has issued regulations regarding the Wewowo Lestari Working Group in Fakfak in August 2022.

\
Throughout 2022, cooperation has been established with ministries/institutions at the central government level, such as the Directorate of Environmental Impact Prevention for Regional and Sector Policy (PDLKWS) of the Ministry of Environment and Forestry, the Ministry of Agriculture, the Ministry of Home Affairs, and the Meteorology, Climatology and Geophysics Agency (BMKG). Close collaboration with regional governments is also the main key to success, considering that regional governments are the principal driving force of the jurisdictional certification working group.

Pada tahun 2022, perubahan nama Yayasan menjadi Kaleka telah dituntaskan. Perubahan nama memberikan semangat baru yang terefleksikan dalam penyusunan Indeks Kinerja Utama (IKU) tahun 2023 yang didasarkan pada inisiatif-inisiatif yang telah dibangun pada 2022. Semangat baru ini juga selaras dengan penajaman fokus kerja Kaleka yakni pada implementasi pendekatan yurisdiksi, sehingga kegiatan yang tidak lagi relevan tidak dilanjutkan pada tahun 2022.

\
Capaian Yayasan tahun 2022 berada pada kisaran 90-100%. Sembilan IKU mencapai hasil maksimum 100%, satu IKU mencapai 97%, dua IKU mencapai 95%, dan dua IKU mencapai 90%. Beberapa IKU mencapai 100% keberhasilan adalah praktik pertanian tanpa bakar, peningkatan hasil hutan bukan kayu, pengembangan alternatif mata pencaharian untuk komoditas perikanan, penyusunan dokumen lingkungan hidup (DDDTLH dan RPPLH), pembentukan kelompok kerja Wewowo Lestari dan Aliansi Kolibri. Kunci keberhasilan dari IKU-IKU yang mencapai 100% diantaranya adalah komunikasi dan koordinasi yang baik dengan para pemangku kepentingan sehingga menghasilkan dukungan yang kuat dan capaian yang tinggi.

\
Sebagai bagian dari sertifikasi berbasis kabupaten, 15 dan 13 regulasi telah diterbitkan oleh masing-masing Kotawaringin Barat dan Seruyan untuk menerapkan prinsip dan kriteria berkelanjutan di tingkat kabupaten. Regulasi tersebut antara lain mengatur mengenai pengelolaan areal bernilai konservasi tinggi, pendataan penghasil kelapa sawit, dan penyelesaian konflik.

\
Upaya penerapan pendekatan berbasis yurisdiksi sudah dimulai di Kabupaten Fakfak, Papua Barat tahun ini dan dinamakan Wewowo Lestari. Wewowo adalah istilah yang diambil dari bahasa lokal di Fakfak (bahasa Iha) yang berarti berkumpul/bermusyawarah untuk membahas satu permasalahan guna mendapatkan solusi. Bupati Fakfak telah menerbitkan regulasi terkait Pokja Wewowo Lestari di Fakfak pada bulan Agustus 2022.

\
Sepanjang tahun 2022, kerja sama dijalin dengan kementerian/lembaga di tingkat pemerintah pusat, seperti Direktorat Pencegahan Dampak Lingkungan Kebijakan Wilayah dan Sektor (PDLKWS) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Dalam Negeri, dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Kerja sama erat dengan pemerintah daerah juga menjadi kunci keberhasilan yang utama mengingat pemerintah daerah menjadi roda penggerak utama kelompok kerja sertifikasi yurisdiksi.

Annual Report 2022

Laporan Tahunan 2022

2021 is the first year of the 2021-2025 Five-Year Strategic Plan. This year has also been marked by the ongoing Covid-19 pandemic. The focus of the 2021-2025 Five-Year Strategic Plan on smallholders has made Inobu more creative in finding intervention models to improve smallholder productivity and profitability while concurrently protecting nature and the environment.

\
Some of the achievements include:

* changing the behavior of 66 indigenous smallholders so that they no longer use fire in food crop cultivation practices;
* restoring 66 hectares of critical land while at the same time gaining economic benefits for the community;
* assisting 1,833 oil palm smallholders to become RSPO/ISPO-certified and 4 groups of forest smallholders to obtain Timber Legality Assurance System (SVLK);
* assisting 207 smallholders living around natural forests to protect forests and increase the value of non-timber forest products for the community;
* accompanying 10 indigenous smallholders in the District of Fakfak to practice crab aquaculture as an alternative commodity to reduce dependence on land.

\
By finding assistance models that suit existing conditions in the community, Inobu is ready to replicate these two activities to engage smallholders in all assisted districts together with the local government. Key takeaways from current interventions are then disseminated through the knowledge management platform ([www.tanibaik.inobu.org](http://www.tanibaik.inobu.org)). In 2021, the Youth Agripreneur Camp was launched as an annual Inobu program to involve young people in achieving sustainable agriculture with high-value-added agricultural products. We want to focus on creating changes in the assisted districts and implementing action research.

Tahun 2021 merupakan tahun pertama dari Rencana Strategis Lima Tahun 2021-2025. Tahun ini juga ditandai dengan kondisi pandemi Covid-19 yang berkepanjangan hingga hari ini. Fokus Rencana Strategis Lima Tahun 2021-2025 kepada petani membuat Inobu menjadi lebih kreatif dalam menemukan model-model intervensi untuk meningkatkan produktivitas dan profitabilitas petani, pada saat bersamaan melindungi alam dan lingkungan hidup.

\
Beberapa capaian termasuk:

* mengubah perilaku 66 petani asli sehingga tidak lagi menggunakan api dalam praktik budidaya tanaman pangan;
* merestorasi 66 ha lahan-lahan kritis pada saat bersamaan mendapatkan manfaat ekonomi bagi masyarakat;
* mendampingi 1.833 petani kelapa sawit untuk tersertifikasi RSPO/ISPO dan 4 kelompok petani hutan untuk mendapatkan SVLK;
* mendampingi 207 petani hidup di sekitar hutan-hutan alam untuk menjaga hutan dan meningkatkan nilai hasil produk hutan bukan kayu bagi masyarakat;
* mendampingi 10 petani asli di Kabupaten Fakfak untuk membudidayakan kepiting sebagai komoditas alternatif untuk mengurangi ketergantungan terhadap lahan.

\
Dengan menemukan model-model pendampingan sesuai kondisi yang ada di masyarakat, Inobu siap untuk mereplikasikan kedua kegiatan tersebut untuk menjangkau petani di seluruh kabupaten dampingan bersama dengan pemerintah daerah. Pembelajaran dari intervensi yang ada selanjutnya didiseminasikan melalui platform knowledge management ([www.tanibaik.inobu.org](http://www.tanibaik.inobu.org)). Pada tahun 2021, Youth Agripreneur Camp sudah diluncurkan menjadi program tahunan Inobu yang bertujuan melibatkan anak muda dalam upaya mencapai pertanian berkelanjutan dengan nilai tambah produk pertanian yang tinggi. Kami ingin lebih banyak berfokus membuat perubahan di kabupaten yang kami dampingi dan melakukan riset aksi.

Annual Report 2021

Laporan Tahunan 2021 

Since 2019, Kaleka has been working with the local governments of Kotawaringin Barat and Seruyan districts in Central Kalimantan Province, to collect data on land conflicts in the oil palm plantation business sector. This activity is part of a larger initiative known as the Jurisdictional Approach for Certification which is being implemented at the district level. The approach is carried out by facilitating regional government authorities to consolidate the commitment of all parties, such as business actors, indigenous communities, academics, and civil society organizations by providing political support through the provision of regional policies to promote sustainable palm oil. 

\
To achieve jurisdictional certification, Seruyan and West Kotawaringin have stipulated regulations to register and resolve conflicts. Seruyan has established Head of District Regulation No. 11/2021 on the Procedures for Complaints and Data Management of Plantation Business Conflict. Currently, regulations regarding Seruyan Plantation Conflict Management Guidelines have been prepared and are in the review process  at the Regional Legislation Program. In Kotawaringin Barat, the Head of District Regulation No. 65/ 2022 on Management of Plantation Business Conflicts has become a guideline for multi-stakeholders in collecting data on plantation conflicts.

\
Based on regulations regarding conflict registration and management mechanisms, both districts' governments have established conflict data collection units in 20 villages, 10 villages in each of Seruyan and Kotawaringin Barat. The conflict data collection team recorded 52 conflicts in the two districts, 33 and 19 conflicts respectively in Seruyan District and Kotawaringin Barat districts. The main objective is to identify conflict typologies, resolution processes, and challenges throughout the resolution. Lessons from this will be further developed in the form of a settlement model that can be accepted by the parties.

Sejak tahun 2019, Kaleka membantu Pemerintah Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Provinsi Kalimantan Tengah, melakukan pendataan konflik lahan di sektor usaha perkebunan kelapa sawit. Kegiatan ini merupakan satu rangkaian dengan inisiatif yang lebih besar yang disebut dengan Pendekatan Sertifikasi Yurisdiksi yang dijalankan di tingkat kabupaten. Pendekatannya dilakukan dengan mendorong otoritas pemerintah daerah mengkonsolidasi komitmen semua pihak, seperti pelaku usaha, masyarakat adat, akademisi, dan organisasi kemasyarakatan dengan mengupayakan dukungan politisnya melalui penyediaan kebijakan daerah guna mendukung pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.

\
Sebagai upaya mencapai sertifikasi berbasis yurisdiksi, Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat telah membentuk peraturan sebagai upaya mendaftar dan menyelesaikan konflik. Kabupaten Seruyan telah membentuk Peraturan Bupati Seruyan No. 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengaduan dan Pengelolaan Data Konflik Usaha Perkebunan. Saat ini peraturan mengenai Pedoman Pengelolaan Konflik Perkebunan Kabupaten Seruyan telah disusun dan sedang dalam proses pembahasan Program Legislasi Daerah. Kabupaten Kotawaringin Barat melalui Peraturan Bupati Kotawaringin Barat No. 65 Tahun 2022 tentang Pengelolaan Konflik Usaha Perkebunan telah menjadi pedoman bagi multipihak dalam urusan pendataan konflik perkebunan. 

\
Berdasarkan peraturan terkait mekanisme pendaftaran dan pengelolaan konflik, Pemerintah Kabupaten telah membentuk unit pendataan konflik pada 20 desa, 10 desa di masing-masing Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat. Tim pendataan konflik selanjutnya telah mendata sebanyak 52 konflik di kedua kabupaten, masing-masing 33 konflik di Kabupaten Seruyan dan 19 konflik di Kabupaten Kotawaringin Barat. Tujuan utamanya adalah untuk mengidentifikasi tipologi konflik, proses penyelesaian, dan tantangannya sepanjang penyelesaian tersebut. Pelajaran dari ini akan dikemas lebih lanjut dalam bentuk model penyelesaian yang dapat diterima oleh para pihak.

Building Jurisdiction-Based Conflict Registration System in Central Kalimantan

Membangun Sistem Registrasi Konflik Berbasis Yurisdiksi di Provinsi Kalimantan Tengah

The issue of climate change and its impacts has been recognized by the public. Indonesia's seriousness in addressing the issue of climate change has been proven by ratifying the Paris Agreement in the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

\
This commitment is then comprehensively translated or integrated into planning documents at the national level. The public has also urged that not only the central government, but local governments must also take action to address the issue of climate change.

\
Unfortunately, when it was relegated to the subnationals, the commitment stopped at the provincial level. The authority related to climate change mitigation and adaptation is not shared with the district government although real action related to climate change must occur at the district level because the district government is one of the closest administrative regions to the community.

\
At the national level, commitments to the Paris Agreement have been ratified under Law Number 16 of 2016. Furthermore, efforts to achieve the Paris Agreement have been detailed in a recognized document called the Nationally Determined Commitment (NDC) which was also registered with the UNFCCC.

\
If we examine planning documents at the national level, climate change mitigation and adaptation measures have been significantly integrated in the 2014-2019 National Medium-Term Development Plan (RPJM) or technocratic design 2020-2014. The related sectors have also explicitly translated the climate change mitigation and adaptation targets in their respective strategic plan documents (renstra).

\
Since Indonesia’s commitment is reflected in the planning documents, the public can also be confident of the Government of Indonesia's real efforts to take concrete actions related to climate change. The central government must budget and implement the action plan. Annually, the public can monitor the achievements of these efforts in the performance reports of ministries and institutions.

\
However, this spirit only stopped at the provincial level. Law on Local Government No. 23/2014 which divides authority between the central, provincial and district/city governments does not mention, let alone regulate, the authority regarding climate change. Regulation of Minister of Home Affairs No 86/2017, which is a reference for regions to draw up their development plans, provides a menu list of performance indicators for local governments.

\
On climate change, Regulation of Minister of Home Affairs No 86/2017 emphasizes that the provincial government may take provincial action to mitigate and adapt to climate change and greenhouse gas inventories. Districts, unfortunately, do not have the authority, therefore there are no performance indicators related to climate change that can be done in the Regional Medium-Term Development Plan (RPJM), let alone budgeted in the Local Budget (APBD).

\
If searched carefully, districts that are really serious about taking action on climate change can use the opportunities provided in the Environmental Management and Protection Plan (RPPLH) which can contain climate change adaptation and mitigation plans.

\
This RPPLH is expressly mandated by the Law on Environment No. 32/2009 and detailed in Regulation of Minister of Home Affairs No 86/2017. Unfortunately, subordinate regulations regarding RPPLH are still in ongoing process.

\
\
**The Authority of Districts**

The local government that wants to do something related to climate change must wait until the national regulations related to the RPPLH are resolved or merely waiting; perhaps there are activities funded by the central government’s task assistance fund that does not require viability gap funds from the Local Budget.

\
Without a doubt, regions that are serious about the issue of climate change are better off avoiding the risk of administrative violations rather than forcing them to carry out climate change action activities in their RPJMD or Local Budget.

\
Many argue that districts do not need to make efforts related to climate change. One rationale is due to limited capacity, both human and fiscal resources. At present, affairs related to the forestry sector have also been withdrawn to the provincial level, leaving only matters related to the forest park to the district.

\
Some actions related to climate change, such as the waste sector, have been shared to district level so that if the region is serious on its commitment, it may use its little authority to contribute to climate change actions.

\
The example provided by Regulation of Minister of Home Affairs No 7/2018 on the Strategic Environmental Assessment of the Regional RPJM provides a basis for argument that it is necessary to involve district governments in achieving national commitments. Regulation of Minister of Home Affairs No. 7/2018 requires local governments, including districts, to seriously consider how Indonesia can achieve the Sustainable Development Goals (SDG).

\
With limited capacity, the district governments are forced to learn about SDGs and try to be able to achieve SDG with all their limitations. It is hoped that from this learning process one or two districts will innovate and become examples for other districts in achieving SDG.

\
Decentralization, which is the delegation of authority to local government, is based on the theory that the district government is the head of the administrative area closest to the community that needs to be provided with public services.

\
District government are the best authority in understanding the needs of their constituents compared to the higher level of government, therefore, the implementation of real actions that engage the community must be done at the district level. Regarding climate change, at least the district government must be involved in climate change adaptation measures to ensure that their people have the resilience to face an increasingly uncertain climate.

\
Agricultural extension workers who are currently under the the district government command must understand the increasingly extreme climate and weather variability to provide farmers accurate information about the rice planting calendar to prevent losses due to weather or uncertain seasons. This certainly can only be realized if the central government shares the authority of climate change to the district level.

\
**Silvia Irawan,** *Executive Director of Kaleka (previously Inobu)*

\


Isu perubahan iklim dan dampaknya telah disadari masyarakat pada umumnya. Keseriusan Indonesia menghadapi isu perubahan iklim telah terbukti dengan meratifikasi Persetujuan Paris dalam Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (*United Nations Framework for Climate Change Convention*/UNFCCC).

\
Komitmen ini kemudian diterjemahkan atau diintegrasi secara apik ke dalam dokumen perencanaan di tingkat nasional. Publik juga ikut mendesak agar tak hanya pemerintah pusat, tetapi pemerintah daerah juga harus mengambil tindakan untuk atasi isu perubahan iklim.

\
Sayangnya, ketika diturunkan ke daerah, komitmen ini terhenti di tingkat provinsi. Kewenangan terkait mitigasi dan adaptasi perubahan iklim tak dibagi ke pemerintah kabupaten walau aksi nyata terkait perubahan iklim harus terjadi di tingkat kabupaten karena pemerintah kabupaten merupakan salah satu wilayah administrasi yang paling dekat dengan masyarakat.

\
Pada tingkat nasional, komitmen terhadap Persetujuan Paris telah disahkan dalam UU Nomor 16 Tahun 2016. Selanjutnya, upaya mencapai Persetujuan Paris telah didetailkan dalam dokumen yang dikenal dengan *Nationally Determined Commitment* (NDC) yang juga didaftarkan ke UNFCCC.

\
Apabila kita memeriksa dokumen perencanaan di tingkat nasional, upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim telah secara nyata diintegrasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional 2014-2019 ataupun rancangan teknokratik 2020-2014. Sektor-sektor terkait juga telah secara tegas menerjemahkan target mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dalam dokumen rencana strategis (renstra) masing-masing.

\
Dengan terefleksikannya komitmen Indonesia dalam dokumen perencanaan, publik pun dapat meyakini upaya nyata Pemerintah Indonesia untuk melakukan aksi nyata terkait perubahan iklim. Pemerintah pusat harus menganggarkan dan mengimplementasikan rencana aksi itu. Publik selanjutnya dapat memantau capaian dari upaya tersebut dalam laporan kinerja kementerian dan lembaga setiap tahun.

\
Namun, semangat ini hanya terhenti di tingkat provinsi. UU Pemerintah Daerah No 23/2014 yang membagi kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sama sekali tak menyebut, apalagi mengatur, mengenai kewenangan terkait perubahan iklim. Permendagri No 86/2017, yang merupakan rujukan bagi daerah untuk menyusun rencana pembangunannya, memberikan daftar menu indikator kinerja bagi pemda.

\
Terkait perubahan iklim, Permendagri No 86/2017 menegaskan, pemerintah provinsi dapat melakukan upaya aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim provinsi serta inventarisasi gas rumah kaca. Kabupaten, sayangnya, tak kebagian kewenangan sehingga tidak ada indikator kinerja terkait perubahan iklim yang dapat dilakukan dalam RPJM daerah, apalagi dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

\
Apabila dicari dengan saksama, kabupaten yang benar-benar serius melakukan aksi perubahan iklim dapat menggunakan peluang yang disediakan dalam Rencana Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (RPPLH) yang dapat memuat rencana adaptasi serta mitigasi perubahan iklim.

\
RPPLH ini memang secara tegas diamanatkan oleh UU Lingkungan Hidup No 32/2009 dan didetailkan selanjutnya dalam Permendagri No 86/2017. Sayangnya, aturan turunan terkait RPPLH masih dalam proses penyelesaian.

\
\
**Kewenangan Kabupaten**

Pemerintah kabupaten yang ingin melakukan sesuatu terkait perubahan iklim harus menunggu sampai diselesaikan aturan nasional terkait dengan RPPLH atau memang hanya menunggu, barangkali ada kegiatan yang didanai oleh dana tugas pembantuan dari pusat yang tidak memerlukan dana pendamping dari APBD.

\
Tentunya daerah yang serius terhadap isu perubahan iklim lebih baik menghindari risiko pelanggaran administrasi daripada memaksakan melaksanakan kegiatan aksi perubahan iklim di dalam RPJMD atau APBD mereka.

\
Banyak yang berargumen bahwa kabupaten memang tidak perlu melakukan upaya terkait perubahan iklim. Salah satu alasannya adalah karena keterbatasan kapasitas, baik sumber daya manusia maupun fiskal. Saat ini urusan terkait dengan sektor kehutanan juga sudah ditarik kembali ke level provinsi dan hanya menyisakan urusan terkait dengan taman hutan raya ke kabupaten.

\
Beberapa aksi terkait perubahan iklim, misalnya sektor persampahan, telah dibagi ke tingkat kabupaten sehingga jika daerah serius dapat menggunakan kewenangan yang sedikit itu dalam berkontribusi terhadap aksi perubahan iklim.

\
Contoh yang diberikan oleh Permendagri No 7/2018 mengenai Kajian Lingkungan Hidup Strategis RPJMD menyediakan basis untuk berargumen bahwa pelibatan pemerintah kabupaten dalam mencapai komitmen nasional merupakan keniscayaan. Permendagri No 7/2018 mewajibkan pemda, termasuk kabupaten, serius memikirkan bagaimana Indonesia mencapai *Sustainable Development Goals* (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/TPB).

\
Dengan kapasitas yang terbatas, pemerintah kabupaten dipaksa belajar mengenai TPB dan mencoba berupaya untuk dapat mencapai TPB dengan segala keterbatasannya. Dari proses belajar tersebut diharapkan tentunya satu-dua kabupaten jadi berinovasi dan menjadi contoh bagi kabupaten lain dalam mencapai TPB.

\
Desentralisasi yang merupakan pelimpahan kewenangan ke pemda didasari teori bahwa pemerintah kabupaten merupakan kepala wilayah administrasi yang terdekat dengan masyarakat yang perlu diberikan pelayanan publik.

\
Pemerintah kabupaten oleh karena itu yang paling paham kebutuhan konstituennya dibandingkan dengan tingkat pemerintah lebih tinggi sehingga implementasi aksi nyata yang menyentuh masyarakat harus dilakukan di tingkat kabupaten. Terkait perubahan iklim, setidaknya pemerintah kabupaten harus terlibat dalam upaya adaptasi perubahan iklim untuk memastikan masyarakatnya memiliki ketahanan menghadapi iklim yang semakin tak menentu.

\
Penyuluh pertanian yang saat ini ada di bawah komando pemerintah kabupaten harus paham mengenai variabilitas cuaca dan iklim yang kian ekstrem sehingga dapat memberikan informasi akurat bagi petani mengenai kalender tanam padi untuk mencegah kerugian akibat cuaca atau musim yang tak menentu. Hal ini tentu hanya dapat diwujudkan jika pemerintah pusat membagi kewenangan perubahan iklim itu ke tingkat kabupaten.

\
**Silvia Irawan,** *Direktur Eksekutif Kaleka (sebelumnya Inobu)* \n 

Climate Change and the Role of Districts

Perubahan Iklim dan Peran Kabupaten

Indonesia is a priority country for Switzerland’s State Secretariat for Economic Affairs (SECO) economic cooperation and development. In Indonesia, SECO – among other things – fosters sustainable value chains with a special focus on export commodities, including palm oil. In this context, SECO is funding a program that applies a Sustainable Landscape Approach (SLA), which is called the Sustainable Landscape Program Indonesia (SLPI). Applying a landscape approach allows interconnected and multifaceted development challenges, such as poverty and sustainable management of natural resources and forests, to be addressed systematically.

\
 As part of this program, SECO is providing support for the Mosaik Initiative in Kalimantan, led by Kaleka. The project is designed to apply a jurisdictional approach to sustainable commodity production within districts, and coordinated among adjacent districts, to protect and restore ecosystems at the landscape level for enhanced environmental and social outcomes. It aims to accelerate the process of jurisdictional certification in Kotawaringin Barat and Seruyan districts and initiate the process in Sukamara and Ketapang districts. In Kotawaringin Barat and Seruyan, where much progress has been achieved, the project will enable the districts to progress to the next stage of RSPO Jurisdictional Approach for certification requirements.

\
The project will further refine the jurisdictional certification approach that has been applied in the palm oil sector to cover other commodities. There is the potential to expand the approach to other commodities within the districts, especially timber (natural and planted), coconut and rubber. The whole approach, in turn, could be replicated to adjacent districts (Sukamara, Central Kalimantan and Ketapang, West Kalimantan). Complementing these farm-oriented approaches, forests and other ecosystems, which are outside of concessions but within jurisdictional (district) boundaries, will be protected and restored through complementary jurisdictional and community-based approaches.

 \n 

Indonesia adalah negara prioritas dalam kerja sama serta pembangunan ekonomi oleh Sekretariat Negara Swiss untuk Urusan Ekonomi (SECO). Di Indonesia, SECO – antara lain – mendorong rantai nilai berkelanjutan dengan fokus khusus pada komoditas ekspor, termasuk minyak sawit. Dalam konteks ini, SECO mendanai program yang menerapkan *Sustainable Landscape Approach* (SLA), yang disebut *Sustainable Landscape Program Indonesia* (SLPI). Menerapkan pendekatan lanskap memungkinkan tantangan pembangunan yang saling terkait dan beragam, seperti kemiskinan dan pengelolaan sumber daya alam dan hutan yang berkelanjutan, untuk ditangani secara sistematis.

\
Sebagai bagian dari program ini, SECO memberikan dukungan untuk Mosaik Initiative di Kalimantan yang dipimpin oleh Kaleka. Proyek ini dirancang untuk menerapkan pendekatan yurisdiksi terhadap produksi komoditas berkelanjutan di dalam kabupaten, dan dikoordinasikan di antara kabupaten yang berdekatan, untuk melindungi dan memulihkan ekosistem di tingkat lanskap dalam meningkatkan hasil lingkungan dan sosial. Hal ini bertujuan untuk mempercepat proses sertifikasi yurisdiksi di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan serta menginisiasi proses di Kabupaten Sukamara dan Ketapang. Di Kotawaringin Barat dan Seruyan, di mana banyak kemajuan telah dicapai, proyek ini akan memungkinkan kabupaten tersebut untuk maju ke tahap selanjutnya dari Pendekatan Yurisdiksi RSPO untuk persyaratan sertifikasi.

\
Proyek ini akan lebih menyempurnakan pendekatan sertifikasi yurisdiksi yang telah diterapkan di sektor kelapa sawit untuk mencakup komoditas lainnya. Terdapat potensi untuk memperluas pendekatan ke komoditas lain di dalam kabupaten, khususnya kayu (alam dan tanaman), kelapa dan karet. Seluruh pendekatan, pada gilirannya, dapat direplikasi ke kabupaten yang berdekatan (Sukamara, Kalimantan Tengah dan Ketapang, Kalimantan Barat). Melengkapi pendekatan berorientasi pertanian ini, hutan dan ekosistem lainnya, yang berada di luar konsesi tetapi dalam batas yurisdiksi (kabupaten), akan dilindungi dan dipulihkan melalui pendekatan yurisdiksi pelengkap dan berbasis masyarakat.

Switzerland’s State Secretariat for Economic Affairs (SECO)

Sekretariat Negara Swiss untuk Urusan Ekonomi (SECO)

The Action for Sustainable Derivatives (ASD) is a collaborative initiative co-managed by BSR (Business for Social Responsibility) and Transitions, which brings together companies in the cosmetics, home and personal care, and oleochemicals industries to collectively tackle supply chain issues around palm oil and palm kernel oil derivatives. More recently, ASD has begun addressing the sustainability of coconut and soy derivative supply chains. As derivative supply chains are too complex for one company to solve alone, ASD aims to unite as a sector to address the sustainability of derivative supply chains and to leverage influence over major upstream supply chain players. Currently, ASD has 28 member companies, including multinational manufacturers and cosmetic companies.

 \n ASD has four work streams for improving the sustainability of derivative supply chains: transparency and risk assessment; monitoring and grievance management; supply and market transformation; and positive impact. Since 2021, ASD has been supporting the Mosaik Initiative as one of their positive impact landscapes through their joint fund, managed by Tides, and have committed to providing 5 years of support to the initiative (until 2027). The landscape in Kalimantan was selected as it is a major sourcing region for their member companies.  The focus of ASD’s support has been in the districts of Seruyan and Kotawaringin Barat, in the areas of community forestry, agroforestry, restoration, regenerative agriculture and smallholder certification.

The Action for Sustainable Derivatives (ASD) adalah inisiatif kolaboratif yang dikelola bersama oleh BSR (*Business for Social Responsibility*) dan *Transitions*, yang menyatukan perusahaan-perusahaan di industri kosmetik, perawatan rumah dan pribadi, dan oleokimia untuk bersama-sama mengatasi masalah rantai pasokan seputar kelapa sawit dan turunan minyak inti sawit. Baru-baru ini, ASD telah mulai menangani keberlanjutan rantai pasokan turunan kelapa dan kedelai. Karena rantai pasokan turunan terlalu rumit untuk diselesaikan sendiri oleh satu perusahaan, ASD bertujuan untuk bersatu sebagai sebuah sektor untuk mengatasi keberlanjutan rantai pasokan turunan dan untuk meningkatkan pengaruh terhadap pemain rantai pasokan hulu utama. Saat ini, ASD memiliki 28 perusahaan anggota, termasuk produsen multinasional dan perusahaan kosmetik.

\
ASD memiliki empat alur kerja untuk meningkatkan keberlanjutan rantai pasokan derivatif: transparansi dan penilaian risiko; pemantauan dan pengelolaan pengaduan; pasokan dan transformasi pasar; dan dampak positif. Sejak 2021, ASD telah mendukung Inisiatif Mosaik sebagai salah satu lanskap berdampak positif melalui dana bersama mereka, yang dikelola oleh Tides, dan telah berkomitmen untuk memberikan dukungan selama 5 tahun untuk inisiatif tersebut (hingga 2027). Lanskap di Kalimantan dipilih karena merupakan wilayah sumber utama bagi perusahaan anggota mereka. Fokus dukungan ASD berada di Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, di bidang hutan kemasyarakatan, agroforestri, restorasi, pertanian regeneratif dan sertifikasi petani kecil.

Action for Sustainable Derivatives

**THINK CLIMATE INDONESIA**

\
As part of the Think Climate Indonesia, a three-year partnership supported by the International Development Research Centre (IDRC) and the Oak Foundation, Kaleka as the Secretariat of Kolibri Alliance provides support for the members to build organizational effectiveness and research capacity, to research and develop a database on climate adaptation, and to improve the public communication to disseminate the results. The six provinces are West Papua, Southeast Sulawesi, East Nusa Tenggara, West Sumatera, Central Kalimantan and Jambi.

\
With Think Climate Indonesia, Kaleka seeks to strengthen the individual capacity of local organizations to help them take effective climate actions and support farmers and fishers to adopt resilient rural livelihoods. This approach is different because it addresses a major issue in today’s climate movement by making the people in the grips of the climate crisis as the active and central driver of solutions. There are four key activities to achieve this goal:

\
\

1. Improve efficiency of local organizations:
   * Providing financial and administrative training as well as developing online administration and management systems as an attempt to equip local organizations with skills and techniques to manage larger projects

     \
2. Improve applied research
   * Providing a research training program on climate mitigation and adaptation as an attempt to build resilient and profitable rural livelihood models

     \
3. Improve communications and policy outreach
   * Disseminating and communicating the research findings of climate change as an attempt to achieve optimal impacts in public outreach

     \
4. Develop the capacity of local organizations for future independent research
   * Assisting local organizations in data collection, creating a data platform, and establishing rules on data sharing and data usage as an attempt to give access to knowledge and experience of other farmers across different geographies

\
\
Think Climate Indonesia aims to enable local think tanks in Indonesia to engage more effectively in climate actions. This partnership provides the core funding for the organizational and research activities of five local think tanks, selected through an open, competitive call, whose missions and mandates focus on using research to inform and influence development policy and practice, namely Kaleka, WRI–Indonesia, PATTIRO, Yayasan Kota Kita, and Kemitraan.

\
The initiative believes that think tanks straddling the boundaries between research, policymaking, and citizen engagement have the ability to respond to the complex challenges of climate change through informing evidence-based policy with local knowledge and expertise in timely, relevant, and accessible ways. Working in partnership with the Oak Foundation, a family-led foundation that commits its resources to address issues of global, social, and environmental concern, particularly those that have a major impact on the lives of the disadvantaged, IDRC’s Think Climate Indonesia initiative supports Indonesia’s efforts to meet its climate commitments by helping local think tanks to produce policy-relevant research and influence large-scale change.

\
Think Climate Indonesia also contributes to IDRC’s broader mission to expand targeted programming and research support to think tanks addressing regional development challenges. The contribution is consistent with IDRC’s focus to invest in high-quality research in developing countries, share knowledge with researchers and policymakers for greater uptake and use, and mobilize its global alliances to build a more sustainable and inclusive world. \n 

The experiences and insights gathered from the Think Climate Indonesia initiative will be relevant to respond to the shifts in regional development needs and challenges forced by climate pressure across the Global South and will inform thinking on the best practices for creating positive change amid the indistinction of the separation between climate adaptation and climate mitigation and the increase of interest in supporting climate resilience and low-carbon development pathways.

\
*Note: Kolibri is an abbreviation of the Indonesian phrase “kolaborasi riset ber-Inovasi,” which in English translates to collaboration for innovative research. Kolibri is also the Indonesian word for the hummingbird, which helps farmers through natural pollination.*

 \n 

**Think Climate Indonesia**

\
Sebagai bagian dari Think Climate Indonesia, kemitraan tiga tahun yang didukung oleh the International Development Research Centre (IDRC) dan Oak Foundation, Aliansi ini memberikan dukungan bagi anggotanya untuk membangun efektivitas organisasional serta kapasitas riset, melakukan riset dan membangun database adaptasi iklim, dan meningkatkan komunikasi publik untuk mendiseminasikan hasilnya. Enam provinsi tersebut adalah Papua Barat, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Sumatra Barat, Kalimantan Tengah dan Jambi.

\
With Think Climate Indonesia, Kaleka seeks to strengthen the individual capacity of local organizations to help them take effective climate actions and support farmers and fishers to adopt resilient rural livelihoods. This approach is different because it addresses a major issue in today’s climate movement by making the people in the grips of the climate crisis as the active and central driver of solutions. There are four key activities to achieve this goal:

\
\

1. **Meningkatkan efisiensi organisasi lokal**:
   * Mengadakan pelatihan finansial dan administrasi serta membangun sistem administrasi dan manajemen online sebagai upaya untuk membekali organisasi lokal dengan keahlian dan teknik untuk mengelola proyek yang lebih besar.

     \
2. **Meningkatkan riset terapan**
   * Menyediakan program pelatihan riset mengenai mitigasi dan adaptasi iklim sebagai usaha untuk membangun model mata pencaharian desa yang tangguh dan menguntungkan.

     \
3. **Meningkatkan jangkauan komunikasi dan kebijakan**
   * Mendiseminasikan dan mengkomunikasikan temuan riset perubahan iklim sebagai usaha untuk mencapai dampak yang optimal dalam penjangkauan publik.

     \
4. **Membangun kapasitas organisasi lokal bagi riset independen di masa mendatang**
   * Membantu organisasi lokal dalam pengumpulan data, pembuatan platform data, dan pembuatan kebijakan pembagian data dan penggunaan data sebagai usaha untuk memberikan akses pengetahuaan dan pengalaman petani lain lintas lokasi geografis yang berbeda.

\
\
Think Climate Indonesia aims to enable local think tanks in Indonesia to engage more effectively in climate actions. This partnership provides the core funding for the organizational and research activities of five local think tanks, selected through an open, competitive call, whose missions and mandates focus on using research to inform and influence development policy and practice, namely Kaleka, WRI–Indonesia, PATTIRO, Yayasan Kota Kita, and Kemitraan.

\
Inisiatif ini percaya bahwa wadah pemikir yang berdiri di antara riset, pembentukan kebijakan, dan pelibatan masyarakat memiliki kemampuan untuk merespon tantangan kompleks perubahan iklim dengan cara menginformasikan kebijakan berbasis bukti dengan pengetahuan dan keahlian lokal secara tepat waktu, relevan dan dapat diakses. Bekerja dengan Oak Foundation, sebuah yayasan yang dipimpin keluarga yang mendedikasikan sumber dayanya untuk mengatasi permasalahan global, sosial dan persoalan lingkungan, terutama bagi isu yang berdampak besar pada kehidupan orang-orang yang kurang beruntung, inisiatif Think Climate Indonesia mendukung upaya Indonesia untuk mencapai komitmen iklimnya dengan membantu wadah pemikir lokal memproduksi riset yang relevan dengan kebijakan dan memberi dampak berskala besar.

\
Think Climate Indonesia juga berkontribusi terhadap misi besar IDRC untuk memperluas program tertarget dan dukungan riset bagi wadah pemikir untuk mengatasi tantangan pembangunan regional. Kontribusi tersebut konsisten dengan fokus IDRC untuk berinvestasi pada riset berkualitas tinggi di negara berkembang, membagikan pengetahuan kepada para periset dan pembuat kebijakan bagi penyerapan dan penggunaan yang lebih besar, dan memobilisasi aliansi globalnya untuk membangun dunia yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

\
Pengalaman dan wawasan yang dikumpulkan dari inisiatif Think Climate Indonesia akan relevan untuk merespon kebutuhan dan tantangan pembangunan regional yang bergeser karena tekanan iklim di seluruh Global South dan akan menginformasikan pemikiran mengenai praktik terbaik bagi pembuatan perubahan positif di tengah buramnya pembagian antara adaptasi iklim dan mitigasi iklim dan meningkatnya dukungan resiliensi iklim dan jalur pembangunan rendah karbon.

\
*Catatan: Kolibri merupakan singkatan dari kolaborasi riset ber-Inovasi. Burung kolibri membantu petani buah dalam hal penyerbukan secara alami.*

 \n 

International Development Research Centre (IDRC)

Unilever has initiated a partnership with Kaleka to support Seruyan and Kotawaringin Barat to achieve sustainability commodity production in both districts. Through a jurisdictional approach, commodities should be produced in a way that protects forests and other ecosystems, reduces poverty and upholds human rights.

\
The jurisdictional approach to the certification of palm oil in practice refers to the application of the Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) Principles and Criteria at the level of the jurisdiction. Ideally, it should simplify and reduce the costs of certification thus expanding RSPO coverage while improving social and environmental outcomes. These benefits include improved habitat for wildlife, including ecological corridors and social benefits such as greater institutional support for smallholders and protection of human rights. All actors in the palm oil supply chain, from independent smallholders, medium to industrial scale plantations, mills, traders and transporters should be covered.

\
Seruyan and Kotawaringin Barat are two of the largest palm oil producing districts in Central Kalimantan, Indonesia. They supply palm oil to markets throughout the world, including major consumer goods companies. Overall, 27 mills across these two districts have been identified as being directly or indirectly part of Unilever’s supply chain.

\
\
**Project Objectives**

The Unilever Partnership aims to protect and restore habitat and ecological corridors vital for wildlife such as orangutan, proboscis monkeys, gibbons and sun-bears while improving the welfare of farmers and indigenous peoples by increasing their income and livelihoods as well as providing access to bigger markets through the RSPO certification. These landscapes are also the places where globally important commodities, such as oil palm, rubber and copra are produced. The Seruyan-Kumai Landscape incorporates the two districts of Seruyan and Kotawaringin Barat, in Central Kalimantan.

 \n 

**Four Worksteam**


1. The jurisdictional sustainability platform
   A formal multistakeholder entity managing the process of jurisdictional certification,supported by a government regulation and other governance infrastructure (incl. spatial plans)
2. Conservation and restoration
   Restore and protect vulnerable ecosystems to enhance conservation while increasing the capacity of the ecosystems to provide services for people in the district
3. Enhancing customary and community land rights
   Establish a system with the local governments to handle and mitigate conflict as well as mapping and registering customary-owned and community lands
4. Smallholder empowerment
   Assist 2,500 independent farmers in Seruyan district to obtain RSPO and ISPO certification covering around 3,500 hectares by 2022

\
\
\
**Project's Key Facts**

Timeframe: 2019 - 2022
Landscape: Seruyan-Bedaun in Seruyan and Kotawaringin Barat Districts, Central Kalimantan, Indonesia.
Partner: Unilever

\
\
**Our Approach**

Jurisdictional certification focuses on engaging with the democratically elected local government authority to achieve sustainable development. The overall approach of the strategy proposed is to work within a jurisdiction—a formal political geography, such as districts or provinces. It moves away from project-based interventions or a “mill-to-mill” approach to a larger administrative area.

\
\
**Our Journey**

* May 2016

MoU signed to certify 600 independent oil palm smallholders in Pangkalan Tiga village

* October 2017

190 members of KUD Tani Subur obtained RSPO & ISPO certification

* April 2019

The first phase of project ended with additional 510 farmers RSPO certified

* September 2019

Launch of the Unilever Partnership - phase two of the project

* October 2022

200 ha of forest areas are restored; A system to handle & mitigate conflict is established; 2,500 farmers are RSPO certified

* Targeted project achievement

 \n The[MoU](https://www.unilever.com/news/news-and-features/Feature-article/2017/We-are-driving-a-new-approach-to-sustainable-palm-oil.html) was the first public-private partnership of its kind. Partners include: Kaleka, Unilever, the Central Kalimantan Provincial Government, and the Kotawaringin Barat District Government.

KUD Tani Subur is a village cooperative in Pangkalan Tiga Village, which has grown into a multi-billion rupiah cooperative with diversified assets including a two-billion rupiah credit and loan facility: cattle, fish and poultry breeding facilities; a two-story supermarket and a popular sprawling agrotourism center set up in the middle of an oil palm plantation. Read the success story of the KUD __[here](https://www.unilever.com/news/news-and-features/Feature-article/2018/meet-three-experts-involved-in-a-milestone-palm-oil-project.html)__.

\
\
**Achievements**

**(2016-2019)**

The initial project results included oil palm smallholders mapped and formally registered, trained and audited; smallholder plots incorporated into SIPKEBUN (the Central Kalimantan’s government plantation monitoring system); sustainable palm oil action plans incorporated into village development plans; and capacity smallholder organisations strengthened.

The results have been impressive, with all KPIs met or exceeded, and more than 1,000 independent smallholders certified by the end of 2019. Unilever has now purchased RSPO independent smallholder credits from these independent smallholder farmers through RSPO’s PalmTrace platform, which increases the diversification and business ventures of the cooperatives, directly improves the livelihoods of the smallholder, and increases the incentives for them to conduct sustainable practices.

 \n 

**Lesson Learned**

The most valuable lesson learned through the collaboration so far is that significant time and investment are required to support smallholders to achieve sustainability certification standards and to offset the costs of audits. The support from local governments such as land mapping, registration and obtaining all the relevant legal documents, are critical to addressing the systemic challenges that independent smallholders face when trying to achieve certification.

The success of phase one of the program between Unilever and Kaleka has the potential to catalyze other producer and buyer companies, as well as existing and potential public and private foundations, to contribute to improve the sustainability and inclusivity of commodity production in the districts and landscape as a whole.

\
Unilever’s commitment to prioritize commodity sourcing from areas that are pursuing comprehensive forest climate programs, including from jurisdictions committed to sustainability, will provide support and engagement to local governments and producers to continue their progress towards sustainability.

Unilever telah memulai kemitraan dengan Kaleka untuk mendukung Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat untuk mencapai produksi komoditas berkelanjutan di kedua kabupaten tersebut. Melalui pendekatan yurisdiksi, komoditas harus diproduksi dengan cara yang melindungi hutan dan ekosistem lainnya, mengurangi kemiskinan dan menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM).

\
Pendekatan yurisdiksi untuk sertifikasi minyak sawit, dalam praktiknya, mengacu pada penerapan prinsip dan kriteria *Roundtable on Sustainable Palm Oil* (RSPO) di tingkat yurisdiksi. Idealnya, hal ini seharusnya dapat menyederhanakan dan mengurangi biaya sertifikasi sehingga memperluas cakupan RSPO sekaligus memperbaiki manfaat sosial dan lingkungan. Termasuk dalam manfaat ini adalah perbaikan habitat bagi satwa liar, termasuk koridor ekologi dan manfaat sosial seperti dukungan kelembagaan yang lebih besar bagi petani kecil dan perlindungan hak asasi manusia. Semua pelaku dalam rantai pasokan kelapa sawit, dari petani swadaya, perkebunan skala menengah hingga industri, pabrik, pedagang dan pengangkut harus tercakup.

\
Seruyan dan Kotawaringin Barat adalah dua kabupaten penghasil kelapa sawit terbesar di Kalimantan Tengah, Indonesia. Mereka memasok minyak sawit ke pasar di seluruh dunia, termasuk perusahaan barang konsumen besar. Secara keseluruhan, 27 pabrik di dua kabupaten ini telah diidentifikasi sebagai bagian langsung atau tidak langsung dari rantai pasokan Unilever.

\
\
**Tujuan Proyek**

Kemitraan Unilever ini bertujuan untuk melindungi dan memulihkan habitat dan koridor ekologi yang penting bagi satwa liar seperti orang utan, bekantan, owa dan beruang madu, sekaligus menyejahterakan petani dan masyarakat adat dengan meningkatkan pendapatan dan mata pencaharian mereka serta menyediakan akses ke pasar yang lebih besar melalui sertifikasi RSPO. Bentang alam ini juga merupakan tempat produksi komoditas global, seperti kelapa sawit, karet, dan kopra. Bentang alam Seruyan-Kumai menggabungkan dua kabupaten dari Seruyan dan Kotawaringin Barat, di Kalimantan Tengah.

\
\
**Empat Alur Kerja**


1. **Platform Yurisdiksi Berkelanjutan**

   Sebuah entitas multipihak resmi yang mengelola proses sertifikasi yurisdiksi yang didukung oleh peraturan pemerintah dan infrastruktur tata kelola lainnya (termasuk rencana tata ruang).
2. **Konservasi dan Restorasi**

   Memulihkan dan melindungi ekosistem yang rentan untuk meningkatkan konservasi sekaligus meningkatkan kapasitas ekosistem untuk memberikan layanan bagi masyarakat di kabupaten tersebut.
3. **Mengutamakan Hak Adat dan Hak Atas Lahan Masyarakat**

   Membentuk sistem dengan pemerintah daerah untuk menangani dan mengurangi konflik serta memetakan dan mendaftarkan tanah adat dan tanah masyarakat.
4. **Pemberdayaan Petani Kecil**

   Mendampingi 2.500 petani mandiri di Kabupaten Seruyan untuk mendapatkan sertifikasi RSPO dan ISPO yang mencakup sekitar 3.500 hektar pada tahun 2022.

\
\
**Fakta Proyek**

Timeframe: 2019 - 2022

Lanskap: Seruyan-Bedaun di Wilayah Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia.

Mitra: Unilever

\
\
**Pendekatan Kami**

Sertifikasi yurisdiksi berfokus pada keterlibatan otoritas pemerintah daerah yang dipilih secara demokratis untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Pendekatan keseluruhan dari strategi yang diusulkan adalah untuk bekerja di dalam yurisdiksi — geografi politik formal, seperti kabupaten atau provinsi. Ini beralih dari intervensi berbasis proyek atau pendekatan "pabrik ke pabrik" ke wilayah administratif yang lebih besar.

\
\
 \n **Perjalanan Kami**

* Mei 2016

MoU ditandatangani untuk mensertifikasi 600 petani sawit swadaya di desa Pangkalan Tiga

* Oktober 2017

190 anggota KUD Tani Subur memperoleh sertifikasi RSPO & ISPO

* April 2019

Tahap pertama proyek berakhir dengan tambahan 510 petani bersertifikat RSPO

September 2019

Peluncuran Kemitraan Unilever – proyek tahap kedua

* Oktober 2022

200 ha kawasan hutan dipulihkan; Sistem untuk menangani & mengurangi konflik dibuat; 2.500 petani bersertifikat RSPO

* Pencapaian proyek yang ditargetkan

  \

[MoU](https://www.unilever.com/news/news-search/2017/we-are-driving-a-new-approach-to-sustainable-palm-oil/) yang dihasilkan merupakan bentuk kerja sama pertama yang pernah dilaksanakan antara sektor publik dan sektor swasta. Kemitraan ini melibatkan Kaleka, Unilever, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, dan Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Barat.

\
KUD Tani Subur adalah koperasi desa di Desa Pangkalan Tiga, yang telah berkembang menjadi koperasi beraset multi-miliar rupiah dengan aset yang beragam termasuk fasilitas kredit dan pinjaman senilai dua miliar rupiah: fasilitas pembibitan sapi, ikan dan unggas; supermarket dua lantai dan pusat agrowisata populer yang didirikan di tengahtengah perkebunan kelapa sawit. Baca kisah sukses KUD __[di sini](https://www.unilever.com/news/news-and-features/Feature-article/2018/meet-three-experts-involved-in-a-milestone-palm-oil-project.html)__.

\
\
**Pencapaian \n (2016-2019)**

Hasil awal proyek termasuk petani sawit yang dipetakan dan didaftarkan secara resmi, dilatih dan diaudit; plot petani dimasukkan ke dalam SIPKEBUN (sistem pemantauan perkebunan pemerintah Kalimantan Tengah); rencana aksi kelapa sawit berkelanjutan dimasukkan ke dalam rencana pembangunan desa; dan kapasitas organisasi petani diperkuat.

\
Hasilnya sangat mengesankan, dengan semua KPI terpenuhi atau terlampaui, dan lebih dari 1.000 petani swadaya tersertifikasi hingga akhir 2019. Unilever kini telah membeli kredit petani swadaya RSPO dari petani swadaya melalui platform PalmTrace RSPO, yang meningkatkan diversifikasi dan bisnis usaha koperasi, secara langsung meningkatkan mata pencaharian petani kecil, dan meningkatkan insentif bagi mereka untuk melakukan praktik berkelanjutan.

\
\
**Pembelajaran**

Pembelajaran paling berharga melalui kolaborasi sejauh ini adalah dibutuhkan waktu dan investasi yang signifikan untuk mendukung petani kecil mencapai standar sertifikasi keberlanjutan dan untuk mengimbangi biaya audit. Dukungan dari pemerintah daerah seperti pemetaan tanah, pendaftaran dan memperoleh semua dokumen hukum yang relevan, sangat penting untuk mengatasi tantangan sistemik yang dihadapi petani swadaya ketika mencoba mencapai sertifikasi.

\
Keberhasilan tahap satu dari program antara Unilever dan Kaleka memiliki potensi untuk menjadi katalis bagi perusahaan produsen dan pembeli, begitu juga dengan yayasan-yayasan publik dan swasta yang telah berdiri dan berpotensi, untuk berkontribusi dalam upaya meningkatkan produksi komoditas secara berkelanjutan dan inklusif di kabupaten dan lanskap secara keseluruhan.

\
Komitmen Unilever untuk memprioritaskan sumber komoditas dari daerah yang menjalankan program iklim hutan yang komprehensif, termasuk dari yurisdiksi yang berkomitmen pada keberlanjutan, akan memberikan dukungan dan keterlibatan kepada pemerintah daerah dan produsen untuk melanjutkan kemajuan mereka menuju keberlanjutan.

Unilever

The jurisdictional approach is an aspirational idea to implement certification at scale with government participation. Watch the inspiring stories of the three pilot regions for RSPO's jurisdictional approach to certification.

Pendekatan yurisdiksi adalah ide aspirasional untuk menerapkan sertifikasi dalam skala besar dengan partisipasi pemerintah. Tonton kisah inspiratif dari tiga wilayah percontohan pendekatan yurisdiksi RSPO untuk memperoleh sertifikasi.

Get to know with Aliansi Kolibri

Berkenalan dengan Aliansi Kolibri

Villages

Desa

Our Stories

Cerita Kami

Contact Us 

Hubungi Kami

Jalan Papandayan No.10, RT01/RW03,

Babakan, Central Bogor,

West Java 16128, Indonesia

Phone: (+62) 251 8368349

E-mail: info@kaleka.id

\


Jalan Papandayan No.10, RT01/RW03,

Babakan, Bogor Tengah,

Jawa Barat 16128, Indonesia

Telepon: (+62) 251 8368349

E-mail: info@kaleka.id

\


Bogor, West Java

Bogor, Jawa Barat

Jalan Padang Galak No.17,

Kesiman Petilan, East Denpasar,

Bali 80237, Indonesia

Phone: (+62) 361 4721370

E-mail: info@kaleka.id

Jalan Padang Galak No.17,

Kesiman Petilan, Denpasar Timur,

Bali 80237, Indonesia

Telepon: (+62) 361 4721370

E-mail: info@kaleka.id

Denpasar, Bali

With collaborative applied research, we research difficult and systemic issues.

\
We find and test the solutions together with farmers. Then, we support jurisdictions to upscale the effective solutions to achieve impact at scale.

Dengan penelitian terapan kolaboratif, kami meneliti isu-isu yang rumit dan sistemik. \n 

Kami mengeksplorasi dan menguji solusinya bersama dengan para petani. Lalu, kami mendukung pemerintah untuk meningkatkan solusi efektif guna mencapai dampak dalam skala yang lebih besar.

Transition to Excellence

Transisi ke Keunggulan

Kaleka (formerly Yayasan Inobu) is an Indonesian, non-profit organization that strives towards the sustainable management of Indonesia’s landscapes and seascapes for the benefit of local and indigenous communities. Founded in 2014, Kaleka is a women-led organization, where the Executive Director and majority of managers and staff are women. With over 60 staff now, our staff represent the diversity of peoples in the Indonesian archipelago, all committed to upholding human rights and protecting the environment. Kaleka’s thematic strengths are in the areas of sustainable sourcing, conservation and restoration, agri-food systems, community development and environmental and social governance.

\
At the heart of Kaleka’s approach, is the concept of Collaborative, Action Research. Before commencing any work, we work with our partners, including the government at the national and sub-national levels, civil society organizations, producer, manufacturing and consumer-facing companies, universities, farmers and local communities, to identify their priorities. Through researching best practices in science, while incorporating local and indigenous knowledge, we test, implement, evaluate and refine innovations. This approach ensures the acceptability and relevance of interventions to local partners while also allowing us to scale nationally.

\


Kaleka (sebelumnya Yayasan Inobu) adalah organisasi nirlaba Indonesia yang bergerak dalam memperjuangkan pengelolaan bentang alam dan bentang laut untuk Indonesia yang berkelanjutan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat lokal maupun masyarakat adat. Didirikan pada tahun 2014, organisasi Kaleka Indonesia dipimpin oleh seorang perempuan, di mana Direktur Eksekutif dan manajer beserta stafnya juga sebagian besar adalah perempuan. Dengan berjumlah lebih dari 60 staf hingga saat ini, staf Kaleka mewakili keragaman masyarakat dari berbagai kepulauan di Indonesia yang berkomitmen untuk menegakkan hak asasi manusia serta memberikan perlindungan terhadap lingkungan. Kekuatan tematik Kaleka meliputi bidang sumber berkelanjutan, konservasi dan restorasi, sistem pertanian pangan, pengembangan masyarakat serta tata kelola lingkungan dan sosial.

\
Inti dari pendekatan Kaleka adalah konsep *Collaborative, Action Research*. Dalam membuat gerakan, Kaleka bekerjasama dengan para mitra, termasuk pemerintahan di tingkat nasional dan sub-nasional, organisasi masyarakat sipil, produsen, perusahaan manufaktur dan konsumen, universitas, petani, serta masyarakat lokal untuk mengidentifikasi prioritas mereka. Melalui penelitian praktik terbaik dalam sains, sambil menggabungkan pengetahuan masyarakat lokal dan penduduk asli, Kaleka menguji, menerapkan, mengevaluasi, dan menyempurnakan inovasi. Pendekatan ini memastikan penerimaan dan relevansi intervensi terhadap mitra lokal, serta memungkinkan Kaleka untuk menskalakannya secara nasional.

\


About Us

Tentang Kami

 ![Suparjo, an elementary school teacher retiree who championing regenerative agriculture.](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/ourstoryentity/1b0adb85-1aff-4707-8233-aab7aa6b0441.jpeg)

\
After playing various roles, from a teacher to an oil palm farmer, Suparjo is now championing regenerative agriculture to his fellow farmers in Selunuk village in the Seruyan District of Central Kalimantan. However, the teaching spirit within him has never vanished, after dedicating more than 40 years to educating children in elementary school.

\
Now approaching the age of retirement, he has been actively tending to his oil palm plantation, where he practices regenerative agriculture and from where he shares his considerable knowledge of regenerative agriculture with his fellow farmers.

\
Suparjo welcomed us warm-heartedly into his small village hut. Inside, on a short wooden table sat neat piles of duku fruits (*Lansium domesticum*) on top of two bamboo plates. \n 

“Please try our harvest fruits. Excuse the simplicity, *Mas*,” Suparjo requested, with a thick Javanese accent. The taste of the fruits was fresh, sweet, and sour. Suparjo looked pleased and proud as we eagerly savored the fruits he served.

\
In 1976, Suparjo left his hometown in Kulonprogo, Central Java, to teach at an elementary school in Sebabi Village, Central Kalimantan. He married a Dayak woman there and had four children with her before the family eventually moved and settled in Selunuk Village.

\
Indeed, Suparjo and his family had been practicing agriculture for a long time; they started back when he was still an elementary school teacher. They cultivate their own land to meet their household needs and occasionally sell some harvest at the market when it is abundant.

\
Suparjo retired from his teaching job in 2017. Thereafter, he decided to make a living from cultivating his one-hectare land. He began tapping latex from rubber trees, growing various vegetables, and raising about 30 Bangkok chickens. However, in 2019, he decided to switch from rubber to palm oil cultivation after discussing it with his small family.

\
Suparjo was now preparing to achieve a Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) certification for palm oil cultivation, as per the demands of the market. Beyond the certification process, he was also keen on acquiring current knowledge about regenerative agriculture practices, which are sustainable farming practices aimed at rebuilding ecosystems and enhancing long-term agricultural resilience. To implement the knowledge he acquired from his training, Suparjo produced his own organic fertilizer and chemical-free pesticides in collaboration with fellow villagers. To this end, he benefited from the livestock waste collected from the cows and chickens under his care, using it as a key ingredient in the production of his organic fertilizer. \n 

 ![Suparjo (on the right) took a picture with his farmer's group team, which he leads.](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/ourstoryentity/2757fa9c-a26e-4828-a4e3-99ab1b8fed54.jpeg)

\
Moreover, Suparjo leads the Selunuk Agro Lestari Farmer Group that produces organic fertilizer by utilizing water hyacinth (*Eichhornia crassipes*) and other invasive plants. These plants are chopped, mixed with chicken manure, and then fermented with molasses and effective microorganisms-4 (EM4). The subsequent mixtures are buried in the soil for a period of two months for the completion of the fermentation process.

\
“After receiving regenerative farming training, we’ve learned to farm while preserving nature, unlike before when we didn’t give much thought to the environment,” said Suparjo.

\
Suparjo also added that whereas he previously used to rely on urea-based fertilizer due to its relatively low cost, nowadays he has learned to make an organic fertilizer that is more environmentally friendly. He asserted that the latter’s production cost is even lower because he can find the requisite ingredients anywhere in his village.

\
 ![During the organic fertilizer-making process, Suparjo captured a photo of his team, showcasing their solidarity.](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/ourstoryentity/465e1bad-add6-409d-b3d9-4ee69892e964.jpeg)

\
Over years of farming, Suparjo has realized the importance of collaboration and teamwork. This awareness was the result of the time spent learning with people from his farmer group, attending training sessions, and working collaboratively to produce organic fertilizer for collective use. Suparjo also believed that if he and his farming group continue sharing the knowledge they have gained with others, the community well-being of his village will be further improved.

\
“Through the implementation of regenerative agriculture, we learn and give back to others. We believe it will bring prosperity, joy, and a better life for the people of Selunuk Village,” Suparjo asserted with an optimistic smile.

\
 \n *Writer: [A. Arif Wangsa](https://kaleka.id/person/a-arif-wangsa)*

 ![Suparjo, pensiunan guru sekolah dasar yang memperjuangkan pertanian regeneratif.](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/ourstoryentity/fff2a219-c4bf-4c28-b379-029608a5f509.jpeg)

\
Setelah menjalani berbagai peran di dalam hidupnya, mulai dari guru hingga petani kelapa sawit, Suparjo kini sedang menyuarakan pertanian regeneratif kepada rekan-rekan petani di Desa Selunuk, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. Meskipun sudah pensiun, jiwa seorang guru di dalam dirinya tidak serta merta lenyap setelah 40 tahun lebih mendedikasikan dirinya untuk mendidik murid di sekolah dasar.

\
Saat ini, ia aktif merawat perkebunan kelapa sawit serta mempraktikkan pertanian regeneratif di kebunnya. Selain itu, Suparjo juga terus-menerus mengembangkan ilmunya tentang pertanian regeneratif dan membagikannya dengan sesama petani di desanya. \n 

Suparjo menyambut kami dengan hangat di sebuah pondok desa. Di atas meja kayu pendek, tersusun rapi tumpukan buah duku (*Lansium domesticum*) yang dialasi oleh dua buah piring bambu. \n 

“Silahkan dicoba hasil panen kami. Maaf, seadanya saja, Mas,” sambut Suparjo dengan aksen Jawanya yang masih terdengar kental. Buah yang ia sajikan terasa begitu segar, manis, meski sedikit asam. Suparjo terlihat sangat senang ketika kami dengan lahap menikmati buah-buahan segar yang ia sajikan tersebut.

\
Sembari menikmati buah duku, Suparjo pun mulai bercerita tentang alasan ia meninggalkan kampung halamannya di Kulonprogo, Jawa Tengah, pada tahun 1976. Demi mengejar cita-citanya, ia merantau ke Kalimantan Tengah untuk mengajar pada sebuah sekolah dasar di Desa Sebabi. Ia lalu bertemu dengan seorang perempuan Dayak, yang hingga saat ini menjadi pasangan sehidup sematinya. Mereka pun dikaruniai empat orang anak yang sehat. Tak lama kemudian, mereka akhirnya memutuskan untuk pindah dan menetap di Desa Selunuk. \n 

Suparjo dan keluarganya memang sudah lama bertani, bahkan sejak ia masih mengajar di sekolah dasar. Mereka menggarap lahannya sendiri dengan berbagai macam sayuran untuk memenuhi kebutuhan dapur rumah tangganya. Terkadang, ia juga menjualnya ke pasar ketika hasil panennya sedang banyak.

\
Suparjo pensiun dari pekerjaan sebagai guru pada tahun 2017. Di masa pensiunnya, ia memutuskan untuk fokus mengolah kembali lahan seluas satu hektar miliknya. Dimulai dari menyadap getah dari pohon karet, menanam berbagai sayuran, hingga memelihara sekitar 30 ekor ayam Bangkok. Namun pada tahun 2019, ia mengalihfungsikan lahan kebun karetnya menjadi kelapa sawit atas saran dari keluarga kecilnya.

\
Untuk memenuhi permintaan pasar kelapa sawit, Suparjo saat ini sedang mempersiapkan dirinya untuk mendapatkan sertifikasi *Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO)*. Di samping proses sertifikasi, ia juga tertarik untuk memperoleh pengetahuan terkini tentang praktik pertanian regeneratif. Ia tentu memahami bahwa pertanian regeneratif merupakan praktik pertanian berkelanjutan yang bertujuan untuk membangun kembali ekosistem dan meningkatkan ketahanan pertanian jangka panjang di desanya. Untuk menerapkan ilmu yang didapat dari pelatihan tersebut, Suparjo bekerjasama dengan warga di Desa Selunuk untuk memproduksi sendiri pupuk organik dan pestisida bebas bahan kimia. Untuk mencapai hal tersebut, ia memanfaatkan limbah ternak yang dikumpulkan dari sapi dan ayam yang ia pelihara, lalu menggunakannya sebagai bahan utama dalam produksi pupuk organiknya. \n 

 ![Suparjo (paling kanan) berfoto bersama kelompok tani yang ia pimpin di Desa Selunuk.](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/ourstoryentity/2757fa9c-a26e-4828-a4e3-99ab1b8fed54.jpeg)

\
Selain itu, Suparjo juga memimpin Kelompok Tani Selunuk Agro Lestari yang memproduksi pupuk organik dengan memanfaatkan eceng gondok *(Eichhornia crassipes)* beserta tanaman invasif lainnya. Tanaman ini dicacah, dicampur dengan kotoran ternak, kemudian difermentasi dengan molase dan Mikroorganisme Efektif-4 (EM4). Campuran tersebut selanjutnya dikubur di dalam tanah dalam jangka waktu dua bulan hingga proses fermentasi selesai.

\
“Setelah mendapat pelatihan pertanian regeneratif, kami semakin memahami bahwa dalam bertani, kita juga harus tetap menjaga kelestarian alam. Berbeda dengan sebelumnya, kami tidak begitu memikirkan lingkungan,” kata Suparjo. \n 

Suparjo juga menambahkan, jika dulu ia mengandalkan pupuk berbahan dasar urea karena harganya yang relatif murah. Kini, ia belajar membuat pupuk organik yang lebih ramah lingkungan. Ia pun menjelaskan bahwa biaya produksinya bahkan lebih rendah, sebab bahan-bahan yang diperlukan dapat diperoleh dengan mudah di desanya.

\
 ![Pada saat proses pembuatan pupuk organik, Suparjo memotret anggota timnya yang sedang bekerja untuk menunjukkan kebersamaan mereka.](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/ourstoryentity/465e1bad-add6-409d-b3d9-4ee69892e964.jpeg)

\
Selama bertahun-tahun bertani, Suparjo kini menyadari pentingnya kolaborasi dan kerja sama tim. Kesadaran ini merupakan hasil dari pembelajaran bersama masyarakat di kelompok tani, mengikuti pelatihan, dan bekerja sama menghasilkan pupuk organik untuk digunakan bersama. Suparjo juga yakin jika ia dan kelompok taninya terus berbagi ilmu yang didapat kepada orang lain, maka sumber daya manusia di desanya dapat menjadi lebih baik.

\
“Melalui penerapan pertanian regeneratif ini, kami belajar untuk membagikan manfaat kepada orang lain. Kami yakin hal ini akan membawa kesejahteraan, kegembiraan, dan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat Desa Selunuk di masa yang akan datang,” ungkap Suparjo sambil tersenyum optimis.

\
 \n *Writer: [A. Arif Wangsa](https://kaleka.id/person/a-arif-wangsa)*

Suparjo: From Teaching in School to Championing Regenerative Agriculture

Suparjo: Dari Guru Sekolah Dasar, Hingga Menjadi Pejuang Pertanian Regeneratif

 ![Abdul Wahab, a native of Ulak Batu village](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/ourstoryentity/8a83fd56-22da-4c46-9b41-4de21e26d9bb.JPG)

\
Fearing that he could lose his home to floods and forest fires, Abdul Wahab, a native of the village of Ulak Batu in the Seruyan District of Central Kalimantan, had kept planting trees together with his fellow villagers.

\
Now, the 55-year-old man with a long-sleeved red shirt covering his brown skin, stood waving at us from the muddy riverbank of the Seruyan River. He had been waiting for us under the warm sun for some time. However, despite his lean and aged physique, Wahab radiated positivity as he enthusiastically welcomed us.

\
Abdul Wahab was born and raised in Ulak Batu as a native member of the Dayak community. Every day, he works as a fisherman to support his small family of four. He therefore spends most of his time on the banks of the Seruyan River. Even the location of his residence is close to the river. Everyone living in such proximity to the Seruyan River, including him, often experiences the adverse impact of floods, especially during heavy rainfall.

\
"Our village often faces flooding. The worst was in 2021 when our village was submerged, and many of us had to evacuate. Our activities were hampered for four months during that time," Wahab explained, pointing his finger toward the flood-prone area.

\
In addition to floods, Wahab also mentioned that his village had experienced several fires on their lands across 2015 and 2017, most of which had occurred during the dry season. The deteriorating natural conditions from fires and floods saddened Wahab, prompting him to his initiative to restore the degraded lands in his village.

\
 ![Abdul Wahab monitoring a tree's growing progress.](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/ourstoryentity/9ac9ce37-5ae2-411f-be03-102a77194c47.jpeg)

\
Within the Ecosystem Restoration activities, Wahab started planting more trees on the degraded lands of floods and fires in 2022. Soon, he realized that several tree species grow well in his village. He believes that these trees can reduce the occurrence of floods and forest fires at several points, and can even restore the environment to its original state. Hence, he felt compelled to actively participate in the restoration activities aimed at reviving the natural habitat of his village. His commitment to restoration actions also earned him the trust of his community to lead the restoration team.

\
“We planted about 4,156 tree seedlings. These trees were selected based on their benefits, some for the environment, like the Balangeran tree, and others for economic purposes, such as fruit trees," Wahab explained.

\
Wahab acknowledged the need for sustained project implementation and a more extended timeframe to realize the economic benefits of the restoration project for the local community: “The biggest challenge so far is bringing the seedlings to our village due to bad roads. However, our restoration team’s strong support and dedication always make us eagerly committed to protecting nature and realizing the well-being of our homeland.” \n 

Wahab reiterated that the success of the ongoing restoration efforts is owed to a collaboration with the village government, which granted the permission to borrow tools and water-spraying machines for seedbeds. Going forward, he hopes that the restoration activities can be expanded for the benefit of more village residents.

\
 ![While held a giant jelutong tree, Abdul Wahab told his hopes toward the sustainability in Ulak Batu village.](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/ourstoryentity/b6e60464-851c-403f-9c4c-d3193aba733d.jpeg)

\
Wahab also suggests that farmers in Ulak Batu did not rely solely on one type of agricultural or plantation commodity. Instead, he dreams of his village community trying to cultivate various plant species that bring economic benefits and contribute positively to the local environment.

\
“I believe that one day, people in our village won’t have to worry when the rainy season arrives. And in the future, the various trees we planted can help improve the well-being of the people in Ulak Batu,” expressed Wahab, representing the hopes of every resident in his village.

\
\
 \n *Writer: [A. Arif Wangsa](https://kaleka.id/person/a-arif-wangsa)*

 ![Abdul Wahab, a native of Ulak Batu village](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/ourstoryentity/8a83fd56-22da-4c46-9b41-4de21e26d9bb.JPG)

\
Khawatir akan kehilangan rumahnya akibat ancaman banjir dan kebakaran hutan, Abdul Wahab, warga Desa Ulak Batu, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, melakukan penanaman pohon bersama-sama dengan warga di desanya.

\
Seorang pria umur 55 tahun, berkulit coklat dengan kaos lengan panjang berwarna merah tampak melambaikan tangannya ke arah kami dari tepian Sungai Seruyan yang berlumpur. Sedari tadi, ia berdiri di bawah hangatnya mentari untuk menunggu kedatangan kami. Penampilannya mungkin sangat sederhana dengan tubuh kurus serta perawakan yang sudah berumur, namun semangat positif Abdul Wahab terpancar ketika ia menyambut kedatangan kami dengan senyum yang antusias.

\
Abdul Wahab merupakan masyarakat asli Suku Dayak yang lahir dan menetap sejak dulu di Desa Ulak Batu. Sehari-harinya, ia bekerja sebagai nelayan sebagai sumber mata pencaharian untuk menghidupi keluarga kecilnya yang beranggotakan empat orang. Pekerjaan tersebut tentu saja membuat Abdul Wahab lebih banyak menghabiskan waktunya di Sungai Seruyan. Selain itu, lokasi kediamannya juga berada tak jauh dari bantaran sungai tersebut. Masyarakat lain yang tinggal di pesisir sungai, termasuk Abdul Wahab, kerap kali harus merasakan dampak buruk dari banjir, terutama saat curah hujan sedang deras.

\
“Desa kami sering dilanda bencana banjir. Yang paling parah, waktu tahun 2021, satu desa kami terendam sehingga masyarakat di sini harus mengungsi. Aktivitas kami juga menjadi terhambat selama empat bulan berturut-turut,” jelas Wahab sambil menunjukkan jari telunjuknya ke arah daerah rawan banjir.

\
Selain bencana banjir, Abdul Wahab menceritakan tentang desanya yang juga beberapa kali pernah mengalami kebakaran hutan sepanjang tahun 2015 dan 2017. Kebakaran ini sebagian besar terjadinya pada musim kemarau. Kondisi desanya yang sangat memprihatinkan akibat kebakaran dan banjir ini membuat Abdul Wahab turut sedih dan prihatin. Hal inilah yang kemudian mendorongnya untuk berinisiatif dalam melakukan restorasi pada lahan terdegradasi di kampung halamannya.

\
 ![Abdul Wahab monitoring a tree's growing progress.](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/ourstoryentity/9ac9ce37-5ae2-411f-be03-102a77194c47.jpeg)

\
Abdul Wahab mulai melakukan penanaman pohon pada tahun 2022. Tak lama kemudian, ia menyadari bahwa beberapa jenis pohon dapat tumbuh dengan baik di desanya. Dia meyakini bahwa pohon-pohon tersebut dapat mengurangi terjadinya banjir dan kebakaran hutan di beberapa titik, bahkan juga dapat memulihkan lingkungan seperti semula. Oleh karena itu, ia merasa terdorong untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan restorasi yang bertujuan untuk menghidupkan kembali lingkungan desanya. Tekad serta komitmennya yang kuat juga membuatnya mendapatkan kepercayaan dari masyarakat di desanya untuk memimpin tim restorasi di Desa Ulak Batu.

\
“Kami telah menanam sekitar 4.156 bibit pohon. Pohon-pohon ini dipilih berdasarkan manfaatnya, ada yang untuk lingkungan seperti pohon Balangeran, dan ada juga yang dapat dimanfaatkan untuk dijual seperti pohon buah-buahan,” jelasnya.

\
Abdul Wahab mengakui perlunya implementasi kegiatan yang berkelanjutan dalam jangka panjang agar masyarakat di desanya dapat juga merasakan manfaat ekonomi dari kegiatan penanaman pohon tersebut. “Tantangan terbesar sejauh ini adalah membawa bibit ke desa kami karena kondisi jalan yang buruk. Namun, dukungan dan dedikasi kuat dari tim restorasi membuat kami selalu bersemangat untuk berkomitmen penuh dalam melindungi alam serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat di desa kami,” ujar Abdul Wahab. 

\
Ia kembali menegaskan, keberhasilan upaya restorasi yang dilakukan tidak lepas dari kerja sama dengan pemerintah desa yang memberikan izin peminjaman peralatan dan mesin penyemprot air untuk persemaian bibit pohon. Kedepannya, Abdul Wahab berharap agar kegiatan restorasi dapat diperluas untuk memaksimalkan dampak baik dari kegiatan tersebut.

\
 ![While held a giant jelutong tree, Abdul Wahab told his hopes toward the sustainability in Ulak Batu village.](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/ourstoryentity/b6e60464-851c-403f-9c4c-d3193aba733d.jpeg)

\
Abdul Wahab juga menyarankan kepada para petani di Desa Ulak Batu agar mereka tidak hanya mengandalkan satu jenis komoditas pertanian atau perkebunan saja. Ia menaruh harapan kepada penduduk di desanya agar berupaya dalam membudidayakan berbagai jenis tanaman. Hal ini agar keanekaragaman hayati dapat tercipta dan memberikan kontribusi positif terhadap kesejahteraan maupun lingkungan bagi masyarakat setempat.

\
“Saya yakin suatu saat masyarakat di desa kami tidak perlu khawatir ketika musim hujan tiba. Selain itu, berbagai macam pohon yang kami tanam ini suatu saat dapat membantu dalam menyediakan tempat yang aman dan tenteram bagi masyarakat di Desa Ulak Batu,” ungkap Abdul Wahab dengan mewakili harapan setiap warga di desanya.

\
\
\
*Penulis: [A. Arif Wangsa](https://kaleka.id/person/a-arif-wangsa)*

Abdul Wahab: Planting Trees of Hope, Against the Threats of Floods and Fires

Abdul Wahab: Melawan Ancaman Banjir dan Kebakaran Hutan Melalui Penanaman Pohon

 ![The village of Sabuai achieved the Top 3 position at the Paralegal Justice Awards 2023 ceremony.](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/ourstoryentity/6589ffe6-0a0b-4631-9ff5-c233af1f0330.jpeg)

\
Never before had Tohhari envisioned such an achievement. His remote village managed to clinch the third-place spot among the nation's best villages at the Paralegal Justice Awards (PJA) 2023, held in Jakarta last May. Alongside this recognition, [Sabuai](https://kaleka.id/village/sebuai) village also received accolades as a Non-Litigation Peacemaker (NL.P.) and the Jagaddhita Village Experience Award for the village government's dedication and earnest efforts in leading the charge to provide legal assistance to its community.

\
"We even had to go through a long way to the city of Pangkalan Bun for a better internet connection. We did everything within our power to ensure timely submission of our online application to the selection committee," stated Tohhari during a virtual interview. As the head of [Sabuai](https://kaleka.id/village/sebuai) Village, Tohhari learned about the Paralegal Justice Awards 2023 through the West Kotawaringin Regency Government. Situated on the farthest edge of the coastal area in the West Kotawaringin Regency, [Sabuai](https://kaleka.id/village/sebuai) faces significant limitations in accessing information. However, this did not deter their spirit and determination to participate in the PJA activities.

\
 ![Tohhari, the head of Sabuai Village, when visiting the Supreme Court in Jakarta.](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/ourstoryentity/52d764a2-b1e9-4258-a4b2-f04a3bf84543.jpeg)

\
Through his narrative, Tohhari was given the opportunity to speak at the PJA forum in Jakarta, representing [Sabuai](https://kaleka.id/village/sebuai) Village. He shared stories about the legal work undertaken in the village. Since 2021, [Sabuai](https://kaleka.id/village/sebuai) Village has supported the resolution of district-level oil palm plantation conflicts by conducting conflict data collection at the village level.

\
[Sabuai](https://kaleka.id/village/sebuai) Village established its paralegal team in early January 2023 as part of the [Gawi Bahaum](https://kaleka.id/publication/gawi-bahaum-and-gawi-bapakat-district-wide-su) program. This program was initiated by the West Kotawaringin Regency Government in collaboration with Kaleka to promote sustainable village development. One of the social issues they worked on together was opening access to legal assistance for the community through the establishment of paralegals. Paralegal work was done in partnership with the Antakusuma Legal Aid Consultation Institute (LKBH). Additionally, they involved village government representatives, the Village Consultative Board (BPD), community leaders, traditional leaders, and women leaders as part of this paralegal team. The initial activities of the paralegal team involved building communication and shared understanding with the community regarding paralegal work.

\
Beside the community paralegal work, [Sabuai](https://kaleka.id/village/sebuai) Village also initiated the formation of Village Regulations (Perdes) on Environmental Protection as part of the [Gawi Bahaum](https://kaleka.id/publication/gawi-bahaum-and-gawi-bapakat-district-wide-su) program. They set aside areas for conservation and sought approval for the management of their forest areas through social forestry to the Ministry of Environment and Forestry (KLHK). Furthermore, they built a shared commitment with the Forest Management Unit (KPHP) to preserve forest cover in the region.

\
 ![Tohhari brought back an award trophy from the Paralegal Justice Awards 2023 to his village](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/ourstoryentity/59c1a286-dc01-4470-8328-ef38eceb9861.jpeg)

\
During a virtual interview, Tohhari emphasized the importance of paralegals for his village. Paralegals were a new concept, so they needed to be introduced to the community. As a local village dominated by state forest areas, they often faced various land and forest-related issues, primarily involving land sought after by investors for oil palm and mining ventures. Therefore, through paralegals, their team aimed to instill legal awareness in the community. To Tohhari, communal discussions and warm dialogues could help alleviate community issues. As part of the [Gawi Bahaum](https://kaleka.id/publication/gawi-bahaum-and-gawi-bapakat-district-wide-su) program, their learning expanded, and they gained a better foundation of legal knowledge to address various community problems.

\
During his approximately 3.5 years in office, Tohhari believed that [Sabuai](https://kaleka.id/village/sebuai) Village's harmony could be maintained as long as all community issues were mediated without involving the police. Additionally, they sought peace by upholding the values of local culture in the community.

\
"If we were to immediately turn to higher-level legal avenues, the issues could become protracted, leading to reciprocal litigation and new conflicts. If left unchecked, these problems could persist through generations. This is where the role of paralegals or mediators comes in, to quell such issues," he remarked.

\
 ![The certificate of appreciation obtained by Sabuai Village for its dedication in carrying out paralegal work in the village.](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/ourstoryentity/3a2088b1-7cb3-46bb-b7ab-fe24321a516b.jpeg)

\
Thanks to their tenacity and determination, [Sabuai](https://kaleka.id/village/sebuai) Village proved that legal awareness initiatives like these could be appreciated. The top three paralegal awards received from the Ministry of Law and Human Rights *(Kemenkumham)* and the Supreme Court were a reward for the small-scale work in the village that had significant impacts on sustainability. Tohhari hopes that through the [Gawi Bahaum](https://kaleka.id/publication/gawi-bahaum-and-gawi-bapakat-district-wide-su) program, their village can receive training and paralegal support. This is part of their efforts to make [Sabuai](https://kaleka.id/village/sebuai)Village a legally aware community. \n 

[Sabuai](https://kaleka.id/village/sebuai) Village serves as an inspiration, demonstrating that a remote village without public access does not mean it cannot provide access to justice for its community. "Our village's geographical conditions are dominated by state forest areas, and there are many limitations in accessibility. Nevertheless, we always believe that good things and well-deserved recognition will come our way if we package and execute everything with good intentions," Tohhari expressed optimistically.

\
 \n *Writer: [A. Arif Wangsa](https://kaleka.id/person/a-arif-wangsa)*

 ![Desa Sabuai meraih posisi 3 teratas pada malam penganugerahaan Paralegal Justice Awards 2023](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/ourstoryentity/18067065-5469-40f6-a730-3f7702c3441e.jpeg)

\
Pencapaian semacam ini tak pernah terbayangkan sebelumnya di benak Tohhari. Desanya yang sangat terpencil dapat meraih peringkat ke-3 desa terbaik dalam penganugerahan Paralegal Justice Awards (PJA) 2023 tingkat nasional yang diadakan di Jakarta pada bulan Mei lalu. Bersamaan dengan apresiasi ini, Desa [Sabuai](https://kaleka.id/village/sebuai) juga mendapatkan penghargaan sebagai *Non Litigation Peacemaker (NL.P.)* serta Penghargaan *Anubhawa Sasana Desa Jagaddhita*. Prestasi yang diraih ini adalah berkat dedikasi dan keseriusan pemerintah desa yang menjadi garda terdepan dalam memberikan akses bantuan hukum kepada masyarakat.

\
“Kami sampai harus menempuh perjalanan jauh ke kota Pangkalan Bun untuk mencari jaringan internet. Sebisa mungkin kami ingin mengirimkan berkas pendaftaran online tepat waktu kepada panitia seleksi,” kata Tohhari dalam wawancara melalui daring. Sebagai kepala desa di [Sabuai](https://kaleka.id/village/sebuai), Tohhari mendapatkan informasi terkait ajang Paralegal Justice Awards 2023 ini melalui Pemerintah Daerah Kotawaringin Barat. Desanya yang berada di paling ujung pesisir Kabupaten Kotawaringin Barat mengalami keterbatasan dalam  mengakses informasi. Namun, hal ini tidak menyurutkan semangat dan keinginan mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan PJA.

\
 ![Tohhari, kepala Desa Sabuai ketika mengunjungi Mahkamah Agung di Jakarta.](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/ourstoryentity/52d764a2-b1e9-4258-a4b2-f04a3bf84543.jpeg)

\
Melalui ceritanya, Tohhari diberi kesempatan untuk tampil berbicara dalam forum PJA di Jakarta untuk mewakili Desa [Sabuai](https://kaleka.id/village/sebuai). Ia membagikan cerita seputar kerja-kerja hukum yang dijalankan di desa tersebut. Sejak tahun 2021, Desa [Sabuai](https://kaleka.id/village/sebuai) telah mendukung agenda penyelesaian konflik perkebunan sawit tingkat kabupaten dengan melakukan pendataan konflik di tingkat desa.

\
Desa Sabuai membentuk paralegal desanya sejak awal Januari 2023 pada saat mengikuti program [Gawi Bahaum](https://kaleka.id/publication/gawi-bahaum-and-gawi-bapakat-district-wide-su). Program ini digagas Pemerintah Daerah Kotawaringin Barat bersama Kaleka untuk mendorong pembangunan desa yang berkelanjutan. Salah satu isu sosial yang dikerjakan bersama adalah membuka akses bantuan hukum kepada masyarakat melalui pembentukan paralegal. Pendampingan kerja paralegal dilakukan bersama Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum (LKBH) Antakusuma. Di samping itu, mereka juga melibatkan perwakilan pemerintah desa, BPD, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh perempuan yang merupakan bagian dari tim paralegal ini. Aktivitas awal yang dilakukan oleh tim paralegal adalah membangun komunikasi dan kesepahaman bersama masyarakat terkait kerja-kerja paralegal.

 \n Selain pekerjaan paralegal masyarakat, Desa [Sabuai](https://kaleka.id/village/sebuai) juga menginisiasi pembentukan Peraturan Desa (Perdes) tentang Perlindungan Lingkungan sebagai bagian dari program [Gawi Bahaum](https://kaleka.id/publication/gawi-bahaum-and-gawi-bapakat-district-wide-su). Mereka menyisihkan area konservasi dan mengupayakan perizinan untuk pengelolaan kawasan hutan melalui perhutanan sosial kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Selain itu, mereka membangun komitmen bersama dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) untuk melestarikan tutupan hutan di wilayah tersebut. \n 

 ![Tohhari membawa pulang trofi penghargaan dari Paralegal Justice Awards 2023 ke desanya.](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/ourstoryentity/59c1a286-dc01-4470-8328-ef38eceb9861.jpeg)

\
Saat dihubungi melalui wawancara daring, Tohhari mengungkapkan tentang betapa pentingnya paralegal ini bagi desanya. Menurutnya, paralegal merupakan hal baru sehingga perlu diperkenalkan kepada masyarakat pedesaan. Sebagai desa lokal yang wilayahnya didominasi kawasan hutan negara, [Sabuai](https://kaleka.id/village/sebuai) kadang menghadapi berbagai macam persoalan lahan dan hutan. Kebanyakan adalah lahan yang diminati investor untuk membuka usaha perkebunan sawit dan tambang. Maka dari itu, melalui paralegal ini, timnya berharap dapat memberikan motivasi sadar hukum kepada masyarakat. Menurutnya, kebersamaan melalui diskusi santai dan hangat dapat membantu meredakan permasalahan masyarakat. Sebagai bagian dari program [Gawi Bahaum](https://kaleka.id/publication/gawi-bahaum-and-gawi-bapakat-district-wide-su), pembelajaran yang diperoleh pun jadi semakin luas. Timnya semakin memahami hukum serta memiliki dasar pengetahuan yang lebih baik dalam menyelesaikan segala permasalahan masyarakat. \n 

Selama kurang lebih 3,5 tahun menjabat, Tohhari percaya bahwa harmonisasi di Desa [Sabuai](https://kaleka.id/village/sebuai) dapat tetap terjaga apabila segala permasalahan antar warga dapat diselesaikan melalui mediasi tanpa harus dibawa ke pihak kepolisian. Selain itu, mereka juga mengupayakan kedamaian dengan tetap memegang teguh nilai-nilai budaya lokal di masyarakat.

\
“Kalau harus berpikir langsung ke ranah hukum yang lebih tinggi, maka permasalahannya bisa jadi panjang. Akan terjadi saling tuntut-menuntut hingga menimbulkan konflik baru. Jika dibiarkan, hal seperti ini akan terjadi turun-temurun. Disinilah peran paralegal atau juru damai agar dapat meredam hal-hal tersebut,” jelas Tohhari.

\
 ![Piagam penghargaan yang diperoleh oleh Desa Sabuai atas dedikasinya menjalankan paralegal di desa.](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/ourstoryentity/3a2088b1-7cb3-46bb-b7ab-fe24321a516b.jpeg)

\
Berkat kegigihan dan semangat ini, Desa [Sabuai](https://kaleka.id/village/sebuai) mampu membuktikan bahwa kerja-kerja sadar hukum semacam ini memiliki kesempatan untuk dapat diapresiasi. Penghargaan tiga besar paralegal terbaik yang diterima dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan Mahkamah Agung menjadi suatu hadiah atas kerja-kerja kecil di desa yang memiliki dampak besar dalam hal keberlanjutan. Tohhari berharap melalui program [Gawi Bahaum](https://kaleka.id/publication/gawi-bahaum-and-gawi-bapakat-district-wide-su), desanya dapat memperoleh dukungan pelatihan dan pendampingan paralegal. Hal ini sejalan dengan upaya mendukung Desa [Sabuai](https://kaleka.id/village/sebuai) menjadi Desa Sadar Hukum.

\
Desa [Sabuai](https://kaleka.id/village/sebuai) dapat menjadi sebuah inspirasi dimana desa yang terpencil dari akses publik bukan berarti tidak mampu memberikan akses keadilan kepada masyarakat. “Kondisi geografis desa kami didominasi kawasan hutan negara dan banyak keterbatasan dalam aksesibilitas. Meskipun demikian, kami selalu percaya hal-hal yang baik serta apresiasi yang pantas juga akan berdatangan. Tentu saja jika kami tetap mengemas dan melakukan semuanya atas niat yang baik,” ungkap Tohhari penuh optimis.

\
\
*Penulis: [A. Arif Wangsa](https://kaleka.id/person/a-arif-wangsa)* \n 

Sweet Fruits of Tenacity: Sabuai Village Secures Top 3 Spot at the 2023 Paralegal Justice Awards

Buah Manis dari Kegigihan: Desa Sabuai Meraih Posisi 3 Teratas pada Paralegal Justice Awards 2023

 ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/ourstoryentity/cdedc8cc-9353-4910-9625-92e9ff797128.jpg)

During this year’s *Musim Timur* (East Season), a family of nutmeg farmers from Perwasak Village, in Fakfak District, West Papua, faced a particularly difficult harvest season. Nevertheless, they adapted by consistently enhancing the quality of their harvest and post-harvest, devising strategies for producing nutmeg-derived sweets and essential oils, and even establishing a cooperative to support the local nutmeg economy.

\
*Musim Timur* (April–June) is understood as a time when the wind begins to change its course from the cold wind blowing in from the mainland of Southeast Asia to hot and dry air flowing in from the southeast of the island of Papua, located in the Pacific. With 2023 being marked as the year of El Niño, farmers such as those from the Patiran family, have become one of the most affected by the uncertain climate.

\
Arobi Patiran is a 36-year-old nutmeg farmer from Henggi Matiri Farmer Group. He is the only farmer from his group who managed to collect nearly 20 kg of nutmeg in this *Musim Timur*. Henggi Matiri was formed in April 2021, and it consists of all of Arobi’s family. He is a cousin of Latifa Patiran, who serves as Henggi Matiri’s treasurer.

\
The two live in the Perwasak Village, and they grew up in a big family that has been very much involved in the cultivation of Papuan nutmeg (*Myristica argentea* Warb.), also known as Tomandin nutmeg. In West Papua, nutmegs are mostly cultivated in the forest. Families of the same clan (*marga*) are given a plot of the community’s forest, which has been dictated according to the region’s customary law (*hak ulayat adat*).

\
The forest, and the rich variety of trees within, become a form of inherited wealth that is passed down from generation to generation. Latifa recalled watching Arobi often following his father to the family’s *Dusun Pala*. A *Dusun Pala* refers to the specific forest plot that has been allotted to a family. Arobi began taking full-time care of his family’s *Dusun Pala* when his father passed away. Arobi was just 21 at that time. \n 

Arobi’s plot, which he inherited from his father, is about 1.7 Ha big with 189 nutmeg trees in it. Nutmeg trees grow wild in the forest along with rambutan (*Nephelium lappaceum*), langsat (*Lansium parasiticum*), and durian (*Durio zibethinus*). Local people believe that birds, such as Papuan hornbills, regularly disperse the seed as it feeds on the fruit’s sweet flesh. The life cycle of the nutmeg tree resembles that of a child being nurtured as a youngling until it can finally contribute to the family’s economy.

\
Farmers do not need to intervene throughout the production of nutmeg fruits, so they only come and harvest them when they fruit. “I’d usually take my nephews to come and help out.” Said Arobi. “*Dusun Pala* is too big to be handled by only a single person.”

\
Arobi continued,

> “Sometimes when we go out for a whole day, we’d only be able to completely clear 3–4 trees. And if the weather permits, we’ll continue harvesting the next day.”

\
The Patirans formed Henggi Matiri, a farmer group in Perwasak Village, to increase the chances of having better prices for nutmeg, as the group members can collectively produce sufficient amounts of nutmeg to directly deal with buyers. Collectively, they are also changing their harvest practice, particularly as they understand the market expectation.

\
Before joining a series of training in GAP-compliant harvesting practices, farmers in Perwasak often experienced two problems: They would harvest fruits that were too young to be sold at the market, and their harvest often came in contact with mold.

\
Nutmegs should ideally be harvested once the pericarps of the fruits have split. They can be picked using a tall bamboo pole, which has to be regularly washed and cleaned. Other tools, such as machetes and knives, have to be cleaned as well. This is to prevent the fruits from falling to the ground and being contaminated by aflatoxin—a soil-borne fungus harmful to the human body.

\
Before training, farmers would dry out nutmeg seeds by leaving them on a tarp on the ground rather than elevating them off the ground. They would place nutmegs near burning wood to accelerate drying by heat. But traditional *asaran* (the practice of drying out nutmeg seeds) proved to be challenging during heavy rainfall, as the absence of walls exposed nutmegs to the wind and water that made them prone to become moldy.

\
Arobi joined training on nutmeg harvests and post-harvest practices. “I could tell the difference in the scale. After learning not to pick up the fallen fruits on the ground, my harvests felt heavier on the scale. I think it was because the quality of the nutmeg increased.”

\
And in May 2021, Henggi Matiri Farmer Group initiated a new *asaran*, built with multiple shelves and closed walls, to keep nutmegs dry and protected from damp conditions.

\
Apart from forming a farmer group, the Patiran family is also active in the creation of a new cooperative based in Perwasak Village. The *Mery Tora Qpohi* (MTQ) was established in September 2022 by three farmer groups from Fakfak District: Henggi Matiri, Henggi Rida, and Guraferi.

\
Arobi was involved in the formation of MTQ Cooperative. “We used to sell our harvests to a middleman. But now that we have a cooperative, we can sell our harvests directly to buyers rather than having to go to middlemen.”

\
Latifa added, “We’ve always known of nutmeg’s many potentials. But before the cooperative was formed, we didn’t know how to process it into products like essential oils.”

\
Through his active participation in the farmer groups, Arobi aspires to increase his resiliency as a nutmeg farmer and improve the consistency and productivity of his nutmeg harvest. “I look forward to joining more training to increase my family’s *Dusun Pala*’s productivity.”

\
*Writer: [Nibras Balqis Sakkir](https://kaleka.id/person/nibras-balqis-sakkir)*

 ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/ourstoryentity/d74daa8a-2448-4ed1-9d72-d4a60e5d9495.jpg)

Di *Musim Timur* tahun ini, keluarga petani pala dari Desa Perwasak di Kabupaten Fakfak, Papua Barat mengalami musim panen yang sulit.

\
*Musim Timur* yang terjadi di bulan April - Juni diartikan sebagai waktu ketika angin berubah dari angin dingin yang bertiup dari daratan Asia Tenggara, menjadi udara panas dan kering yang bertiup dari Pasifik yang terletak di tenggara pulau Papua

\
2023 ditandai sebagai tahun El Nino, petani seperti keluarga Patiran menjadi salah satu yang terdampak dengan ketidakpastian iklim.

\
Walaupun begitu, mereka beradaptasi dengan secara konsisten meningkatkan kualitas panen dan pascapanen, merancang strategi untuk memproduksi makanan manis dan minyak atsiri yang berasal dari pala, dan bahkan mendirikan koperasi untuk mendukung ekonomi pala lokal. \n 

Arobi Patiran adalah petani pala berumur 36 tahun dari kelompok tani Henggi Matiri. Dia adalah satu-satunya petani dari kelompoknya yang dapat memanen hampir 20 kg pala di musim timur ini.

\
Henggi Matiri dibentuk pada April 2021 yang terdiri dari seluruh keluarga Arobi. Ia adalah sepupu dari Latifa Patiran yang bekerja sebagai bendahara Henggi Matiri.

\
Mereka berdua hidup di Desa Perwasak dan besar di keluarga besar yang terlibat erat dalam budidaya Pala Papua (*Myristica argentea* Warb.) yang juga dikenal sebagai pala Tomandin. Di Papua Barat, pala biasanya dibudidayakan di hutan. Keluarga dari marga yang sama diberikan sebidang tanah dari hutan komunitas yang telah ditentukan dari hukum adat daerah (*hak ulayat adat*).

 \n Hutan dan keanekaragaman di dalamnya menjadi suatu bentuk kekayaan warisan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Latifa mengingat kala Arobi mengikuti ayahnya ke Dusun Pala milik keluarganya. Dusun Pala adalah sepetak hutan tertentu yang telah disediakan untuk sebuah keluarga.

\
Arobi mulai menjaga Dusun Pala keluarganya secara penuh ketika ayahnya tiada. Arobi berumur 21 tahun saat itu.

 \n Sebidang tanah yang Arobi dapatkan dari warisan ayahnya mempunyai luas 1.7 ha dengan 189 pohon pala di dalamnya. Pohon pala tumbuh secara liar di hutan bersama dengan rambutan, langsat dan durian. Warga lokal percaya bahwa burung-burung seperti Julang Papua akan secara teratur menyebarkan biji karena memakan daging buah yang manis. Siklus hidup pohon pala seperti seorang anak yang diasuh sejak kecil hingga akhirnya bisa berkontribusi pada perekonomian keluarga.

\
Petani tidak campur tangan selama produksi buah pala, sehingga mereka hanya datang dan memanennya saat sudah berbuah. “Saya biasanya membawa keponakan saya untuk datang dan membantu.” Kata Arobi, “Dusun Pala terlalu besar untuk ditangani oleh satu orang saja.”

\
Arobi melanjutkan,

> “Terkadang saat kami keluar sepanjang hari, kami hanya dapat sepenuhnya memanen 3 - 4 pohon. Dan jika cuaca memungkinkan, kami akan melanjutkan panen keesokan harinya.”

\
Keluarga Patiran membentuk Henggi Matiri, kelompok tani di Desa Perwasak, untuk meningkatkan peluang mendapatkan harga pala yang lebih baik karena secara kolektif anggota kelompok dapat memproduksi pala dalam jumlah yang cukup untuk bertransaksi langsung dengan pembeli. Secara kolektif mereka juga mengubah praktik panen mereka terutama karena telah memahami ekspektasi pasar.

\
Sebelum mengikuti serangkaian pelatihan praktik pemanenan yang sesuai dengan kaidah pertanian yang baik atau *Good Agricultural Practices* (GAP), petani di Perwasak sering mengalami dua masalah: Mereka memanen buah yang terlalu muda untuk dijual di pasar dan hasil panen mereka sering ditumbuhi jamur.

\
Pala idealnya dipanen setelah kulit buahnya pecah. Mereka dapat dipetik menggunakan tiang bambu tinggi yang harus dicuci dan dibersihkan secara teratur. Alat-alat lain seperti parang dan pisau juga harus dibersihkan. Hal ini untuk mencegah buah jatuh ke tanah dan terkontaminasi aflatoksin, bahan kimia yang ditemukan di beberapa jamur yang berbahaya bagi tubuh manusia.

\
Sebelum pelatihan, petani akan mengeringkan biji pala dengan meletakkannya di atas terpal di tanah, bukan mengangkatnya dari tanah. Mereka akan menempatkan pala di dekat kayu yang terbakar untuk menghasilkan panas dan mempercepat proses pengeringan. Namun asaran tradisional (praktik mengeringkan biji pala) terbukti menjadi tantangan selama hujan lebat karena tidak adanya dinding yang membuat pala terpapar air dan angin, membuatnya rentan berjamur.

\
Arobi mengikuti beberapa pelatihan untuk praktik panen dan pasca-panen pala. “Saya merasa ada perbedaan pada berat hasil panen saya. Setelah belajar untuk tidak memungut buah yang jatuh di tanah, panen saya terasa lebih berat saat ditimbang. Saya pikir itu karena kualitas pala meningkat.”

\
Pada Mei 2021, Kelompok Tani Henggi Matiri menginisiasi asaran baru yang dibangun dengan beberapa rak dan dinding tertutup untuk menjaga pala tetap kering dan terlindung dari kondisi lembab.

\
Selain membentuk kelompok tani, keluarga Patiran juga aktif dalam pembentukan koperasi baru yang bermarkas di Desa Perwasak. Mery Tora Qpohi (MTQ) didirikan pada September 2022 oleh tiga kelompok tani dari Kabupaten Fakfak: Henggi Matiri, Henggi Rida, dan Guraferi.

\
Arobi terlibat dalam pembentukan Koperasi MTQ, “Biasanya kami menjual hasil panen ke tengkulak. Tapi sekarang kami memiliki koperasi, kami bisa menjual hasil panen kami langsung ke pembeli daripada harus melalui tengkulak.”

 \n “Selama ini kami tahu banyak potensi yang dimiliki pala. Tapi sejak koperasi terbentuk, kami menjadi lebih tahu bagaimana mengolahnya menjadi produk seperti minyak atsiri,” Latifa menambahkan.

\
Melalui partisipasi aktifnya dalam kelompok tani, Arobi bercita-cita untuk terus meningkatkan kemampuannya sebagai petani pala dan meningkatkan konsistensi serta produktivitas panen palanya. “Saya berharap dapat mengikuti lebih banyak pelatihan untuk meningkatkan produktivitas Dusun Pala keluarga saya.”

\
*Penulis: [Nibras Balqis Sakkir](https://kaleka.id/person/nibras-balqis-sakkir)*

Arobi Patiran: Overcoming Nutmeg Harvesting Challenges Together with His Family

Arobi Patiran: Mengatasi Tantangan Panen Pala bersama Keluarga

**Systemic Problem**

Oil palm is often cultivated in a monoculture setting with intensive chemical inputs to ensure high yields; consequently, it tends to be associated with environmental degradation. Oil palm smallholders, who acquire most of their oil palm planting techniques from plantation estates in the surrounding areas, believe that the monoculture system is the most efficient way to grow oil palm as it yields maximum profits. As an alternative, regenerative agriculture in oil palm plantations promises productive and sustainable production of organic palm oil by contributing to the creation of a healthy environment. In addition, introducing intercropping patterns through oil palm agroforestry with other tree crops helps improve the livelihoods and income of smallholders.

\
Regenerative agriculture is a practice based on maintaining and restoring soil health and fertility, protecting and increasing water retention, protecting biodiversity in agricultural practices, improving climate vulnerability to increase agricultural land productivity and profitability, and improving household welfare through farming. This agricultural practice comprises a series of techniques such as organic fertilizer practices, organic pest-disease control, cover crops planting, and agroforestry practices supported by innovative technology to overcome challenges caused by climate change through the restoration of soil health and the protection of soil ecosystems (Unilever 2021, Livelihoods 2021).

 \n **Intervention**

We trialed regenerative farming with independent oil palm smallholders in Central Kalimantan intending to increase the productivity and profitability of their palm oil farming businesses. Farmers participating in the program ranged from oil palm farmers who were in the process of getting certification to those who had obtained the Roundtable for Sustainable Palm Oil (RSPO) certification.

\
We aimed to introduce three main regenerative agriculture activities to the farmers. First, the farmers were encouraged to apply organic and recycled fertilizers, mulching, and organic pest/weed control. Second, as oil palm agroforestry is planted on bare lands and without forest cover, restoring the ecosystem is a challenging task; therefore, the farmers were encouraged to plant oil palms in agroforestry, combining these with other tree species and moving away from the monoculture plantation setting. Third, the program supported oil palm farmers in diversifying their livelihood by integrating oil palm with cattle and intercropping crops. Intercropping is carried out with the help of various plants ranging from fruit plants to leguminous cover crops and anti-pest shrubs.

 \n **Location**

The implementation of the intervention began in four villages in Central Kalimantan, namely, Sulung, Bahaur, Bangkal, and Selunuk. The Sulung village is located in the Arut Selatan sub-district, Kotawaringin Barat district, whereas in the Seruyan district, the Bahaur village is located in the Hanau sub-district while the Bangkal and Selunuk villages are situated in the Seruyan Raya sub-district.

\
In 2024, an additional three villages—namely, Sandul,  Tanjung Rangas II, and Sukorejo in the Seruyan district—also began participating in the intervention. The Sandul and Sebabi villages are located in the Batu Ampar sub-district, while the Tanjung Rangas II and Sukorejoo villages are located in the Danau Seluluk and Seruyan Tengah sub-districts, respectively.

 \n **Methods and Progress**


1. **Development of technical guidelines for organic oil palm cultivation**

The purpose behind making this technical guide for organic palm cultivation was to guide oil palm farmers in making and applying organic fertilizer to protect them from pests and diseases, impart palm agroforestry practices, and teach them how to record sustainable oil palm plantation management in a logbook.

\
This technical guide for organic fertilizer application directs farmers to understand and practice the principles of making organic fertilizer, determining fertilizer doses, preparing land for fertilizer application, and applying fertilizer techniques. Moreover, the plant protection guide provides them with an understanding of the symptoms and mechanical management of pests and diseases as well as weeds in oil palm plants, along with the manufacturing and application of molasses solutions (decomposers) and organic pesticides. Further, by engaging in oil palm agroforestry practices, farmers can understand and implement the planning principles and design strategies for oil palm agroforestry systems, planting patterns and spacing, requirements for the number of oil palm plants and other types of trees/plants, and economic performance of oil palm plantations in monoculture and agroforestry practices.

\

2. **Information dissemination of regenerative agriculture through the FPIC process**

Before starting any regenerative agricultural activity, the village government and communities in the villages were well informed about regenerative agricultural practices under the principle of free, prior, and informed consent (FPIC) to ensure that they could fully support and participate in the implementation of these practices. The information dissemination sessions that were conducted focused on introducing the concept of regenerative agricultural practices applied in oil palm plantations by increasing farmers’ understanding of developing organic oil palm cultivation, where the production of organic fertilizer is based on the utilization of potential local raw materials such as farm and fish wastes, household wastes, livestock manure, extracted sugar waste, and empty fruit bunch (EFB) waste obtained from the factory.

\

3. **Selection of oil palm plantations as regenerative agriculture demonstration plots**

Following several meetings, the village community was convinced to propose several of their oil palm plantations managed in monoculture and agroforestry for being turned into demonstration plots as a facilitation for learning regenerative agricultural practices. For additional information, they provided the previous plantation management of fertilizer use, land tenure, plantation productivity, and income from those oil palm plantations.

 \n We carried out a survey involving all the participating farmers. The characteristics of the farmers participating in the program are as follows:

* The participating farmers had an average age of 49 years, and 40.7% of them reported their primary occupation as being oil palm farmers with 11 years of experience in oil palm farming. Moreover, as many as 57.6% of them reported having a low level of education (i.e., up to elementary school), while the average number of household family members for each respondent farmer was around three or four people. Out of the total 96 farmers participating in regenerative farming activities, 29.2% were followed by women farmers who were also interested in following this practice.
* The productivity of oil palm plantations reached 1.2 tons/ha per harvest every 16 days, while the average annual oil palm harvest was 27.3 tons/ha/year at a planting age of 11 years. Further, monthly income from oil palm farming and other agricultural activities reached USD 164, with an exchange rate of IDR 15,000. Almost all farmers (90.3%) had easy access to marketing their produce, especially to local middlemen around the village.
* Most of the farmers (94.9%) reported having minimal knowledge of fertilizing oil palm plants, and only 5.1% expressed having sufficient knowledge about it.
* Farmers participating in the program were only able to allocate a small amount of input for managing oil palm farming based on regenerative agricultural practices because they had limited resources and access to information on regenerative agriculture.
* Around 71.2% of the farmers began to try using organic materials on their oil palm plantations, although still in combination with inorganic fertilizers, which were more dominant. This organic material was obtained through palm leaf midribs to control erosion and was degraded to support the supply of organic material around the trees.

\

4. **Collection and analysis of regenerative agriculture metrics from oil palm demonstration plots**

At each oil palm demonstration plot in the four villages, environmental metrics analysis was carried out, and soil samples were taken at a certain depth to assess the physical, chemical, and biological characteristics of the soil, including the soil texture, SOM (C-Org), C/N, N efficiency, bulk density, earthworm population, and soil pH. Further, turbidity and nitrate contents in the water were also assessed, along with vegetation species diversity and tree canopy cover. Additionally, the emission data related to climate change and the living conditions of farmer households were also observed. Based on the results of the analysis (Figure 1), improvements to the agricultural practices were put in place.

 ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/interventionentity/cc6ce7ba-dcb0-4ffe-ae47-4a90f53c0db0.png)   ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/interventionentity/2bf2dd41-3309-4abc-b83b-3ea7649b1e30.png)   ![Figure 1. Analysis results of soil, water, and biodiversity metrics in year zero before the implementation of regenerative agriculture practices in the Sulung, Bahaur, Bangkal, and Selunuk villages](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/interventionentity/b09353cd-9a55-410a-8a48-72dc587a0075.png) \n **Impact**

* The organic farming practices were applied in 136.16 ha of smallholder oil palm plantations by 96 farmers of the Sulung, Bahaur, Bangkal, and Selunuk villages in November 2023.
* The capacity of local farmers increased in making, using, and determining the composition and dosage of organic fertilizers in oil palm plantation management.
* Local farmers started to understand the benefits of managing oil palm plantations organically, which can facilitate healthier environmental conditions and increase production in the future.
* Oil palm agroforestry was trialed with a combination of oil palms and fruit crops, such as durian, rambutan, mango, crystal guava, and sengon trees in 6 ha of bare lands in the Sulung, Bahaur, and Bangkal villages.
* The farmers became involved and began participating in training for organic fertilizer production with improved capacity in organic farming practices.
* The behavior of farmers in applying organic fertilizers in oil palm plantations increased from 2% to 70% of the total fertilizers applied (Figure 2).

 ![Figure 2. The application of fertilizers by farmers before and after the organic training](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/interventionentity/76f6bae6-58f4-460d-ad98-503c880449b5.png)

\
**Lessons**

* Farmers have adopted regenerative agriculture practices by switching to the use of organic materials in their oil palm farming activities. Now, they utilize organic materials (such as empty oil palm fruit bunches, fronds, grass, and animal manure) from around their villages. Moreover, the farmers’ knowledge regarding the application of fertilizers in general has also increased as they now understand the composition, dosage, and technique of applying fertilizers. Moreover, the farmers have been actively participating in their farmer group as they collectively produce organic fertilizer. Finally, they have started maintaining a logbook to monitor the impact of regenerative agriculture practices.
* The farmers were keen to participate in the program as they wanted to learn new practices that would benefit their farms. We found that they enjoy learning about producing organic fertilizers independently, which can reduce the cost of maintaining their oil palm plantations. In the long run, they expect to increase the productivity of their plantation through planting cover crops, as well as to increase income from other tree crops in their plantations.
* To replicate the regenerative agricultural practices for other farmer groups, an intensive training program should be conducted for farmers where the concept of regenerative agriculture can be explained repeatedly. Farmers should also be informed about the possibility of productivity decline as they begin to adopt the regenerative agriculture practice. The increase in productivity and income will be achieved after several years since the adoption of such a practice.

\


**Masalah Sistemik**

Kelapa sawit sering kali dibudidayakan secara monokultur dengan penggunaan pupuk kimia dan bahan kimia lainnya yang berlebihan untuk memastikan hasil panen yang besar; akibatnya, hal ini cenderung dikaitkan dengan berdampak pada degradasi lingkungan. Para petani kelapa sawit skala kecil yang sebagian besar mengadopsi teknik budidaya kelapa sawit dari perkebunan di sekitarnya, mereka percaya bahwa sistem monokultur adalah cara yang paling efisien untuk membudidayakan kelapa sawit karena menghasilkan keuntungan maksimal. Sebagai alternatif, pertanian regeneratif pada budidaya kelapa sawit menjanjikan minyak sawit organik yang produktif dan berkelanjutan dengan berkontribusi pada upaya penciptaan lingkungan yang sehat. Selain itu, penerapan pola tumpang sari melalui agroforestri kelapa sawit dengan tanaman pohon lainnya dapat membantu meningkatkan pendapatan dan penghidupan petani kecil.

\
Pertanian regeneratif adalah praktik yang didasarkan pada pemeliharaan serta pemulihan kesehatan dan kesuburan tanah, melindungi dan meningkatkan retensi air, melindungi keanekaragaman hayati dalam praktik pertanian, memperbaiki kerentanan iklim untuk meningkatkan produktivitas dan profitabilitas lahan pertanian, dan meningkatkan kesejahteraan rumah tangga melalui pertanian. Praktek pertanian ini terdiri dari serangkaian teknik seperti praktek pupuk organik, pengendalian hama penyakit organik, penanaman tanaman penutup tanah, dan praktek agroforestri yang didukung oleh teknologi inovatif untuk mengatasi tantangan akibat perubahan iklim melalui pemulihan kesehatan tanah dan perlindungan ekosistem tanah. *(Unilever 2021, Livelihoods 2021)*.

\
**Intervensi**

Kami menguji coba praktik pertanian regeneratif pada lahan kelapa sawit milik petani mandiri di Kalimantan Tengah dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas dan keuntungan usahatani kelapa sawit mereka. Petani yang berpartisipasi dalam program ini merupakan para petani kelapa sawit yang sedang dalam proses mendapatkan hingga yang telah memperoleh sertifikasi *Roundtable for Sustainable Palm Oil (RSPO)*.

\
Kami memperkenalkan tiga kegiatan utama pertanian regeneratif kepada para petani. Pertama, para petani didorong untuk menggunakan pupuk organik dan daur ulang, penggunaan mulsa alami, dan pengendalian hama/gulma secara organik. Kedua, karena agroforestri kelapa sawit ditanam di lahan kosong dan tanpa tutupan hutan, memulihkan ekosistem merupakan tugas yang menantang; oleh karena itu, para petani didorong untuk membudidayakan kelapa sawit dalam sistem agroforestri, menggabungkannya dengan spesies pohon lain dan meninggalkan sistem perkebunan monokultur. Ketiga, program ini mendukung petani kelapa sawit dalam mendiversifikasi mata pencaharian mereka dengan menyatukan kelapa sawit dengan ternak dan tanaman sela. Tumpang sari dilakukan dengan bantuan berbagai tanaman, mulai dari tanaman buah-buahan, tanaman penutup tanah berupa polong-polongan, dan semak anti hama.

 \n **Lokasi**

Implementasi intervensi dimulai di empat desa di Kalimantan Tengah, yaitu Sulung, Bahaur, Bangkal, dan Selunuk. Desa Sulung terletak di Kecamatan Arut Selatan, Kabupaten Kotawaringin Barat, sementara Desa Bahaur berada di Kecamatan Hanau, Kabupaten Seruyan. Desa Bangkal dan Selunuk terletak di Kecamatan Seruyan Raya.

\
Pada tahun 2024, tiga desa tambahan yakni, Sandul, Tanjung Rangas II, dan Sukorejo di Kabupaten Seruyan juga mulai berpartisipasi dalam intervensi. Desa Sandul dan Sebabi terletak di Kecamatan Batu Ampar, sementara Desa Tanjung Rangas II dan Sukorejo masing-masing terletak di Kecamatan Danau Seluluk dan Seruyan Tengah.

 \n **Metode dan Progres**


1. **Penyusunan pedoman teknis budidaya kelapa sawit organik**

Tujuan dibuatnya panduan teknis budidaya kelapa sawit organik ini adalah untuk membimbing para petani kelapa sawit dalam membuat dan mengaplikasikan pupuk organik guna melindungi tanaman dari hama dan penyakit, memberikan pelatihan praktik agroforestri kelapa sawit, dan mengajarkan cara mencatat manajemen perkebunan kelapa sawit berkelanjutan melalui pembukuan.

\
Panduan teknis untuk penggunaan pupuk organik ini adalah untuk membimbing petani dalam memahami prinsip dan praktik pembuatan pupuk organik, menentukan dosis pupuk, mempersiapkan lahan untuk aplikasi pupuk, dan teknik pengaplikasian pupuk. Selain itu, panduan perlindungan tanaman memberikan pemahaman kepada para petani tentang gejala dan pengelolaan mekanis terhadap hama, penyakit, maupun gulma pada tanaman kelapa sawit. Bersama dengan itu, panduan pembuatan serta aplikasi larutan molase (pengurai) juga pestisida organik juga disertakan. Lebih lanjut, dengan terlibat dalam praktik agroforestri kelapa sawit, para petani dapat memahami dan mengimplementasikan prinsip perencanaan maupun strategi desain untuk sistem agroforestri kelapa sawit, pola tanam dan jarak tanam, persyaratan jumlah tanaman kelapa sawit dan jenis pohon/tanaman lainnya, serta kinerja ekonomi perkebunan kelapa sawit dalam praktik monokultur dan agroforestri.

\

2. **Diseminasi informasi pertanian regeneratif melalui proses FPIC**

Sebelum memulai aktivitas pertanian regeneratif, pemerintah desa dan masyarakat di desa-desa tersebut diinformasikan dengan baik tentang praktik pertanian regeneratif melalui prinsip persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (FPIC) untuk meyakinkan bahwa mereka secara penuh mendukung dan berpartisipasi dalam implementasi pertanian regeneratif. Sesi diseminasi informasi dilakukan berfokus kepada pengenalan konsep pertanian regeneratif yang diaplikasikan di dalam perkebunan kelapa sawit melalui peningkatan pemahaman pengembangan budidaya kelapa sawit secara organik, di mana produksi pupuk organik berdasarkan penggunaan potensi bahan baku lokal seperti limbah kebun dan ikan, limbah rumah tangga, limbah gula yang diekstraksi, dan limbah tandan kosong buah (EFB) yang diperoleh dari pabrik.

\

3. **Seleksi perkebunan kelapa sawit sebagai petak demonstrasi pertanian regeneratif**

Setelah melakukan beberapa kali pertemuan, masyarakat desa diyakinkan untuk mengusulkan beberapa perkebunan kelapa sawit yang dikelola secara monokultur dan agroforestri untuk dijadikan demplot sebagai fasilitas pembelajaran praktik pertanian regeneratif. Sebagai tambahan, mereka juga menyajikan informasi tentang pengelolaan perkebunan sebelumnya seperti penggunaan pupuk, kepemilikan lahan, produktivitas perkebunan, dan pendapatan dari perkebunan kelapa sawit tersebut.

Kami melakukan survei yang melibatkan semua petani yang berpartisipasi. Ciri-ciri petani peserta yang mengikuti program tersebut adalah sebagai berikut:

* Para petani yang berpartisipasi memiliki usia rata-rata 49 tahun, dan 40,7% diantaranya memberitahukan bahwa pekerjaan utama mereka adalah petani kelapa sawit dengan pengalaman 11 tahun di bidang pertanian kelapa sawit. Sebanyak 57,6% dari peserta juga mengakui bahwa tingkat pendidikan yang mereka lalui hanya sampai sekolah dasar. Di samping itu, rata-rata jumlah anggota rumah tangga untuk setiap petani responden adalah sekitar tiga atau empat orang. Dari total 96 petani yang mengikuti kegiatan pertanian regeneratif, 29,2% diikuti oleh petani perempuan yang juga tertarik mengikuti praktik tersebut.
* Produktivitas perkebunan kelapa sawit mencapai 1,2 ton/ha dalam sekali panen setiap 16 hari, sedangkan rata-rata panen kelapa sawit tahunan sebesar 27,3 ton/ha/tahun pada umur tanam 11 tahun. Selanjutnya pendapatan bulanan dari usahatani kelapa sawit dan kegiatan pertanian lainnya mencapai AS$ 164 dengan nilai tukar Rp. 15.000. Hampir seluruh petani (90,3%) memiliki akses yang mudah dalam memasarkan produknya, terutama kepada tengkulak di sekitar desa.
* Sebagian besar petani (94,9%) menyatakan memiliki pengetahuan yang minim mengenai pemupukan tanaman kelapa sawit, dan hanya 5,1% yang menyatakan memiliki pengetahuan cukup mengenai pemupukan.
* Petani peserta program hanya mampu mengalokasikan sedikit input untuk pengelolaan pertanian kelapa sawit berbasis praktik pertanian regeneratif karena keterbatasan sumber daya dan akses terhadap informasi pertanian regeneratif.
* Sekitar 71,2% petani mulai mencoba menggunakan bahan organik pada perkebunan kelapa sawitnya, meskipun masih dikombinasikan dengan pupuk anorganik yang lebih dominan. Bahan organik ini diperoleh melalui pelepah daun kelapa sawit untuk mengendalikan erosi tanah dan menunjang pasokan bahan organik di sekitar pepohonan.

\

4. **Pengumpulan dan analisa metrik pertanian regeneratif dari petak demonstrasi kelapa sawit**

Pada setiap demoplot kelapa sawit di empat desa tersebut dilakukan analisis metrik lingkungan serta pengambilan sampel tanah pada kedalaman tertentu untuk menilai sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, termasuk tekstur tanah, SOM (C- Org), C/N, efisiensi N, kepadatan curah, populasi cacing tanah, dan pH tanah. Selain itu, tingkat kekeruhan dan kandungan nitrat dalam air juga dinilai, serta keanekaragaman spesies vegetasi dan tutupan kanopi pohon. Selain itu, data emisi terkait perubahan iklim dan kondisi kehidupan rumah tangga petani juga diamati. Berdasarkan hasil analisis (Gambar 1), perbaikan praktik pertanian telah dilakukan.

 ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/interventionentity/aa6410ce-b7a3-4a5c-ab88-ac44b5c53050.png) \n  ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/interventionentity/ac80049b-b6a7-41df-a96b-d88fcd15a099.png)   ![Gambar 1. Hasil analisis metrik tanah, air, dan keanekaragaman hayati pada tahun awal dimulainya inisiasi, yakni sebelum penerapan praktik pertanian regeneratif di Desa Sulung, Bahaur, Bangkal, dan Selunuk.](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/interventionentity/bb6759c1-7faf-4971-afc8-b298c1327923.png)

**Dampak**

* Praktik pertanian organik diterapkan di perkebunan kelapa sawit rakyat seluas 136,1 ha oleh 96 petani di Desa Sulung, Bahaur, Bangkal, dan Selunuk pada November 2023.
* Meningkatnya kapasitas petani lokal dalam pembuatan, penggunaan, dan penentuan komposisi serta dosis pupuk organik dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit.
* Petani lokal mulai memahami manfaat pengelolaan perkebunan kelapa sawit secara organik, yang dapat menciptakan kondisi lingkungan yang lebih sehat dan meningkatkan produksi di masa depan.
* Agroforestri kelapa sawit diujicobakan dengan kombinasi pohon kelapa sawit dan tanaman buah-buahan seperti durian, rambutan, mangga, jambu kristal, dan sengon pada lahan kosong seluas 6 ha di Desa Sulung, Bahaur, dan Bangkal.
* Para petani terlibat dan mulai mengikuti pelatihan produksi pupuk organik melalui peningkatan kapasitas dalam praktik pertanian organik.
* Aktivitas para petani dalam mengaplikasikan pupuk organik pada perkebunan kelapa sawit meningkat dari 2% hingga ke 70% dari total pupuk yang diaplikasikan (Gambar 2)

 ![Gambar 2. Penerapan pupuk yang dilakukan petani sebelum dan sesudah pelatihan organik.](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/interventionentity/6cc81495-73ee-47a0-bc49-eeb8f6411289.png)

\
**Pelajaran yang dipetik**

* Para petani telah mengadopsi praktik pertanian regeneratif dengan beralih ke penggunaan bahan organik dalam kegiatan pertanian kelapa sawit mereka. Kini mereka memanfaatkan bahan-bahan organik (seperti tandan kosong kelapa sawit, pelepah kelapa sawit, rumput, dan kotoran hewan) yang didapatkan dari sekitar desanya. Selain itu, pengetahuan petani mengenai penggunaan pupuk secara umum juga meningkat setelah memahami komposisi, dosis, dan teknik pemberian pupuk. Selain itu, para petani juga aktif berpartisipasi dalam kelompok taninya yang secara kolektif memproduksi pupuk organik. Selanjutnya, mereka mulai membuat buku catatan untuk memantau dampak praktik pertanian regeneratif.
* Para petani sangat antusias untuk berpartisipasi dalam program ini karena mereka ingin mempelajari praktik-praktik baru yang akan bermanfaat bagi pertanian mereka. Kami melihat bahwa para petani senang mempelajari produksi pupuk organik secara mandiri, sehingga dapat mengurangi biaya pemeliharaan perkebunan kelapa sawit mereka. Dalam jangka panjang, mereka berharap dapat meningkatkan produktivitas perkebunan mereka melalui penanaman tanaman penutup tanah, serta meningkatkan pendapatan dari tanaman pohon lainnya di perkebunan mereka.
* Untuk mereplikasi praktik pertanian regeneratif pada kelompok tani lain, perlu dilakukan program pelatihan intensif bagi petani dimana konsep pertanian regeneratif dapat dijelaskan berulang kali. Petani juga harus diberitahu tentang kemungkinan penurunan produktivitas ketika mereka mulai menerapkan praktik pertanian regeneratif. Peningkatan produktivitas dan pendapatan akan tercapai setelah beberapa tahun sejak penerapan praktik tersebut.

\


Regenerative Agriculture in Smallholder Palm Oil Production Systems in Central Kalimantan, Indonesia

Pertanian Regeneratif dalam Usahatani Kelapa Sawit Rakyat di Kalimantan Tengah, Indonesia

 ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/interventionentity/d39aeb37-b293-47b9-9e68-50f76cf21140.jpg)

**Systemic problem:**

To preserve forests, products from standing forests must fetch higher prices than those for products from alternative land uses like monoculture oil palm plantations. However, harvests from forests are undervalued. Papuan nutmeg (*Myristica argentea*), which grows wild in the forests of the Fakfak district, West Papua, is an example of an undervalued non-forest timber product.

\
Papuan nutmeg grows naturally in the wild. As a non-timber forest product, it is one of the few agricultural commodities that have a crucial role in forest protection, as no land clearing is needed for its cultivation. Papuan nutmeg is one of the two commercial species of nutmeg in Indonesia, the other being Banda nutmeg (*Myristica fragrans*). Despite being the main nutmeg that has been traded for over a thousand years, Papuan nutmeg remains the lesser-known nutmeg variety, and its potential has not been fully tapped. Papuan nutmeg’s characteristics are different from those of Banda nutmeg. Its fruit is oval and twice as big, and the seed and the mace—the parts widely traded for centuries as spices—are more elongated and big. It is also sweeter to taste.

\
The indigenous communities of Fakfak, known as the *Mbaham Matta,* have been harvesting nutmeg for generations; it’s a part of their tradition. Nutmeg is an integral part of the shared heritage of many indigenous people of Fakfak. The trees of this distinctively aromatic spice have been nurtured within Fakfak’s rainforests for hundreds of years and handed down to families over generations. The natives treat the nutmeg trees (or henggi as they call them) as mother-like figures because they sustain their lives. The nutmeg trees also help preserve Fakfak’s forest frontier, as the local communities refrain from clearing these trees.

\
Increasing the value of nutmeg that grows in forest gardens will help the indigenous Papuans, the *Mbaham Matta,* to maintain these last frontiers of tropical forests.

\
\
**Intervention:**

We aim to find a high-end market for Papuan nutmeg while improving [nutmeg productivity](https://kaleka.id/intervention/increasing-the-productivity-and-value-of-papu). We first attempted to understand the nutmeg supply chain by carrying out an analysis of the relevant supply chain. We realized that many issues related to the supply chain cannot be understood unless we are directly involved in the supply chain. So, as part of our action research, we provided direct incentives to farmers to change their practices, find a high-end market for Papuan nutmeg, and develop value-added products. Our interventions are detailed in the “Method and Progress” section.

\
**Location:**

Fakfak, West Papua

\
**Method and progress:**


1. **Understanding the supply chain and creating a specific national standard for Papuan nutmeg**

We carried out a [supply chain analysis](https://kaleka.id/publication/the-supply-chain-of-papuan-nutmeg-in-fakfak-d) to track down and understand the buyers of Papuan nutmeg so that we could increase the value of this produce. Local people informed us that exporters used to come directly to Fakfak to buy nutmeg; however, they stopped doing so. Currently, farmers sell nutmeg to middlemen, not knowing who the end buyers are. From our supply chain analysis, we go to know that the produce is brought to Java Island; thereafter, it could not be traced whether the product is sold domestically or exported because there are no specific trade codes for different nutmeg varieties. All exported nutmeg varieties are considered as one species—the Banda nutmeg.

\
We found that Papuan nutmeg is considered inferior to Banda nutmeg, which is well-known in the market. Papuan nutmeg could not meet the national standard that was developed based on Banda nutmeg. The process of development of the Indonesian national standard did not acknowledge the wide varieties of nutmeg in Indonesia.

\
A specific national standard (SNI) is needed for Papuan nutmeg to ensure that it is considered a species on its own. We assisted in the development of an SNI for Papuan nutmeg. This process was completed in 2021. For assigning a specific code to a product, the product’s annual trade volume should be around US$ 1 million. Even though an SNI was developed for Papuan nutmeg, the Harmonized System (HS) codes, which are standardized numerical codes for classifying traded products that are commonly used throughout the export of goods, still did not differentiate between species as far as nutmeg trade is concerned.

\
\

2. **Incentives for changing harvesting techniques**

The traditional harvesting techniques of Papuan nutmeg have faced some issues, which include the farmers being unsure of the harvesting time, the harvest not being handled hygienically, and the produce not being dried properly. This has resulted in contamination by aflatoxin, a soil-borne disease. This causes the rejection of nutmeg products in Europe.

\
As we encourage farmers to change their practices, they need to see an incentive. Before providing incentives, we carried out in-depth interviews to understand the farmers' preferences. As suggested by them, we offered a premium price, which was 5% higher than the highest price in the district, for dried nutmeg. We also provided them with financial assistance to cover their harvesting costs, for this process usually entails that they and their extended families spend many days in the forests. When farmers get financial assistance, they do not need to borrow money from a loan shark or sell unprocessed nutmeg, which is cheaper than processed products.

\
After joining the program, the farmers were trained in good harvesting techniques, sorting products, and keeping a logbook. Thanks to the training, the farmers also changed the way they dried nutmeg, both individually and collectively.

\
We originally planned to work with a small national trader who would purchase the produce from the farmers and bring it to the export or domestic markets. The trader set a minimum volume of nutmeg to make the trade financially viable. We found out that even groups of 100 farmers could not meet the required volume. So, we had to arrange for the storage of the produce ourselves to meet the trader’s minimum-volume requirement.

\
Initially, the farmers were unaware of the total area that they owned, so it was difficult to estimate each one’s total production. The existing regime of indigenous land rights also made the areas that can be harvested during a certain period uncertain. When farmers need cash for children's education or ceremonies, they put the land as collateral to borrow money from a loan shark. However, they did not get fair prices, as they were unaware of the value of the products they were selling; many of them could not repay their debts, and their lands were snatched by moneylenders, which sparked social issues.

\
We learned that the production of nutmeg was much lower in terms of quantity than originally expected by the farmers. After joining the program, some farmers also decided not to sell to the group for certain reasons, including low productivity and lack of trust in the farmer groups.

\
\

3. **Finding buyers**

Our action research focused on finding international buyers for Papuan nutmeg who would be willing to pay a premium price for sustainable products. A company based in the Netherlands showed interest. As we connected the potential buyer with the small national trader that we were working with, we found that the company was unable to meet the requirements set by the buyer. We then directly engaged with middle or bigger companies who could meet the requirement; however, they were not interested due to the volume.

\
We ended up selling the product in the domestic market. We found out that ground Papuan nutmeg was mixed with ground Banda nutmeg, and the mixture was exported as ground Banda nutmeg. The domestic market prefers the use of Papuan nutmeg in traditional medicinal drinks. The buyers do not have many expectations other than a reasonable price. The issue concerning tapping the domestic market is that the transportation cost would then have to be borne by the farmers, which reduces their profit margins.

\
\

4. **Meeting the requirements of the niche market**

When we realized that the amount of produce that the Papuan nutmeg farmers could harvest was quite small, we focused on finding a high-end but small-scale market. We built the capacities of the farmers so that they could form a cooperative to meet the minimum volume requirement of the small-scale market and would not have to rely on any trader to connect them to the market. The cooperative would also ensure that the farmers fulfill the buyers’ quality requirements.

\
The Mery Tora Qpohi Cooperative was founded in September 2022 as a district-level cooperative, formed by 29 farmers, consisting of representatives from 4 villages (Werabuan Village, Tenehamur Village, Kayauni Village, and Pangwadar Village). The cooperative currently manages a storage room to meet the minimum volume required by the market. It acts as a trader by shortening the supply chain so that the profits for farmers can be increased.

\
\

5. **Product creation**

For some time now, we have been promoting the processing of nutmeg products to manufacture consumer products. We collaborated with a distiller to process nutmeg to produce oil and butter. The results looked promising, though the oil extraction rate was lower than that of Banda nutmeg. This oil is sold to a startup that manufactures aromatherapy products.

\
We also sent the oil sample to several essential oil companies, who tested the oil and found out that the chemical content of Papuan nutmeg oil was completely different from that of Banda nutmeg oil. One distinct characteristic is the high content of safrole, which is carcinogenic and cannot be used as a fragrance ingredient. We then attempted to find a way to remove safrole so that it could be used in the perfume industry. Although we have found a market for nutmeg oil with high safrole content, the price we get for it is low.

\
We are continuing our research and development to become relevant for a high-end market for nutmeg products.

\
\
**Impact:**

* A specific national standard (SNI) for Pala Papua was issued in 2021.
* 100 farmers have changed their harvesting techniques over time.
* 29 farmers now have direct access to a high-end market.
* 3 Papuan nutmeg products have been launched so far.

\
\
**Lessons:**

* Bringing non-timber forest products to the market requires long-term research and development, which is often costly and time-consuming. Due to its high risks, many business entities are not interested in pursuing it. Subsidies, particularly from public money, should be provided for businesses to overcome this issue. The businesses also need support to reduce their risks so that they can participate in the supply chain.
* Forest products have been harvested for generations by indigenous people; however, these farmers now need to change their practices to meet international standards such as food safety and hygiene. Moreover, harvests from the forests by local communities are usually small in terms of volume, and often they fall short of the market’s minimum requirements. Changing the practices of smallholders requires training as well as incentives. A strong farmer group is required to increase their bargaining power and also meet the market’s requirements.

\


 ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/interventionentity/ec9cb29e-3ee5-417e-91d9-0f26aeb52ef3.jpg)

**Masalah sistemik:**

Untuk melestarikan hutan, produk dari tegakan hutan harus mendapatkan harga yang lebih tinggi daripada produk dari penggunaan lahan lain seperti perkebunan kelapa sawit yang monokultur. Akan tetapi, panen dari hutan seringkali dinilai lebih rendah. Pala Papua (*Myristica argentea*), yang tumbuh liar di hutan-hutan di Kabupaten Fakfak, Papua Barat, merupakan salah satu contoh hasil hutan bukan kayu yang kurang diminati.

 \n Pala Papua tumbuh secara alami di dalam hutan. Sebagai hasil hutan bukan kayu, pala adalah salah satu dari sedikit komoditas pertanian yang memiliki peran penting dalam perlindungan hutan, karena tidak diperlukan pembukaan lahan untuk pembudidayaannya. Pala Papua merupakan salah satu dari dua spesies pala komersial di Indonesia selain pala Banda (*Myristica fragrans*). Meskipun telah diperdagangkan selama lebih dari seribu tahun, pala Papua tetap menjadi varietas pala yang kurang dikenal, dan potensinya belum sepenuhnya tergali. Karakteristik pala Papua berbeda dengan pala Banda, buahnya lonjong dan dua kali lebih besar, serta biji dan bunga—bagian-bagian yang diperdagangkan secara luas sebagai rempah-rempah berabad-abad—lebih memanjang dan besar. Rasanya juga lebih manis.

\
Masyarakat adat Fakfak, yang dikenal sebagai Mbaham Matta, telah memanen pala secara turun-temurun dan merupakan bagian dari tradisi mereka. Pala adalah bagian tak terpisahkan dari warisan bersama banyak masyarakat adat Fakfak. Pohon rempah-rempah yang beraroma khas ini telah dipelihara di dalam hutan hujan Fakfak selama ratusan tahun dan diwariskan kepada keluarga dari generasi ke generasi. Penduduk asli memperlakukan pohon pala (mereka menyebutnya henggi) sebagai sosok ibu karena pohon tersebut menopang kehidupan mereka. Pohon pala juga berperan dalam kelestarian hutan Fakfak yang tersisa, karena masyarakat setempat masih kukuh untuk tidak menebang pohon-pohon tersebut.

\
Meningkatkan nilai pala yang tumbuh di kebun hutan akan membantu masyarakat asli Papua, Mbaham Matta, untuk menjaga agar hutan-hutan tropis terakhir ini tidak semakin berkurang.

\
 \n **Intervensi:**

Tujuan kami adalah menemukan pasar kelas menengah ke atas untuk pala Papua sembari meningkatkan[ ](https://kaleka.id/intervention/increasing-the-productivity-and-value-of-papu)__[produktivitas pala](https://kaleka.id/intervention/increasing-the-productivity-and-value-of-papu)__. Kami pertama-tama mencoba melakukan analisis untuk memahami rantai pasok terkait pala. Kami menyadari banyak isu rantai pasok yang tidak dapat dipahami kecuali jika kami terlibat langsung di dalamnya. Oleh karena itu, sebagai bagian dari penelitian aksi, kami memberi insentif langsung kepada petani untuk mengubah praktik mereka, menemukan pasar kelas menengah ke atas untuk pala Papua, serta mengembangkan produk bernilai tambah. Intervensi kami dijabarkan lebih lanjut dalam bab “Metode dan Hasil”.

\
\
**Lokasi:**

Fakfak, Papua Barat

\
 \n **Metode dan Hasil:**

1\.  Memahami Rantai Pasok dan Menciptakan Standar Nasional Khusus untuk Pala Papua

Kami melakukan[ ](https://kaleka.id/publication/the-supply-chain-of-papuan-nutmeg-in-fakfak-d)__[analisis rantai pasok](https://kaleka.id/publication/the-supply-chain-of-papuan-nutmeg-in-fakfak-d)__ untuk melacak dan memahami pembeli pala Papua agar kami dapat meningkatkan nilai produk ini. Masyarakat setempat memberi informasi bahwa eksportir biasanya datang langsung ke Fakfak untuk membeli pala. Akan tetapi, mereka telah berhenti melakukannya. Saat ini, petani menjual pala ke tengkulak tanpa mengetahui siapa pembeli akhirnya. Dari analisis rantai pasok, kami mengetahui bahwa produk dibawa ke Pulau Jawa; setelah itu, tidak dapat dilacak apakah produk tersebut dijual di dalam negeri atau diekspor karena tidak terdapat kode perdagangan khusus untuk varietas pala yang berbeda. Semua varietas pala yang diekspor dianggap sebagai satu spesies, yaitu pala Banda.

\
Kami menemukan bahwa pala Papua dianggap lemah dibandingkan dengan pala Banda yang terkenal di pasaran. Pala Papua tidak dapat memenuhi standar nasional yang dikembangkan berdasarkan pala Banda. Proses pengembangan Standar Nasional Indonesia (SNI) tidak mengenal luasnya varietas pala di Indonesia.

 \n SNI diperlukan untuk memastikan bahwa pala Papua dipandang sebagai spesies tersendiri. Kami membantu pengembangan SNI pala Papua. Proses ini selesai pada tahun 2021. Untuk menetapkan kode tertentu pada suatu produk, volume perdagangan tahunan produk harus mencapai sekitar US$1 juta. Meskipun telah dikembangkan SNI untuk pala Papua, kode *Harmonized System* (HS), yakni kode numerik standar untuk klasifikasi produk yang diperdagangkan dan umum digunakan di seluruh ekspor barang, hingga saat ini masih belum membedakan jenis pala yang diperdagangkan.

\
 \n **2.    Insentif untuk Perubahan Teknik Pemanenan**

Teknik pemanenan pala Papua tradisional menghadapi beberapa kendala, antara lain pemanenan tanpa mempertimbangkan waktu yang tepat penanganan panen tidak higienis, dan hasil panen tidak dikeringkan dengan baik. Hal ini mengakibatkan kontaminasi aflatoksin, penyakit yang ditularkan melalui tanah, sehingga produk pala tersebut mendapat penolakan di Eropa.

\
Untuk mendorong para petani agar mengubah praktik mereka, insentif perlu diberikan. Sebelum memberikan insentif, kami melakukan wawancara mendalam untuk memahami preferensi petani.  Sesuai dengan masukan dari para petani, kami menawarkan harga premium, yaitu 5% lebih tinggi dari harga tertinggi di kabupaten, untuk pala kering. Kami juga memberi mereka bantuan keuangan untuk menutupi biaya pemanenan, karena proses ini biasanya mengharuskan mereka dan keluarga besarnya menghabiskan waktu berhari-hari di hutan. Ketika petani mendapatkan bantuan keuangan, mereka tidak perlu meminjam uang dari rentenir atau menjual pala mentah yang lebih murah daripada produk olahan.

 \n Setelah mengikuti program, para petani dilatih teknik memanen yang baik, memilah produk, dan membuat buku catatan (*logbook*). Berkat pelatihan tersebut, para petani juga mengubah cara mengeringkan pala, baik secara individu maupun kolektif.

 \n Kami awalnya berencana untuk bekerja sama dengan pedagang (*trader*) tingkat nasional yang akan membeli produk dari petani dan membawanya ke pasar ekspor atau domestik. Pedagang menetapkan volume minimum pala agar perdagangan layak secara finansial, namun kami menemukan bahwa kelompok yang terdiri dari 100 petani bahkan tidak dapat memenuhi volume yang dibutuhkan. Jadi, kami harus mengatur sendiri penyimpanan produk untuk memenuhi persyaratan volume minimum pedagang.

 \n Pada awalnya para petani tidak mengetahui luas lahan yang mereka miliki, sehingga sulit memperkirakan total produksi masing-masing.  Aturan mengenai hak tanah ulayat saat ini juga membuat wilayah yang dapat dipanen selama periode tertentu menjadi tidak pasti. Ketika petani membutuhkan uang tunai untuk pendidikan anak atau upacara adat, mereka menjadikan tanah sebagai jaminan untuk meminjam uang pada rentenir. Akan tetapi mereka tidak mendapatkan harga yang wajar, karena mereka tidak mengetahui nilai dari produk yang mereka jual; banyak dari mereka tidak dapat melunasi utangnya, dan tanah mereka dirampas oleh rentenir sehingga memicu masalah sosial. \n 

Kami mengerti bahwa dari segi kuantitas produksi pala jauh lebih rendah dibandingkan dengan ekspektasi para petani. Setelah mengikuti program, beberapa petani juga memutuskan untuk tidak menjual pada kelompoknya dengan alasan tertentu, antara lain rendahnya produktivitas dan kurangnya kepercayaan terhadap kelompok tani.

\
 \n **3.     Menemukan pembeli (*buyer*)**

Riset aksi kami berfokus untuk menemukan pembeli internasional pala Papua yang bersedia membayar harga premium untuk produk yang berkelanjutan. Saat kami berhubungan dengan pembeli internasional yaitu sebuah perusahaan yang berbasis di Belanda, mereka menunjukkan ketertarikannya untuk membeli. Kami kemudian menghubungkan perusahaan tersebut langsung dengan pedagang skala kecil, namun mereka tidak dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Kami kemudian mencoba untuk bekerja sama dengan perusahaan nasional level menengah atau besar yang dapat memenuhi persyaratan tersebut, namun pembeli tidak tertarik karena jumlahnya yang belum memadai.

\
Kami akhirnya menjual produk di pasar domestik. Kami menemukan bahwa pala Papua bubuk dicampur dengan pala Banda bubuk, dan campuran itu diekspor sebagai pala Banda bubuk. Pasar dalam negeri lebih memilih penggunaan pala Papua dalam minuman obat tradisional. Pembeli tidak memiliki banyak ekspektasi selain harga yang wajar. Isu mengenai akses pangsa pasar dalam negeri adalah biaya transportasi yang harus ditanggung oleh petani, yang mengurangi margin keuntungan mereka.

\
\
**4. Memenuhi persyaratan pasar (*niche market*)**

Saat kami menyadari kecilnya jumlah produksi yang dapat dipanen petani pala Papua, kami berfokus pada upaya pencarian pasar kelas atas berskala kecil. Kami mengembangkan kapasitas para petani sehingga mereka dapat membentuk koperasi untuk memenuhi kebutuhan volume minimum pasar skala kecil dan tidak harus bergantung pada pedagang mana pun untuk menghubungkan mereka dengan pasar. Koperasi juga akan memastikan bahwa petani memenuhi persyaratan kualitas pembeli.

\
Koperasi Mery Tora Qpohi didirikan pada September 2022 sebagai koperasi tingkat kabupaten, dibentuk oleh 29 petani, beranggotakan perwakilan dari empat desa (Desa Werabuan, Tenehamur, Kayauni, dan Pangwadar). Koperasi saat ini mengelola ruang penyimpanan untuk memenuhi volume minimum yang dibutuhkan pasar. Koperasi berperan sebagai pedagang dengan memperpendek rantai pasok sehingga keuntungan petani dapat ditingkatkan.

\
 \n **5.     Menciptakan produk**

Sampai dengan saat ini, kami telah mempromosikan pengolahan produk pala untuk menghasilkan produk-produk turunan. Kami bekerja sama dengan pengusaha penyulingan untuk mengolah pala menjadi minyak dan mentega. Hasilnya tampak menjanjikan meski tingkat ekstraksi minyaknya lebih rendah dibandingkan pala Banda. Minyak ini dijual ke usaha rintisan (*startup*) yang memproduksi produk aromaterapi.

 \n Kami juga mengirimkan sampel minyak ke beberapa perusahaan minyak atsiri, yang menguji minyak tersebut dan menemukan bahwa kandungan kimia minyak pala Papua sama sekali berbeda dengan minyak pala Banda. Salah satu ciri khasnya adalah tingginya kandungan safrole yang bersifat karsinogenik dan tidak dapat digunakan sebagai bahan pewangi. Kami lalu berupaya mencari cara untuk menghilangkan safrole agar bisa digunakan dalam industri parfum. Meskipun kami telah menemukan pasar untuk minyak pala dengan kandungan safrole tinggi, harga yang kami dapatkan masih tetap rendah.

 \n Kami tengah melanjutkan penelitian dan pengembangan agar produk pala Papua menjadi layak bagi pasar kelas atas.

\
 \n **Dampak:**


1. Standar nasional khusus (SNI) untuk Pala Papua diterbitkan pada tahun 2021.
2. 100 petani telah mengubah teknik pemanenan mereka sejauh ini.
3. 29 petani sekarang memiliki akses langsung terhadap pasar kelas atas.
4. 3 produk pala Papua telah diluncurkan sejauh ini.

\
\
**Pelajaran yang Dipetik:**


1. Membawa hasil hutan bukan kayu ke pasar membutuhkan penelitian dan pengembangan jangka panjang, yang sering kali mahal dan memakan waktu. Karena risiko yang tinggi, banyak badan usaha yang tidak tertarik untuk menekuninya. Subsidi, terutama dari dana pemerintah, harus diberikan kepada dunia usaha untuk mengatasi masalah ini. Dunia usaha juga membutuhkan dukungan untuk mengurangi risiko mereka sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam rantai pasok.
2. Hasil hutan telah dipanen secara turun-temurun oleh masyarakat adat; tetapi sekarang para petani tersebut perlu mengubah praktik mereka demi memenuhi standar internasional seperti keamanan dan kebersihan pangan. Selain itu, hasil panen dari hutan oleh masyarakat lokal biasanya bervolume kecil, dan sering tidak memenuhi persyaratan jumlah minimum yang dibutuhkan pasar. Mengubah praktik petani kecil membutuhkan pelatihan serta insentif. Kelompok tani yang kuat diperlukan untuk meningkatkan daya tawar mereka dan memenuhi kebutuhan pasar.

\


Connecting Farmers with Markets: Papuan Nutmeg

Menghubungkan Petani dengan Pasar: Pala Papua

**Systemic Problem:**

Rural communities are the most vulnerable to climate change and extreme weather events, such as floods and wildfires. Farmers can also drive environmental change through the over-exploitation of natural resources, including logging and forest conversion, and the adoption of unsustainable farming practices. To become the agents of positive change, farmers need profitable and practical livelihoods that enable them to protect and restore nature.

\
The governments of Seruyan and Kotawaringin Barat are committed to produce all commodities in their districts sustainably. Through the Jurisdictional Certification program, district governments issue regulations to apply sustainable principles and criteria throughout the districts. Transforming regulations and policies into meaningful changes requires engaging with rural communities.

\
To support the adoption of sustainable livelihoods among rural communities in Central Kalimantan, two district-wide sustainable village development programs were created.

\
**Intervention:**

Called Gawi Bahaum in Kotawaringin Barat district and Gawi Bapakat in Seruyan district, the GB programs were launched to provide all villages with access to financial and technical support to make the transition towards sustainability. Local communities, through a bottom up process, can propose for financial and technical support for sustainable livelihoods in their villages. GB programs are designed with a simple application process, using a bottom-up approach, to ensure that the program is accessible for all communities in the two districts.

\
The GB programs use a multi-stakeholder approach. Administered by a professional secretariat, the programs employ government resources including agricultural extension workers while pooling resources from consumer goods companies to support sustainable village development. As sustainable rural development can align with corporate sustainability commitments, the GB programs enable companies to finance activities that contribute to the achievement of their corporate sustainability goals.

\
**The GB programs provide support for four categories of activities:**


1. Provide incentives to protect forests in their villages. For every one hundred hectares of natural forests that communities protect, the programs will provide support for one hectare of sustainable, high-value agricultural production on bare land within the village.
2. Provide alternative, no-burning farming methods for indigenous villages. To prevent wildfires, indigenous farmers will be provided with agricultural inputs such as fertilizers and assisted with mechanical land clearing. Villages will also be supported to establish fire hazard management units.
3. Provide support for the restoration of degraded lands within their villages. Community-based ecosystem restoration will not only provide ecological benefits such as disaster mitigation and improving wildlife habitat but also provide economic benefits from planting species that can generate economic benefits such as fruit trees and other cash crops.
4. Support the certification of farmers producing commodities such as oil palm, timber, and rubber. In return, they will get a price premium for producing commodities sustainably. \n 


---

Important features of the GB programs:


1. Cover the entire districts: all villages can participate.
2. Bottom-up process: communities decide how they want to contribute to sustainability initiatives.
3. Simplified process: the process is simplified so every village can easily participate.
4. Direct incentives for local communities: every sustainability action is tied to an incentive for communities.
5. Funded by consumer goods companies: sustainable development can be aligned with voluntary, corporate sustainability commitments.


---

\
**Locations:**

Kotawaringin Barat and Seruyan Districts.

\
**Method and Design:**

The first phase of the GB programs is to disseminate information about the program to all villages in two districts. All villages were invited to the launches of the GB programs, which were led by the district heads. After the launches, program information was distributed through many channels such as posters and briefs and through social media, as well as special sessions for specific villages or sub-districts.

\
Villages that are interested in participating in the program should write a commitment letter. They should also nominate an implementation unit. Once the two first requirements are completed, the Steering Committee will decide whether they can officially participate in the programs. Once approved, the nominated villages will receive support to meet the other requirements before they start receiving incentives.

\
To simplify the application process, templates are provided to villages. Direct assistance for the application process is provided to village officials by extension workers. The secretariat can also be reached through the WhatsApp messaging service. The secretariat office also provides information and support to local communities. \n  \n Before villages can receive any support, they should meet certain sustainability requirements. There are five main requirements that should be met through a stepwise approach, as follows:


1. Villages should map their lands to identify areas that should be protected and that can be used for production;
2. A unit to register land rights and social conflicts should be established;
3. A village regulation to protect the remaining forest and preventing the degradation of ecosystems in the villages should be issued;
4. A paralegal unit to provide legal assistance for local communities should be established;
5. A deforestation and fire monitoring system should be established and administered properly.

\
After meeting at least three of the five requirements, the first tranche of financial, technical or in-kind support will be provided for the activities proposed by the village. The support can include:

* Seeds and fertilizers;
* Access to equipment for land clearing;
* Access to post-harvest machinery;
* Facilitating off-take agreements for agricultural produce;
* Training and assistance for certification;
* Other support needed to increase farmer productivity and income.

\
**Program Governance**

Each of the GB programs are governed by a Steering Committee, Secretariat, Implementation Unit and Village Mobilization Unit. The roles and responsibilities of each unit are explained below.

\
The District Steering Committee is a committee at the district level that determines the programs, targets and policies of the district GB Program. The Steering Committees were formed at the district level, consisting of government representatives and civil society organizations. The Steering Committees were established by decrees issued by each Head of District. The decisions made by the Steering Committee include:

* The official participation of villages in the GB programs;
* The support provided to participating villages to meet general and specific requirements;
* The incentives allocated to each village after meeting the requirements.

\
The Secretariat is professionally run and currently hosted by the district development planning agency in each district. Kaleka also provides support for the administration of the Secretariat. The Secretariat is responsible for coordinating program implementation among village facilitators, extension workers, non-government organizations including universities and local civil society organizations. The Secretariat also regularly communicates with villages.

\
The Sub-District Implementation Unit coordinates the implementation of the GB programs at the village level. The unit consists of government officials in the sub-district (Secretary, Head of Section, and Head of Sub-Division) with at least six members. Their roles are to:

* Coordinate with parties at the village and sub-district levels to accelerate the implementation of the GB programs;
* Monitor and evaluate the progress of the implementation of the GB programs at the village level;
* Assist and provide input to villages in the implementation of the GB programs;
* Report on the implementation of the GB programs to the Steering Committee.

\
The Village Mobilization Unit is the driving force for the implementation of the GB programs. The unit is established by the Village Head through a decree as one of five requirements of the GB programs. Village heads can appoint existing organizations in the village to be the Village Mobilization Unit including: youth groups, women groups and farmer groups among others. The Village Mobilization Unit has the following responsibilities:

* lead the process of fulfilling the GB Program requirements;
* document the GB-related processes;
* prepare proposals and activity reports.

The unit will be trained and supported by a village facilitator and an extension worker to carry out their responsibilities.

 \n **Progress until now**

In Kotawaringin Barat, the program was launched by the district head in April 2022, involving all villages in the district. During the meeting, 96 village representatives announced their commitment to join the program, with 51 villages immediately sending the letter to the secretariat. Of these 51 villages, only 12 have submitted the decree on the creation of the village mobilization unit. The next step was mapping village lands for protection and production. Only three villages have completed this phase. At present, three villages are completing the requirements to receive incentives (Table 1).

\
Table 1. Description of three villages in the process of receiving incentives

|    | **Sabuai** | **Mendawai Seberang** | **Sulung** |
|----|----|----|----|
| **Total area** | 62 km² | 26 km² | 320 km² (area of expansion) |
| **Total population** | 548 | 2,294 | 1,073 |
| **GB Phase** | Completed 3 of 5 requirements | Completed 3 of 5 requirements | Completed 3 of 5 requirements |
| **Village category** | 1) Forest protection village; 2) Restoration village | 1) Forest protection village; 2) Restoration village | 1) Restoration village; 2) Certification village |
| **Total area for protection** | 1,954 ha | 23,129 ha | 2,297 ha |
| **Total area for restoration** | 1,296 ha | 2,122 ha | 945 ha |
| **Main commodity produced** | Coconut | Saccharum edule (species of sugarcane), Pineapple, Local fishes: Gabus, Lais, Tomang | Palm oil |

\
In Seruyan, the program was launched by the district head in December 2022, involving all villages in the district. During the meeting, 77 village representatives announced their commitment, with 31 villages immediately sending the letter to the secretariat. Of these 31 villages, only 7 then submitted the decree on the village mobilization unit. At present, 4 villages are preparing to map lands for protection and production (Table 2).

\
Table 2. Description of three villages in the process of receiving the incentives

|    | **Pematang Limau** | **Bangkal** | **Bahaur** |
|----|----|----|----|
| **Total area** | 1,152 km² | 144 km² | 134 km² |
| **Total population** | 4,082 | 4,319 | 1,284 |
| **GB Phase** | Completed 2 of 5 requirements | Completed 2 of 5 requirements | Completed 2 of 5 requirements |
| **Village category** |    | 1) Certification and Regenerative Agriculture Village; 2) Restoration | 1) Certification and Regenerative Agriculture Village; 2) Restoration |
| **Total area for protection** | 105,760 ha | 2,082 ha | 2,738.43 ha |
| **Total area for restoration** | 84,515 ha | 4,377 ha | 1,128.58 ha |
| **Commodity produced** | Coconut, paddy, fishes: Nila, Baung | Palm oil, rubber, fishes: Bilis, Haruan, Toman, Patin, Lele | Palm oil, fishes: Toman, Baung, Haruan |

\
**The Lessons Learned:**

The GB programs provide incentives directly to local communities who want to participate in sustainable development. The GB programs are designed to ensure that all villages within a district can participate by simplifying the requirements for programs. Villages are also provided with technical assistance so that they can comply with the pre-conditions for receiving incentives.

\
Consumer goods companies provide financial support to villagers through the GB programs. The companies usually have specific targets for their impact such as improving the welfare and sustainability of their suppliers. The GB programs are also designed to enable impact monitoring and reporting, which align with corporate sustainability commitments, such as the total number of hectares of forests protected, restored and managed sustainably. Through transparent and verifiable reporting mechanisms, companies can confidently make claims about their impacts.

\
The programs bring together many district stakeholders interested in community-based sustainable development. Under the leadership of the district governments, the programs use the current government structure to work throughout the districts, such as deploying extension and community development workers. Usually one government worker is assigned to assist several villages in a district. The programs also provide support for government workers, including financial resources and training, so that they can effectively work with local communities. Indonesian state forests are under the authority of the national government. Consequently, the programs work closely with the local forest management units. Furthermore, sub-district governments also disseminate program information and support villages to comply with program requirements.

\
Civil society organizations such as local universities, non-profit organizations, and indigenous peoples’ groups are encouraged to be involved in the programs. Civil society organizations provide technical assistance to local communities based on their organizational expertise. The University of Antakusuma, a local university based in Kotawaringin Barat district, assisted villages to create units for providing legal aid for local communities. The Indigenous Peoples' Alliance of Nusantara (AMAN) provides technical assistance for indigenous villages to conduct participatory mapping and implement fire-free agricultural practices.

 \n A district secretariat coordinates the stakeholders, which is hosted by a government agency but run by professionals. Villages can directly access information by contacting the secretariat through a telephone call or via instant messaging platforms, such as WhatsApp. In the event when local facilitators or extension workers are delivering the program as promised, communities can coordinate directly with the secretariat.

\
With the governance architecture in place, the programs are ready to reach all villages in the two districts. We are currently piloting the program in a few villages to learn from the process and create success stories for other villages to imitate. Some villages are not interested in the programs because they have not seen any benefits yet. Some villages are also skeptical as there have been many previous initiatives have failed. As the incentives begin to demonstrate positive impacts, we believe that it will encourage other villages to participate in the program.

\
In Kotawaringin Barat district, the Secretariat has been assisting two villages that Kaleka previously has been working with. An additional village is making progress without being supported intensively because their community development worker has the experience in assisting one of the two pilot villages. The village mobilization unit also actively communicates with the Secretariat.

\
At present, the Secretariat in Kotawaringin Barat district is not actively recruiting new villages as we are assessing what generates village interest in the program. We learned that active community development workers make a difference. A champion at the village level such as village heads or elders can also motivate participation.

\
In Seruyan district, many villages, most of which Kaleka has not engaged, are making progress in completing the program requirements. There are several reasons for the active village participation. First, the Secretariat in Seruyan district is actively reaching out to villages to increase program participation. Second, there are limited funding opportunities for village development in Seruyan district as compared to Kotawaringin Barat district.

\


**Masalah Sistemik:**

Masyarakat pedesaan sangat rentan terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrem, seperti banjir dan kebakaran hutan. Petani juga dapat mendorong perubahan lingkungan melalui eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, termasuk penebangan dan konversi hutan, serta penerapan praktik pertanian yang tidak berkelanjutan. Untuk menjadi agen perubahan yang positif, petani membutuhkan mata pencaharian yang praktis, menguntungkan, serta memungkinkan mereka untuk menjaga kelestarian alam. \n 

Pemerintah Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat berkomitmen untuk memproduksi seluruh komoditas di kabupatennya secara berkelanjutan. Melalui program Sertifikasi Yurisdiksi, pemerintah kabupaten mengeluarkan peraturan untuk menerapkan prinsip dan kriteria berkelanjutan di seluruh kabupaten. Mengubah peraturan dan kebijakan menjadi perubahan yang bermakna membutuhkan keterlibatan masyarakat lokal. \n 

Untuk mendukung adopsi mata pencaharian berkelanjutan di antara masyarakat pedesaan di Kalimantan Tengah, dua program pembangunan desa berkelanjutan di tingkat kabupaten telah dibuat.

\
**Intervensi:**

Dengan sebutan Gawi Bahaum di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Gawi Bapakat di Kabupaten Seruyan, program GB diluncurkan untuk menyediakan akses berupa dukungan keuangan dan teknis bagi semua desa dalam tahap transisi menuju ke keberlanjutan. Melalui proses dari bawah ke atas, masyarakat lokal dapat mengajukan dukungan finansial dan teknis untuk penghidupan berkelanjutan di desa mereka. Program GB dirancang dengan proses aplikasi yang sederhana, menggunakan pendekatan dari bawah ke atas untuk memastikan bahwa program dapat diakses oleh semua masyarakat di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Kabupaten Seruyan.

\
Program GB menggunakan pendekatan multi-stakeholder. Program ini dikelola oleh sekretariat profesional menggunakan sumber daya pemerintah dengan mengadakan penyuluhan pertanian sambil mengumpulkan sumber daya dari perusahaan barang konsumen untuk mendukung pembangunan desa yang berkelanjutan. Karena pembangunan pedesaan yang berkelanjutan dapat selaras dengan komitmen keberlanjutan perusahaan, program GB memungkinkan perusahaan membiayai kegiatan yang berkontribusi pada pencapaian tujuan keberlanjutan perusahaan mereka.

 \n Program GB memberikan dukungan untuk empat kategori kegiatan:


1. Memberikan insentif untuk melindungi hutan di desa mereka. Untuk setiap seratus hektar hutan alam yang dilindungi masyarakat, program tersebut akan mendukung satu hektar produksi pertanian bernilai tinggi yang berkelanjutan di lahan kosong di dalam desa.
2. Memberikan alternatif, metode pertanian tanpa pembakaran untuk desa adat. Untuk mencegah kebakaran hutan, petani lokal akan diberikan bantuan pertanian seperti pupuk dan dibantu dengan pembersihan lahan secara mekanis. Desa juga akan didukung untuk membentuk unit manajemen bahaya kebakaran.
3. Memberikan dukungan untuk pemulihan lahan terdegradasi di desa mereka. Restorasi ekosistem berbasis masyarakat tidak hanya memberikan manfaat ekologis seperti mitigasi bencana dan perbaikan habitat satwa liar, tetapi juga memberikan manfaat ekonomi dari penanaman spesies yang dapat menghasilkan manfaat ekonomi seperti pohon buah-buahan dan tanaman komersial lainnya.
4. Mendukung sertifikasi petani penghasil komoditas seperti kelapa sawit, kayu, dan karet. Sebagai imbalannya, mereka akan mendapatkan harga premium karena memproduksi komoditas secara berkelanjutan.

\

---

Fitur penting dari program GB:


1. Mencakup seluruh kawasan: semua desa dapat berpartisipasi.
2. Proses dari bawah ke atas: masyarakat memutuskan bagaimana mereka ingin berkontribusi pada prakarsa keberlanjutan.
3. Proses yang disederhanakan: prosesnya disederhanakan sehingga setiap desa dapat dengan mudah berpartisipasi.
4. Insentif langsung bagi masyarakat lokal: setiap tindakan keberlanjutan terkait dengan insentif bagi masyarakat.
5. Didanai oleh perusahaan barang konsumen: pembangunan berkelanjutan dapat diselaraskan dengan komitmen keberlanjutan perusahaan secara sukarela.


---

\
**Lokasi:**

Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan

\
**Metode dan Desain:**

Program GB tahap pertama adalah sosialisasi program ke seluruh desa di dua kabupaten. Semua desa diundang untuk peluncuran program GB yang dipimpin oleh bupati. Setelah kegiatan peluncuran, informasi program disebarluaskan melalui berbagai saluran seperti poster dan media sosial serta sesi khusus untuk desa atau kecamatan tertentu.

\
Desa-desa yang akan mengikuti program tersebut harus membuat surat komitmen terlebih dahulu. Mereka juga harus menominasikan unit implementasi. Setelah kedua persyaratan awal selesai, Komite Pengarah akan memutuskan apakah mereka dapat berpartisipasi secara resmi dalam program tersebut. Setelah disetujui, desa yang dinominasikan akan menerima dukungan untuk memenuhi persyaratan lainnya sebelum mereka mulai menerima insentif. \n 

Untuk mempermudah proses aplikasi, template disediakan ke desa-desa. Pendampingan langsung untuk proses aplikasi diberikan kepada aparat desa oleh penyuluh. Selain itu masyarakat juga dapat menghubungi sekretariat melalui layanan pesan WhatsApp atau menghubungi kantor sekretariat untuk mendapatkan bantuan dan informasi.

\
Sebelum desa dapat menerima bantuan, mereka harus memenuhi persyaratan keberlanjutan tertentu. Ada lima persyaratan utama yang harus dipenuhi melalui pendekatan bertahap:


1. Desa harus memetakan tanah mereka untuk mengidentifikasi kawasan yang harus dilindungi dan yang dapat digunakan untuk produksi;
2. Harus dibentuk unit pendaftaran hak atas tanah dan konflik sosial;
3. Peraturan desa untuk melindungi hutan yang tersisa dan mencegah degradasi ekosistem di desa harus dikeluarkan;
4. Unit paralegal untuk memberikan bantuan hukum bagi masyarakat lokal harus dibentuk;
5. Sistem pemantauan deforestasi dan kebakaran harus ditetapkan dan dikelola dengan baik.

\
Setelah memenuhi setidaknya tiga dari lima persyaratan di atas, tahap pertama dukungan keuangan, teknis atau barang akan diberikan untuk kegiatan yang diusulkan oleh desa. Dukungan tersebut dapat meliputi:

* Benih dan pupuk;
* Akses ke peralatan untuk pembukaan lahan;
* Akses ke mesin pasca panen;
* Memfasilitasi perjanjian off-take untuk hasil pertanian;
* Pelatihan dan pendampingan sertifikasi;
* Dukungan lain yang diperlukan untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani.

\
**Tata Kelola Program**

Setiap program GB diatur oleh Panitia Pengarah, Sekretariat, Unit Pelaksana dan Unit Penggerak Desa. Peran dan tanggung jawab masing-masing unit adalah seperti yang dijelaskan di bawah ini.

\
Panitia Pengarah Kabupaten adalah panitia di tingkat kabupaten yang menetapkan program, sasaran dan kebijakan Program GB kabupaten. Tim Pengarah dibentuk di tingkat kabupaten, terdiri dari perwakilan pemerintah dan organisasi masyarakat sipil. Panitia Pengarah dibentuk dengan surat keputusan yang dikeluarkan oleh masing-masing Bupati. Keputusan yang diambil oleh Komite Pengarah meliputi:

* Partisipasi resmi desa dalam program GB;
* Dukungan yang diberikan kepada desa peserta untuk memenuhi persyaratan umum dan khusus;
* Insentif yang dialokasikan ke setiap desa setelah memenuhi persyaratan. \n 

Sekretariat dijalankan secara profesional dan saat ini diselenggarakan oleh Bappeda di setiap kabupaten. Selain itu, Kaleka juga memberikan dukungan administrasi kesekretariatan. Sekretariat bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan pelaksanaan program antara fasilitator desa, penyuluh, lembaga swadaya masyarakat termasuk perguruan tinggi dan organisasi masyarakat sipil setempat. Sekretariat juga rutin berkomunikasi dengan desa.

\
Unit Pelaksana Kecamatan mengkoordinasikan pelaksanaan program GB di tingkat desa. Unit ini terdiri dari pejabat pemerintah di kecamatan (Sekretaris, Kepala Bagian, dan Kepala Subbagian) dengan anggota minimal enam orang. Peran mereka adalah sebagai berikut:

* Berkoordinasi dengan para pihak di tingkat desa dan kecamatan untuk percepatan pelaksanaan program GB;
* Memantau dan mengevaluasi perkembangan pelaksanaan program GB di tingkat desa;
* Mendampingi dan memberikan masukan kepada desa dalam pelaksanaan program GB;
* Melaporkan pelaksanaan program GB kepada Dewan Pengarah.

\
Unit Mobilisasi Desa merupakan motor penggerak pelaksanaan program GB. Unit tersebut dibentuk oleh Kepala Desa melalui surat keputusan sebagai salah satu dari lima persyaratan program GB. Kepala desa dapat menunjuk organisasi yang ada di desa untuk menjadi Unit Penggerak Desa antara lain: kelompok pemuda, kelompok wanita dan kelompok tani. Unit Mobilisasi Desa memiliki tanggung jawab sebagai berikut:

* Memimpin proses pemenuhan persyaratan Program GB;
* Mendokumentasikan proses terkait GB;
* Menyusun proposal dan laporan kegiatan.

  \

Unit tersebut akan dilatih dan didukung oleh fasilitator desa dan penyuluh untuk melaksanakan tanggung jawab mereka.

\
**Proses Hingga Saat Ini**

Di Kotawaringin Barat, program diluncurkan oleh bupati pada April 2022, melibatkan seluruh desa di kabupaten tersebut. Dalam pertemuan tersebut, 96 perwakilan desa mengumumkan komitmen mereka untuk mengikuti program, dengan 51 desa segera mengirimkan surat ke sekretariat. Dari 51 desa tersebut, baru 12 desa yang menyerahkan SK pembentukan unit penggerak desa. Langkah selanjutnya adalah memetakan lahan desa untuk perlindungan dan produksi. Hanya tiga desa yang telah menyelesaikan fase ini. Saat ini, tiga desa sedang melengkapi persyaratan untuk menerima insentif (Tabel 1).

\
Tabel 1. Deskripsi tiga desa dalam proses penerimaan insentif

|    | **Sabuai** | **Mendawai Seberang** | **Sulung** |
|----|----|----|----|
| **Total area** | 62 km² | 26 km² | 320 km² (area of expansion) |
| **Jumlah populasi** | 548 | 2,294 | 1,073 |
| **TahapGB** | Memenuhi 3 dari 5 persyaratan | Memenuhi 3 dari 5 persyaratan | Memenuhi 3 dari 5 persyaratan |
| **Kategori desa** | - Desa hutan lindung- Desa restorasi | - Desa hutan lindung- Desa restorasi | - Desa restorasi- Desa sertifikasi |
| **Total area yang dilindungi** | 1,954 ha | 23,129 ha | 2,297 ha |
| **Total area restorasi** | 1,296 ha | 2,122 ha | 945 ha |
| **Produksi komoditas utama** | Kelapa | Saccharum edule (spesies dari tebu), Nanas, Ikan lokal: Gabus, Lais, Tomang | Sawit |

\
Di Seruyan, program diluncurkan oleh bupati pada Desember 2022, melibatkan seluruh desa di kabupaten tersebut. Dalam pertemuan tersebut, 77 perwakilan desa mengumumkan komitmennya, dengan 31 desa langsung mengirimkan surat ke sekretariat. Dari 31 desa tersebut, hanya 7 desa yang kemudian menyerahkan SK unit penggerak desa. Saat ini, 4 desa sedang bersiap untuk memetakan lahan untuk perlindungan dan produksi (Tabel 2).

\
Tabel 2. Deskripsi tiga desa dalam proses penerimaan insentif

|    | **Pematang Limau** | **Bangkal** | **Bahaur** |
|----|----|----|----|
| **Total area** | 1,152 km² | 144 km² | 134 km² |
| **Jumlah populasi** | 4,082 | 4,319 | 1,284 |
| **TahapGB** | Memenuhi 2 dari 5 persyaratan | Memenuhi 2 dari 5 persyaratan | Memenuhi 2 dari 5 persyaratan |
| **Kategori desa** |    |    |    |
| **Total area yang dilindungi** | 105,760 ha | 2,082 ha | 2,738.43 ha |
| **Total area restorasi** | 84,515 ha | 4,377 ha | 1,128.58 ha |
| **Produksi komoditas utama** | Kelapa, Padi,Ikan: Nila, Baung | Sawit,Ikan: Bilis, Haruan, Toman, Patin, Lele,Karet | Sawit, Ikan: Toman, Baung, Haruan |

\
**Pelajaran yang Didapatkan**

Program GB memberikan insentif langsung kepada masyarakat lokal yang ingin berpartisipasi dalam pembangunan berkelanjutan. Program GB dirancang untuk memastikan bahwa semua desa dalam satu kabupaten dapat berpartisipasi dengan menyederhanakan persyaratan program. Selain itu, desa juga diberikan bantuan teknis agar mereka dapat memenuhi prasyarat untuk menerima insentif.

\
Perusahaan barang konsumen memberikan dukungan keuangan kepada penduduk desa melalui program GB. Perusahaan biasanya memiliki target khusus untuk dampaknya seperti meningkatkan kesejahteraan dan keberlanjutan para pemasok bahan baku mereka. Program GB juga dirancang untuk memungkinkan pemantauan dan pelaporan dampak yang sejalan dengan komitmen keberlanjutan perusahaan, seperti jumlah hektar hutan yang dilindungi, yang dipulihkan, dan dikelola secara berkelanjutan. Melalui mekanisme pelaporan yang transparan dan dapat diverifikasi, perusahaan dapat dengan yakin membuat klaim tentang dampaknya.

\
Program-program tersebut menyatukan banyak pemangku kepentingan kabupaten yang tertarik dengan pembangunan berkelanjutan berbasis masyarakat. Di bawah kepemimpinan pemerintah kabupaten, program tersebut menggunakan struktur pemerintahan saat ini untuk bekerja di seluruh kabupaten, seperti mengerahkan tenaga penyuluh serta pengembangan masyarakat. Biasanya satu pegawai pemerintah ditugaskan untuk membantu beberapa desa dalam satu kabupaten. Program tersebut juga memberikan dukungan bagi pegawai pemerintah, termasuk sumber daya keuangan dan pelatihan, sehingga mereka dapat bekerja secara efektif dengan masyarakat setempat. Hutan negara Indonesia berada di bawah kewenangan pemerintah pusat. Alhasil, program dapat bekerja sama dengan unit pengelolaan hutan setempat. Selain itu, pemerintah kecamatan juga menyebarluaskan informasi program dan mendukung desa untuk memenuhi persyaratan program. \n 

Program-program tersebut menyatukan banyak pemangku kepentingan kabupaten yang tertarik dengan pembangunan berkelanjutan berbasis masyarakat. Di bawah kepemimpinan pemerintah kabupaten, program menggunakan struktur pemerintahan saat ini untuk bekerja di seluruh kabupaten, seperti mengerahkan tenaga penyuluh dan pengembangan masyarakat. Biasanya satu pegawai pemerintah ditugaskan untuk membantu beberapa desa dalam satu kabupaten. Program tersebut juga memberikan dukungan bagi pegawai pemerintah, termasuk sumber daya keuangan dan pelatihan, sehingga mereka dapat bekerja secara efektif dengan masyarakat setempat. Hutan negara Indonesia berada di bawah kewenangan pemerintah pusat. Konsekuensinya, program bekerja sama dengan unit pengelolaan hutan setempat. Selain itu, pemerintah kecamatan juga menyebarluaskan informasi program dan membantu desa untuk memenuhi persyaratan program.

\
Organisasi masyarakat sipil seperti universitas lokal, organisasi nirlaba, dan kelompok masyarakat adat didorong untuk terlibat dalam program tersebut. Organisasi masyarakat sipil memberikan bantuan teknis kepada masyarakat lokal berdasarkan keahlian organisasi mereka. Universitas Antakusuma, sebuah universitas lokal yang berbasis di Kabupaten Kotawaringin Barat, membantu desa-desa membentuk unit-unit untuk memberikan bantuan hukum bagi masyarakat setempat. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) memberikan bantuan teknis kepada desa adat untuk melakukan pemetaan partisipatif dan menerapkan praktik pertanian tanpa membakar.

\
Sekretariat kabupaten berkoordinasi dengan para pemangku kepentingan, yang diselenggarakan oleh lembaga pemerintah dan dijalankan oleh para profesional. Desa dapat langsung mengakses informasi dengan menghubungi sekretariat melalui panggilan telepon atau melalui platform pesan instan, seperti WhatsApp. Jika fasilitator lokal atau penyuluh menyampaikan program sesuai dengan yang dijanjikan, masyarakat dapat berkoordinasi langsung dengan sekretariat.

\
Dengan arsitektur tata kelola yang sudah ada, program siap menjangkau seluruh desa di kedua kabupaten tersebut. Saat ini kami sedang melakukan percontohan program di beberapa desa untuk mempelajari proses tersebut dan membuat kisah sukses untuk ditiru oleh desa lain. Beberapa desa tidak tertarik dengan program ini karena belum melihat manfaatnya. Beberapa desa juga skeptis karena banyak inisiatif sebelumnya yang gagal. Karena insentif mulai menunjukkan dampak positif, kami percaya bahwa hal itu akan mendorong desa-desa lain untuk turut serta berpartisipasi dalam program ini.

\
Di Kabupaten Kotawaringin Barat, Sekretariat telah mendampingi dua desa yang sebelumnya telah bekerjasama dengan Kaleka. Satu desa tambahan menunjukkan progres meskipun belum didukung secara intensif karena petugas pengembangan masyarakat mereka telah memiliki pengalaman dalam membantu salah satu dari dua desa percontohan. Unit penggerak desa juga aktif berkomunikasi dengan Sekretariat.

\
Saat ini, Sekretariat di Kabupaten Kotawaringin Barat tidak aktif merekrut desa baru karena kami menilai apa yang membuat desa tertarik dengan program ini. Kami belajar bahwa pekerja pengembangan masyarakat yang aktif membuat perbedaan. Seorang petinggi di tingkat desa seperti kepala desa atau sesepuh juga bisa mendorong untuk partisipasi. \n 

Di Kabupaten Seruyan, ada banyak desa yang sebagian besar belum diikutsertakan Kaleka namun mengalami kemajuan dalam menyelesaikan persyaratan program. Ada beberapa alasan partisipasi aktif desa. Pertama, Sekretariat di Kabupaten Seruyan aktif melakukan sosialisasi ke desa-desa untuk meningkatkan partisipasi program. Kedua, terbatasnya peluang pendanaan untuk pembangunan desa di Kabupaten Seruyan dibandingkan dengan Kabupaten Kotawaringin Barat.

\


Gawi Bahaum & Bapakat (Bringing Sustainability to the Village Level)

Gawi Bahaum & Bapakat (Membawa Keberlanjutan ke Tingkat Desa)

Papuan nutmeg (*Myristica argentea* Warb) grows naturally in the wild in Fakfak, a district in the West Papua province. With a total cultivated area of 17,547 hectares, nutmeg plays a key role in the local economy as an important source of income.

\
As a non-timber forest product, it is one of the few agricultural commodities that are crucial for forest protection, as no land clearing is needed for cultivation. Increasing the value of nutmeg forest gardens will help indigenous Papuans to maintain these last frontiers of tropical forests.

\
The Mbaham Matta are the indigenous people of the Fakfak district of West Papua. Nutmeg is not just a commodity for these communities but also a central part of their society, culture, and natural environment. Nutmeg cultivation practices are based on historical practices handed down over generations and tied to the culture and beliefs of the indigenous communities.

\
Cultivating nutmeg in Fakfak is a family effort, with the women and men all playing specific roles during the cultivation and harvest cycles. Nutmeg is highly valued by the communities, which is demonstrated by how nutmeg forest gardens are handed down through families over generations and the taboos that prevent the felling of nutmeg trees.

\
Nutmeg production in Fakfak faces two major problems, namely, low productivity and low-quality production. Nutmeg grows naturally in high density among other forest trees and with a random distribution of male-female ratio, which causes low productivity and the emergence of disease infection. Moreover, the current harvest and post-harvest practices, including premature harvest, incomplete drying process, and high-humidity storage, could result in product contamination, including aflatoxins. Between 2000-2016, 62% of the exported Indonesian nutmeg to the European Union market was contaminated by aflatoxin. The contaminated product was rejected.

\
\
**Intervention:**

We aimed to increase the productivity and value of Papuan nutmeg by introducing good harvest and post-harvest techniques to maintain the quality of their nutmeg. Preventing the harvested fruit from touching the ground reduces the risk of aflatoxin contamination—a soil-borne disease. Farmers were also encouraged to dry the harvested nutmeg instead of selling the raw products. Moreover, modern drying techniques and technologies were used to ensure that the product meets international standards.

\
\
**Location:**

Fakfak, West Papua

\
\
**Details:**

| **District** | **Farmer Group** | **Member** |
|----|----|----|
| Kokas | Guraferi | 60 |
| Kokas | Henggi Rida | 32 |
| West Fakfak | Henggi Matiri | 17 |

\
\
**Method and Progress:**


1. **Establishing Farmer Group.**

At the start of the intervention, local communities discussed and agreed upon the work plan that would be implemented considering the challenges faced by the farmers. A farmer group was established to serve as an internal control system that ensured that all farmer members complied with good harvest and post-harvest practices.

\
\

2. **Mapping Nutmeg Gardens.**

The farmers do not usually know the total area of their nutmeg garden. When farmers require cash, they put their garden as a collateral to a lender. Often, they cannot pay back the loan, and the garden is taken by the lender. Therefore, we supported the farmers to map their nutmeg garden so that they know the value of their land.

\
As part of the mapping process, we also took inventory of the number of trees and tree descriptions for age, diameter, sex, and crown width. This aimed to determine the nutmeg population in agroforestry systems and make it easier to calculate potential productivity.

\
\

3. **Providing training on good harvest and post-harvest practices.**

Training for good harvest and post-harvest practices was provided to the farmers, so they can meet market standards. The market value of nutmeg and mace is fixed based on the color, nutritional composition, and grade. The training included harvest time, selecting ripe fruit, and using hygienic equipment and transportation for the fruits. Post-harvest practices included the separation of nuts and mace and the washing, drying, and grading of the product.

\
We introduced a modern nutmeg drying facility for farmers in the Patimburak village as a solution to prevent the aflatoxin contamination in nutmeg and mace. The facilities are run by farmer groups to dry the nutmeg harvested by the members of the groups collectively. The facility consists of stacking racks for drying both nutmeg and mace. Dryers and dehumidifiers are installed and run on solar power to provide heating and humidity control. In the case of nutmeg drying, a temperature of 36–40°C is set for about 6–8 hours for 14 days. Mace takes 3-4 days to dry in the same condition. Both nutmeg and mace need to be dried to a maximum moisture level of 10%.

\
\

4. **Monitoring and evaluation**

Farmer groups have regular monthly meetings during which the monitoring is carried out. The farmers also maintain a diary in which they record information related to nutmeg field maintenance, harvest plans, yield, labor, and post-harvest handling practices.

\
\
**Impact:**


1. 995 plots of nutmeg garden owned by indigenous people were mapped.
2. 130 farmers changed their harvest and post-harvest practices.

\
\
**Lessons Learned:**


1. The knowledge of indigenous nutmeg farmers about good harvest and post-harvest practices can be improved with time. Training the farmers requires a long-term, multi-year approach.
2. Most locations of nutmeg plantations are difficult to access, so it is challenging for farmers to harvest at the right time, considering the number of laborers available.
3. A nutmeg drying facility can reduce the contamination caused by the traditional drying method, particularly during the rainy season.

\


Pala Papua (*Myristica argentea Warb*) tumbuh secara alami di alam bebas di Fakfak, sebuah kabupaten di Provinsi Papua Barat. Dengan total luas lahan budidaya 17.547 hektar, pala memainkan peran penting dalam perekonomian lokal sebagai sumber pendapatan penting.

\
Sebagai hasil hutan bukan kayu, pala adalah salah satu dari sedikit komoditas pertanian yang sangat penting untuk melindungi hutan, sebab tidak diperlukan pembukaan lahan untuk budidaya. Meningkatkan nilai kebun hutan pala akan membantu penduduk asli Papua dalam mempertahankan perbatasan terakhir hutan tropis ini.

\
Mbaham Matta merupakan suku penduduk asli Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Pala bukan hanya sebatas komoditas, namun juga merupakan bagian utama dari masyarakat, budaya, dan lingkungan alam mereka. Praktek budidaya pala didasarkan pada praktek sejarah yang diwariskan secara turun-temurun dan terikat dengan budaya dan kepercayaan masyarakat adat.

\
Budidaya pala di Fakfak adalah usaha milik keluarga, baik perempuan maupun laki-laki  memiliki peran khusus selama siklus penanaman dan panen. Pala sangat dihargai oleh masyarakat, hal ini ditunjukkan dengan bagaimana kebun hutan pala diwariskan secara turun-temurun serta adanya pantangan yang melarang penebangan pohon pala.

\
Terdapat dua masalah besar yang dihadapi dalam produksi pala di Fakfak, yaitu rendahnya produktivitas dan rendahnya kualitas produksi. Pala tumbuh secara alami dengan jarak tumbuh yang sangat rapat di antara pohon-pohon hutan lainnya serta dengan distribusi rasio jantan-betina yang acak, hal ini menyebabkan rendahnya produktivitas dan munculnya infeksi penyakit. Selain itu, praktik panen dan pascapanen saat ini, seperti panen prematur, proses pengeringan yang tidak sempurna, dan penyimpanan dengan kelembaban tinggi, dapat mengakibatkan kontaminasi produk, termasuk aflatoksin. Antara tahun 2000-2016, sebanyak 62% pala Indonesia yang diekspor ke pasar Uni Eropa terkontaminasi aflatoksin, sehingga produk yang terkontaminasi semuanya ditolak.

 \n 

**Intervensi:**

Tujuan kami adalah untuk meningkatkan produktivitas dan nilai pala di Papua dengan memperkenalkan teknik panen dan pasca panen yang baik untuk menjaga kualitas pala mereka. Mencegah buah yang dipanen menyentuh tanah dapat mengurangi risiko kontaminasi aflatoksin atau penyakit yang tersebar melalui tanah. Petani juga disarankan untuk mengeringkan pala yang dipanen daripada menjual produk mentahnya secara langsung. Selain itu, teknik dan teknologi pengeringan  modern digunakan untuk memastikan  produk tersebut dapat memenuhi standar internasional.

\
\
**Lokasi:**

Fakfak, Papua Barat

\
\
**Detail:**

| **Kawasan** | **Kelompok Petani** | **Anggota** |
|----|----|----|
| Kokas | Garferi | 60 |
| Kokas | Henggi Rida | 32 |
| Fakfak Barat | Henggi Matiri | 17 |

\
\
**Metode dan Perkembangan:**


1. **Membentuk Kelompok Tani.**

   Pada awal intervensi, masyarakat lokal berdiskusi dan menyepakati rencana kerja yang akan dilaksanakan dengan mempertimbangkan tantangan yang dihadapi oleh para petani. Kelompok tani dibentuk sebagai sistem kontrol internal yang memastikan bahwa semua anggota petani mengikuti praktik panen dan pasca panen yang baik.

\
\

2. **Pemetaan Kebun Pala.**

   Para petani biasanya tidak mengetahui luas kebun pala mereka. Ketika para petani membutuhkan uang tunai, mereka biasanya menjadikan kebun mereka sebagai jaminan kepada pemberi pinjaman. Seringkali, mereka tidak dapat membayar kembali pinjaman uang tersebut sehingga kebun mereka diambil oleh pemberi pinjaman. Oleh karena itu, kami membantu para petani untuk memetakan kebun palanya agar mereka mengetahui nilai dari tanah mereka.

   \
   Sebagai bagian dari proses pemetaan, kami juga melakukan inventarisasi jumlah pohon dan deskripsi pohon untuk umur, diameter, jenis kelamin, dan lebar tajuk. Hal ini bertujuan untuk mengetahui populasi pala dalam sistem agroforestri dan memudahkan perhitungan potensi produktivitas.

\
\

3. **Memberikan Pelatihan  Praktik Panen dan Pascapanen yang Baik.**

   Pelatihan praktik panen dan pascapanen yang baik diberikan kepada para petani sehingga mereka dapat memenuhi standar permintaan pasar. Nilai pasar pala dan bunga pala ditetapkan berdasarkan warna, komposisi gizi, dan kadarnya. Pelatihan ini meliputi waktu panen, pemilihan buah matang, dan penggunaan peralatan higienis serta transportasi buah. Praktik pascapanen meliputi pemisahan biji dan bunga pala serta pencucian, pengeringan, dan pemilahan produk.

   \
   Kami memperkenalkan fasilitas pengeringan pala modern untuk petani di Desa Patimburak sebagai solusi untuk mencegah kontaminasi aflatoksin pada pala dan bunga pala. Sarana tersebut dijalankan oleh kelompok tani untuk menjemur pala yang dipanen oleh anggota kelompok secara kolektif. Fasilitas tersebut berupa rak susun untuk menjemur pala dan bunga pala. Alat pengering dan penurun kelembaban dipasang, dan dijalankan dengan tenaga surya untuk memberikan kontrol pemanasan dan kelembaban. Dalam kasus pengeringan pala, suhu 36–40°C diatur selama sekitar 6–8 jam selama 14 hari. Bunga pala membutuhkan waktu 3-4 hari untuk mengering dalam kondisi yang sama. Baik pala maupun bunga pala harus dikeringkan hingga kadar air maksimum mencapai 10%.

\
\

4. **Pemantauan dan Evaluasi.**

   Kelompok tani mengadakan pertemuan bulanan secara rutin selama pemantauan dilakukan. Para petani juga membuat buku harian di mana mereka mencatat informasi yang berkaitan dengan pemeliharaan lahan pala, rencana panen, hasil, tenaga kerja, dan praktik penanganan pasca panen.

\
\
**Dampak:**


1. Sejumlah 995 petak kebun pala milik masyarakat adat telah terpetakan.
2. 130 petani telah mengubah praktik panen dan pascapanen mereka.

\
\
**Pelajaran yang Dipetik:**


1. Pengetahuan petani pala asli tentang praktik panen dan pascapanen yang baik dapat ditingkatkan seiring dengan berjalannya waktu. Pelatihan petani membutuhkan pendekatan jangka panjang dan multi-tahunan.
2. Sebagian besar lokasi perkebunan pala sulit diakses sehingga tidak mudah bagi petani untuk memanen tepat waktu dengan mempertimbangkan jumlah tenaga kerja yang tersedia.
3. Fasilitas penjemuran biji pala dapat mengurangi kontaminasi yang disebabkan oleh cara penjemuran tradisional, terutama pada musim hujan.

\


Increasing the Productivity and Value of Papuan Nutmeg

Peningkatan Produktivitas dan Nilai Pala Papua

Here is a recap of our top five most memorable moments of 2023:

\

1. In May 2023, Ibu Suzy Hutomo agreed to serve on Kaleka’s Board of Trustees, joining Prof. Sulityowati Irianto and Pak Iman Santoso. Ibu Suzy Hutomo co-founded “The Body Shop Indonesia” and is the chairwoman of this iconic beauty brand in Indonesia.

   \
   We look forward to many more energizing conversations on how to bring Indonesia’s bio-products to international markets. At a personal level, Kaleka’s staff are inspired by Ibu Suzy’s commitment to pursuing a green and sustainable lifestyle. She believes that “being mindful of the environment can be easy, fun, and effortless.”

    ![](https://lh7-us.googleusercontent.com/nKEdifcAH2HXnn1tTfTjIHQWCREEPSX3YQHxDBs5oNpp0FtbWt5VQcmJ9SD-EBRkpfmWiWOT3sJXYmFokmz870BRuYlR1Z8_bzVyKIeJhBZsY__yYiYg6RlOnNC7MeaktCU0kQReaGVPrQ1Q-mNbBcs)

\

2. In July 2023, Asosiasi Petani Lestari Kelapa Sawit (APLKS), Kotawaringin Barat, broke a record by getting its 2,227 members to obtain *Roundtable Sustainable Palm Oil* (RSPO) certification. This is, by far, the largest independent oil palm farmer group that has obtained certification under one group simultaneously. The average number of members in oil palm farmer groups certified under the RSPO is around 220 farmers.

   \
   This achievement shows that the certification process was an inclusive one, wherein every farmer had complete access to the study material. We believe that such large-scale certification of independent oil palm farmers can help achieve economies of scale to lower costs and cover as many farmers as possible to make sustainability a norm.

    ![](https://lh7-us.googleusercontent.com/rtj7apiQmBHd--CkW2wGGf3YHrBaX6BQ2f56Bz-BJM2FyH-KPHYevR8x1-_Fv44724mpiI4nMuyTbFG8xl1l6WgtRyjo12_a8QoPv0bE5FYMT5Lv6vg-PVK1hEcVQ-3eV-9kG4WvAaP4wed5cwhJLoI)

\

3. In August 2023, the Fakfak district passed a district law to acknowledge the existence of indigenous people's rights. Previously, seven Petuanan (kingdoms) had mapped their territories, covering the entire district, and four Petuanan had agreed amongst themselves on the boundaries.

   \
   The map of indigenous people’s territories is crucial for acknowledging their rights to their lands. The indigenous people have preserved forests for generations, extending beyond the conservation areas designated by the government.

    ![](https://lh7-us.googleusercontent.com/qWYJ5Ptutkc6VDOtdLnZo8ctpRg6OKAhy4oO_ChNk92hvJ1nwzXMkOsoNYj2_tJrtUGn_Y5c6Tl7Qub8kNyUcHs-QVQ2a-FemKQ67GdEEIXKewTCetQigOHo_39vrnAiQgj5hLKzGXqNKwfRPtMV6-c)

\

4. In November 2023, Seruyan completed Stage One of the RSPO jurisdictional approach framework. This marks the culmination of many years of hard work by the stakeholders. Through the jurisdictional approach to certification, the RSPO principles and criteria are applied at a jurisdictional level rather than at a management unit level, such as farms, plantations, or mills.

   \
   Seruyan, together with Sabah and Ecuador, is the pilot jurisdiction of RSPO JA, which aims to protect the environment and restore landscapes at an adequate level for maintaining and increasing species populations. The approach will also reduce certification costs by increasing the scale of certification and achieving cost effectiveness through the consolidation of resources, expertise, and efforts.

    ![](https://lh7-us.googleusercontent.com/NuBq9aPPA_LvoG_Cq5QoFEljB_rIeb3K_5gx8Mcb1NhPd3BGKeugGbzY1RgqGl17sT-hlxpro99Yey3saHVSPa0X2MIpXCubHa2Yx6QZvUTu7hep6l7RtByMMgCF426_PbbGBNxlJOIsWMBflQl_keQ)

   \
5. In December 2023, we celebrated the achievement of 38 farmer groups from 37 villages across Kalimantan and Papua becoming a part of our big family. The farmers collectively protected 19,986 ha of forests, restored 324 ha of degraded ecosystems, and managed 11,772 ha of their farm sustainably. Read our top five stories about the farmers who inspire Kaleka’s work every day [here](https://kaleka.id/blog/five-farmers-who-inspire-kaleka-every-day).  ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/blogentity/b37bcea1-4b0b-43f5-8eed-1b99d4939e73.png)

\


Berikut kami kompilasikan lima momen paling membanggakan di tahun 2023!

\

1. Pada Mei 2023, Ibu Suzy Hutomo berkenan untuk menjadi salah satu Dewan Pembina di Kaleka, disamping Profesor Sulistyowati Irianto dan Pak Iman Santoso. Ibu Suzy Hutomo adalah salah satu pendiri “The Body Shop Indonesia” dan Pimpinan brand kecantikan yang ikonik di Indonesia ini.

   \
   Kami menantikan berbagai diskusi menarik kedepannya untuk mengusung produk-produk ramah lingkungan asal Indonesia ke pasar mancanegara. Pada level individu, komitmen Ibu Suzy untuk menjalankan gaya hidup organik dan berkelanjutan telah menginspirasi staf Kaleka. Beliau percaya bahwa “menjadi sadar terhadap lingkungan itu mudah, menyenangkan, dan tidak memerlukan banyak beban.”

    \n  ![](https://lh7-us.googleusercontent.com/NfDVNqEzqk-h-Gw_yMi3PBv4E_eMNsndEOYtuTaxSbMlgcOv9aanCiAp1xZozxcnTSuMp3zP8rnIKyDyaTlvKYKEuDEhot5P2jLj9IQJMDZHsKlBdI5Mk5DvHGDsLRGi803l3IbHo5_nHFDzqFcVd6k)
2. Pada Juli 2023, Asosiasi Petani Lestari Kelapa Sawit (APLKS), Kotawaringin Barat, berhasil memecahkan rekor dengan membantu 2.227 anggotanya untuk memperoleh sertifikasi RSPO. Asosiasi ini menjadi kelompok dengan anggota petani kelapa sawit independen terbesar yang mendapatkan sertifikasi secara bersamaan dalam satu waktu. Pada umumnya, rata-rata jumlah anggota dalam kelompok petani kelapa sawit yang disertifikasi RSPO sekitar 220 petani.

   \
   Pencapaian ini menunjukkan bahwa sertifikasi merupakan proses yang inklusif, dimana setiap petani telah memiliki akses ke materi untuk belajar. Kami percaya bahwa sertifikasi petani kelapa sawit dalam skala besar seperti ini dapat membantu perekonomian untuk menekan biaya produksi dengan melibatkan sebanyak-banyaknya petani dan menjadikan keberlanjutan sebagai sebuah norma.

    ![](https://lh7-us.googleusercontent.com/rtj7apiQmBHd--CkW2wGGf3YHrBaX6BQ2f56Bz-BJM2FyH-KPHYevR8x1-_Fv44724mpiI4nMuyTbFG8xl1l6WgtRyjo12_a8QoPv0bE5FYMT5Lv6vg-PVK1hEcVQ-3eV-9kG4WvAaP4wed5cwhJLoI)

\

3. Pada Agustus 2023, Kabupaten Fakfak melaksanakan penatapan wilayah untuk mengakui keberadaan hak-hak masyarakat adat. Sebelumnya, tujuh Petuanan telah memetakan batas wilayah mereka yang meliputi keseluruhan kabupaten, dimana empat Petuanan telah menyetujui batas-batas tersebut satu sama lain.

   \
   Peta yang memuat batas wilayah antar masyarakat adat tersebut penting sebagai bukti diakuinya hak dan tanah mereka. Masyarakat adat telah menjaga hutan dari generasi ke generasi, jauh melampaui area konservasi yang ditentukan pemerintah.

    ![](https://lh7-us.googleusercontent.com/bRUc3j4ZUHPu8HfIYoqWtbNsFR6EpxgK4Y9O16oBeBEZ9RF-YDXWurkG5PAd8xeK5qn5_vCyymMDtKGTp0YgH0MmHilrAjDe1cDUU97rD6Z6XLdNut2VPlIMnjf6hICVQg2F37DO-EQEcRN1t4uTO-o)

\

4. Pada November 2023, Seruyan mencapai Tahap Pertama dari kerangka kerja pendekatan yurisdiksi RSPO. Hal ini menjadi penanda hasil kerja selama bertahun-tahun oleh para pemangku kebijakan. Melalui pendekatan yurisdiksi untuk memperoleh sertifikasi, prinsip dan kriteria RSPO diterapkan pada level yurisdiksi ketimbang pada level unit manajemen seperti perkebunan dan pabrik.

   \
   Seruyan, bersama dengan Sabah dan Ekuador, adalah yurisdiksi percontohan pendekatan yurisdiksi RSPO, yang bertujuan untuk melindungi lingkungan dan memulihkan lanskap pada tingkat yang memadai untuk mempertahankan dan meningkatkan populasi spesies. Pendekatan ini juga akan mengurangi biaya sertifikasi dengan meningkatkan skala sertifikasi dan mencapai efektivitas biaya melalui konsolidasi sumber daya, keahlian, dan upaya.

    ![](https://lh7-us.googleusercontent.com/NuBq9aPPA_LvoG_Cq5QoFEljB_rIeb3K_5gx8Mcb1NhPd3BGKeugGbzY1RgqGl17sT-hlxpro99Yey3saHVSPa0X2MIpXCubHa2Yx6QZvUTu7hep6l7RtByMMgCF426_PbbGBNxlJOIsWMBflQl_keQ)

\

5. Pada Desember 2023, kami merayakan pencapaian 38 kelompok tani dari 37 desa di Kalimantan dan Papua yang menjadi bagian dari keluarga besar kami. Para petani secara kolektif telah menjaga 19.987 ha hutan, merestorasi 324 ha ekosistem terdegradasi, dan mengelola total luas kebun 11.772 ha secara berkelanjutan. Baca lima cerita terbaik dari para petani yang menginspirasi kerja Kaleka setiap harinya [di sini](https://kaleka.id/id/blog/five-farmers-who-inspire-kaleka-every-day).

    ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/blogentity/e79a0a14-6f38-4a56-9d07-485b5bb1552a.png)

\


Proudest Moments of 2023

Momen Paling Membanggakan 2023

Here is the list of five farmers who inspire Kaleka every day. There are many more farmers, who are the reason why we go to work every day. Our New Year's resolution for 2024 is to tell more of their stories. \n 


1. **Mbah Trisno**

    ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/blogentity/8ab13f50-a374-4efb-a9c2-2f2d8b48793e.jpeg)

   Mbah Trisno showed us his warrior spirit by restoring degraded land in his village of Pematang Limau in Seruyan District, Central Kalimantan. He planted 55 ha of degraded land between 2022 and 2023. The journey was not always easy. Mbah Trisno often faced difficulties in finding seedlings of specific plants. Even when he managed to obtain them, sometimes they died soon after planting. Despite encountering failure several times, Mbah Trisno and his team never gave up. Mbah Trisno’s optimism stems from his desire to leave a legacy for the community, dreaming of a sustainable village with a diversity of plants and harvests so that the inhabitants can have a better standard of living. Read more about Mbah Trisno’s story __[here](https://kaleka.id/our-stories/mbah-trisno-age-is-no-longer-a-constraint-to)__. \n 
2. **Soewarno**

    ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/blogentity/d4dade4b-1a8e-4af8-9aad-9a25ff37ce22.jpg)

   Soewarno inspired us by successfully leading 2,227 farmers in the Kotawaringin Barat district to get *Roundtable Sustainable Palm Oil* (RSPO) certification. Soewarno is the chair of the Association of Sustainable Palm Oil Farmers (APLKS) in Kotawaringin Barat, a palm oil-producing district in Central Kalimantan. The APLKS’s achievement broke the record for the largest group of independent farmers certified in Indonesia. The average number of independent farmers certified by RSPO within a single group is around 220. Soewarno has the vision to expand the scope of the association, enlarge its membership, and provide certification to all small farmers throughout Kotawaringin Barat District to improve farmer welfare and sustainable land management. Read more about Soewarno’s story __[here.](https://kaleka.id/our-stories/soewarno-supporting-smallholders-on-the-groun)__ \n 
3. **Arobi Patiran**

    ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/blogentity/d3a84097-7acc-488f-9597-f2da946929c3.jpg)

   Arobi Patiran’s determination inspired us as he and his family established the Henggi Matiri farmer group to ensure that nutmeg harvested from forests could have greater market access. Arobi is a member of the Mbaham Matta indigenous group in Perwasak Village, Fakfak District, West Papua. Papuan nutmeg (*Myristica argentea*), which grows wild in the forests of West Papua, is one of Indonesia’s many undervalued non-timber forest products. Arobi can directly sell to buyers through the farmer group and explore downstream products like essential oils. Thanks to a more valuable nutmeg harvest, preserving Fakfak’s standing forests is viable for local communities. Arobi aspires to continually improve his skills as a nutmeg farmer and enhance the consistency and productivity of nutmeg harvests in his village. Read more about Arobi Patiran’s story __[here](https://kaleka.id/our-stories/arobi-patiran-overcoming-nutmeg-harvesting-ch)__.

\

4. **Novitasari**

    ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/blogentity/d405bf07-d6e0-46c9-b01a-6d91ad038dea.jpeg)

   Novitasari gives us hope as she provides an example of Gen Z farmers doing their part to take care of the environment. She is a restoration team member in Sebuai village, Kotawaringin Barat District, Central Kalimantan. This community-based team oversees various activities, such as selecting tree species to plant together with the local populace, planting trees on critical land, and ensuring the maintenance of restored areas. They have planted 5,000 trees so far. Novitasari dreams that the restoration movement will create new jobs in her village as the restoration sites can be later transformed for ecotourism. Her wish is for Sabuai communities to work in their own villages while protecting and restoring the environment. Read more about Novitasari’s story __[here](https://kaleka.id/our-stories/novitasari-teamwork-makes-the-dream-work)__.

\

5. **Ibu Margini**

    ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/blogentity/713c4871-3209-46a8-a01c-ee3d9d88a4f5.png)

   Ibu Margini always puts a big smile on our faces as we see her thriving after becoming RSPO certified. She is a member of KUD Tani Subur, the first farmer group that Kaleka supported to get RSPO certification. As a certified farmer, she can access a better market and enjoy a higher income because she no longer sells her crops to intermediaries. Ibu Margini opened a small grocery store to earn additional income for her family. She envisions that her oil palm plantations can generate stable income after her husband grows old and can no longer work as a casual laborer in an excavator company. Her simple wish is to ensure her two children continue their education and earn university degrees. Read more about Ibu Margini’s story __[here](https://kaleka.id/our-stories/margini-female-farmer-alive-and-kicking-at-oi)__.

\


Berikut daftar lima petani yang menginspirasi Kaleka setiap harinya. Masih banyak lagi petani yang menjadi alasan mengapa kita harus bekerja setiap hari. Resolusi Tahun Baru kami di tahun 2024 adalah menceritakan lebih banyak kisah dari mereka.

\

1. **Mbah Trisno**

    ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/blogentity/9005a988-0e59-46cf-b487-fb8d11ad004d.jpeg)

   Mbah Trisno menunjukkan semangat perjuangannya untuk memulihkan lahan kritis di desanya Pematang Limau, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. Ia telah menanami lahan kritis seluas 55 hektar antara tahun 2022 dan 2023. Namun, perjalanannya tidaklah selalu mudah. Mbah Trisno kerap kali mengalami kesulitan dalam mencari bibit untuk tanaman tertentu. Bahkan ketika ia berhasil mendapatkan bibit tersebut, terkadang benih yang disemai mati sesaat setelah dicoba untuk ditanam kembali. Meski beberapa kali mengalami kegagalan, Mbah Trisno dan timnya pantang menyerah. Kegigihan Mbah Trisno berasal dari impiannya untuk meninggalkan warisan yang bermanfaat bagi masyarakat, memimpikan desa yang lestari dengan keanekaragaman tanaman dan hasil panen sehingga masyarakat dapat memiliki taraf hidup yang lebih baik. Baca kisah Mbah Trisno selengkapnya di __[sini](https://kaleka.id/id/our-stories/mbah-trisno-age-is-no-longer-a-constraint-to)__.

\

2. **Soewarno**

    ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/blogentity/8f2e8678-fcdc-4865-bd21-b44fe3d41d4d.jpg)

   Soewarno menginspirasi kami dengan keberhasilannya dalam memimpin 2.227 petani di Kabupaten Kotawaringin Barat untuk mendapatkan sertifikasi *Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO)*. Soewarno adalah ketua Asosiasi Petani Lestari Kelapa Sawit (APLKS) di Kotawaringin Barat, sebuah kabupaten penghasil kelapa sawit di Kalimantan Tengah. APLKS memecahkan rekor jumlah petani mandiri yang tersertifikasi dalam satu kelompok di Indonesia. Rata-rata jumlah petani yang tersertifikasi RSPO dalam satu kelompok tani adalah sekitar 220 petani mandiri. Soewarno bercita-cita untuk memperluas cakupan asosiasi, meningkatkan jumlah anggota, dan memberikan akses sertifikasi kepada seluruh petani kecil di seluruh Kabupaten Kotawaringin untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan pengelolaan lahan berkelanjutan. Baca kisah Soewarno selengkapnya di __[sini](https://kaleka.id/id/our-stories/soewarno-supporting-smallholders-on-the-groun)__.

\

3. **Arobi Patiran**

    ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/blogentity/a155d74f-debd-478c-bea7-207afa3c56c3.jpg)

   Tekad Arobi Patiran menjadi inspirasi bagi kami sebagaimana ia dan keluarganya mendirikan kelompok tani Henggi Matiri untuk memastikan pala yang dipanen dari hutan dapat memiliki akses pasar yang lebih besar. Arobi merupakan anggota kelompok adat Mbaham Matta di Kampung Perwasak, Distrik Fakfak, Papua Barat. Pala Papua *(Myristica argentea)*, yang tumbuh liar di hutan Papua Barat, merupakan salah satu produk hutan non-kayu di Indonesia yang dinilai rendah. Meskipun demikian, Arobi dapat melakukan penjualan langsung ke pembeli dan mengeksplorasi produk hilir seperti minyak atsiri. Dengan harga panen pala yang lebih baik, pelestarian hutan Fakfak juga dapat dilakukan oleh masyarakat lokal. Arobi bercita-cita untuk terus meningkatkan keterampilannya sebagai petani pala dan meningkatkan kestabilan serta produktivitas panen pala di desanya. Baca kisah Arobi Patiran selengkapnya di __[sini](https://kaleka.id/our-stories/arobi-patiran-overcoming-nutmeg-harvesting-ch)__.

\

4. **Novitasari**

    ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/blogentity/49d99214-0616-44b3-8689-39a25cce3f0a.jpeg)

   Novitasari memberikan sebuah harapan dengan memberikan contoh bahwa petani Gen Z juga dapat ambil bagian dalam menjaga lingkungan. Novitasari merupakan salah satu anggota tim restorasi di Desa Sabuai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Tim restorasi ini mengawasi berbagai macam aktivitas seperti pemilihan jenis pohon untuk ditanam bersama masyarakat lokal, penanaman pohon di lahan kritis, dan memastikan pemeliharaan kawasan yang direstorasi. Selain itu, aksi nyata restorasi yang berbasis kepada masyarakat ini telah menanam 5.000 pohon di lahan kritis. Novitasari berharap agar gerakan restorasi akan menciptakan lapangan kerja baru di desanya karena lokasi restorasi nantinya bisa disulap menjadi ekowisata. Selain itu, masyarakat Sabuai juga bisa berkarya di desanya sendiri sekaligus menjaga dan memulihkan lingkungan. Baca kisah Novitasari selengkapnya di __[sini](https://kaleka.id/our-stories/novitasari-teamwork-makes-the-dream-work)__.

\

5. **Ibu Margini**

    ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/blogentity/804ea38b-c9a2-48c3-8cd9-70968981e00b.png)

   Ibu Margini selalu membuat kami tersenyum lebar melihat bagaimana beliau berkembang setelah mendapatkan sertifikasi RSPO. Ia merupakan anggota KUD Tani Subur, kelompok tani pertama yang didukung Kaleka untuk mendapatkan sertifikasi RSPO. Sebagai petani bersertifikat, ia dapat mengakses pasar yang lebih baik dan menikmati pendapatan yang lebih tinggi karena ia tidak lagi menjual hasil panennya kepada pedagang perantara. Selain itu, Ibu Margini juga mengelola usaha toko kelontong kecil-kecilan untuk mendapatkan penghasilan tambahan bagi keluarganya. Ibu Margini bermimpi bahwa perkebunan kelapa sawitnya dapat menghasilkan pendapatan yang stabil seiring bertambahnya usia suaminya dan tidak bisa lagi bekerja sebagai buruh lepas di perusahaan ekskavator. Keinginan sederhananya adalah memastikan kedua anaknya melanjutkan pendidikan dan mendapatkan gelar sarjana. Baca kisah Ibu Margini selengkapnya di __[sini](https://kaleka.id/our-stories/margini-female-farmer-alive-and-kicking-at-oi)__.

\


Five Farmers Who Inspire Kaleka Every Day

Lima Petani yang Menginspirasi Kaleka Setiap Hari

**Description:**

Bahaur is a village located about 15 km away from Hanau Subdistrict and 365 km away from the center of Seruyan Regency, Central Kalimantan. The total population of Bahaur in 2023 is 1,345 with sex ratio male is 52% and female is 48%.

\
The various ethnic groups that inhabit the village of Bahaur are 3 ethnic groups, namely Dayak, Banjar, and Jawa ethnic groups. Bahaur Village is accessible by road with the condition that roads between villages are paved with gravel or rocks. As many as 375 heads of households use electricity from the state electricity company (PLN) for daily use, while 152 heads of families use electricity from non-state electricity. In terms of educational background, Bahaur has 4 formal educational institutions from elementary to junior high school levels.

\
The livelihoods of the community in Bahaur are mostly dependent on agriculture, as much as 50-80% of them are oil palm (dominant), rubber, and aren palm farmers. Other agricultural commodities developed by the community are food crops such as corn, peanut, luffa (gambas), cucumber, and other horticultural crops. The fishery potential in the village is tilapia *(Oreochromis niloticus)*, hoven's carp *(Leptobarbus hoevenii)*, and catfish fishes *(Clarias batrachus).*

\
\
**The Spatial Plan:**

The spatial plan ini Bahaur Village is categorized into two sections: the protected area and the cultivation area. Within the protected area, the most extensive segment consists of forest and peat protection zones, comprising 28% or roughly 3,864 hectares. On the other hand, the cultivation area is primarily characterized by the cultivation of oil palms, encompassing 46% (6,243 hectares) of the entire area, establishing it as the largest zone within Bahaur Village. More detail on the spatial arrangement plan is elucidated in the table provided below.

|    | **Spatial Pattern** | **Area (ha)** |
|----|----|----|
| **Protection Area** (4,388.08 ha) | Heath (*kerangas*) Ecosystem | 132.61 |
|    | Sacred Forest | 26.88 |
|    | Forest and Peat Protection | 3,864.33 |
|    | River Border | 184.11 |
|    | River | 180.15 |
| **Cultivation Area** (9,041.59 ha) | Community Forest Plantation | 101.54 |
|    | Mixed Farming | 913.63 |
|    | Freshwater Pond | 0.3 |
|    | Field | 0.78 |
|    | Oil Palm Plantation | 6,243.68 |
|    | Community Independent Plantation | 1,727.30 |
|    | Village Settlement | 54.35 |
| **Total Area (ha)** |    | 13,429.66 |

\
\
**The** **Village Spatial Plan**

 ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/villageentity/3bc6a8fd-7cf1-461b-ad1c-b2bc650fe07b.png)

\
\
**Village Category:**

* Certification Village
* Conservation Village

\
\
**Intervention:**


1. Gawi Bapakat
2. Support oil palm farmers to achieve RSPO certification in oil palm producing villages
3. Regenerative agriculture in smallholder oil palm farms: Demonstration plots of organic
4. Trialing new oil palm agroforestry for smallholders

\

---

\

1. **Gawi Bapakat: Certification Village & Conservation Village**

* According to the land cover analysis conducted in 2022, Bahaur had 32.6% (4,388.08 hectares) of its total land area designated as a protected area. Specifically, the land included 88.06% (3,864.33 hectares) allocated for forest and peat protection.
* In Bahaur, 67.3% (9,041.59 hectares) of the cultivated land is allocated to oil palm plantation, with an additional 19.10% dedicated to community independent plantations, which are distributed within the oil palm cultivation area.
* Bahaur village's unwavering commitment to transitioning into a certification village, prompted by the extensive prevalence of oil palm in their land cover, signifies a profound dedication to the principles of responsible and sustainable agricultural practices. This endeavor seeks to harmonize economic development with ecological and social responsibility, contributing to a more sustainable and equitable future.
* Following a land use evaluation, Bahaur Village is firmly committed to preserving the forests within its jurisdiction. Given that most of this region is situated within the state forest, through social forestry encompassing 216.35 hectares, as well as a community forest that extends across 439.25 hectares. Both of these initiatives have already been officially registered, and they are currently in the process of administrative registration submission. The Ministry of Environment and Forestry is actively engaged in community outreach and on-site surveys. At present, beyond the forested region, a 756.32 hectare area is under the APL (Alternative Land Use) protection scheme. Their operations are currently at the administrative registration, public awareness, and on-site survey phase. The issuance of the SK (Official Decision Letter) is the responsibility of the village head.
* As part of Gawi Bapakat program, Bahaur has committed to pursue sustainability. They have put in place several efforts to manage the land sustainably, protect human rights and also monitor deforestation and fire.

| **Sustainability requirement** | **Status** |
|----|----|
| Identification of land use | **√** |
| Unit of conflict data collection | **√** |
| Forest Cover Protection Village Regulations | **√** |
| Fire and Deforestation Monitoring Systems | **√** |
| Village Paralegal Unit | **√** |

\
\
**__Intervention Details__**

**Conservation Village:**

* Total area under social forestry : 216.35 hectares
* Total area under community forestry : 439.25 hectares
* Total area supported as an incentive : 1 hectares
* Type of supports : Patrolling forest cover areas, preventing deforestation and forest fires, and promoting incentive programs: alternative livelihoods in agriculture, fisheries, and livestock.
* Technology introduced : The use of Android-based map applications (Avenza Maps and Gaia GPS) for marking security patrol points in the area.

\
\
**__Impact :__**

Through the Gawi Bapakat program, local communities will be given a range of incentives and opportunities for alternative livelihoods that are aimed at promoting long-term sustainability.

 \n 

__Next steps__:

* Establishing the criteria and conditions for the allocation of incentives.
* The safeguarding and conservation efforts aimed at preserving the integrity and sustainability of social forestry and APL (Other Land Use) proposed areas.

\
\
**__Quote:__**

*"It is essential to maintain the forest's protection due to the presence of palm oil companies surrounding our village. Moreover, the presence of peatlands in certain parts of the forest makes it financially burdensome to set up oil palm plantations, primarily due to the increased capital investment needed."* - Mr. Abdul Rajab, Bahaur Village Head.

\

---

\

2. **Support oil palm farmers to achieve RSPO certification in oil palm producing villages**

   The independent, oil palm smallholders in Bahaur village have been supported to be certified according to the Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) and Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) standards.

   \
   The certification process commenced on 14 March 2023 and involved mapping of smallholders, training and supporting farmers to obtain all the necessary legal documents. Farmers were also trained on free and fair work, occupational health and safety, and identification of high conservation value areas.

   \
   Farmers in the village belong to a district, oil palm farmer association called the Asosiasi Kelapa Sawit Bahalap Seruyan (APKSBS), which was established to provide services for all farmers in Seruyan district who wish to be certified. The district farmer association aims to reduce the costs of certification by bringing it to scale.

   \
   \
   **Impacts:**

   Oil palm farmers have learned good agricultural practices and obtained legal documentation.

   \
   \
   **__Intervention Details:__**
   * Number of farmers supported : 48 farmers from Gapoktan Gawi Bahaum
   * Total area : 45 hectares from Gapoktan Gawi Bahaum
   * Number of land parcels : 53 land parcels
   * Total production (per year): 18 tons per hectare (estimated value, data is still being checked and the audit process is still ongoing).

     \


---

\

3. **Regenerative agriculture in smallholder oil palm farms: Demonstration plots of organic**

   To restore and enhance the health of soil, ecosystems, and communities involved in agricultural systems, regenerative agriculture is currently being implemented in Bahaur in the context of small-scale oil palm plantations. This is expected to be essential in mitigating some of the environmental and social problems associated with conventional oil palm cultivation.

   \
   Organic farming demonstration plots can be used as practical and real examples of successful implementation of organic farming practices. These plots are areas within agricultural land where farmers, researchers, and the public can observe and learn about the benefits and techniques of organic farming.

   \
   \
   **__Intervention Details__**
   * Number of farmers supported : 48 farmers
   * Total land area intervened       : 45.84 ha
   * Technology introduced            : The production of organic fertilizers and pesticides.

   \
   \
   **__Impact:__**

   Farmers receive comprehensive training in organic agriculture, covering sustainable soil management, natural pest control, chemical-free practices, and biodiversity promotion. This equips them with environmentally friendly and sustainable palm oil farming skills.

   \
   \
   **__Next steps:__**

   Farmers have received support with tools, materials and training to be able to produce organic fertilizer independently so they can practice regenerative agriculture sustainably. Apart from that, farmers will also be introduced to intercropping practices into their farming systems. Intercropping involves planting short-lived plants or different trees together on the same land, and in this case is aimed at establishing a polyculture system.

   \
   \
   **__Quotes:__**

   *“Kaleka's assistance in organic practices increases our awareness as farmers to contribute to maintaining soil fertility by reducing excessive chemicals in agricultural management."* – Mr. Bujiansyah

   \
    ![Mr. Bujiansyah](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/villageentity/aadd5d81-bec8-4c12-809f-baf3c189ffce.png)

   \
   **__Photos:__**

    ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/villageentity/9f639c3b-479f-44cc-b5f1-946886f505ec.png)

    ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/villageentity/3f06f2da-3a41-47e1-827d-4a3445103330.png)

   \


---

\

4. **Trialing new oil palm agroforestry for smallholders**

   The majority of food production is carried out by transmigrants in the agricultural sector, while most local residents have ceased farming practices. Their lands have remained inactive for more than five years. To reactivate these lands, a pilot project for a new oil palm agroforestry system is being initiated in Bahaur Village for smallholders. The goal is to introduce a more diverse and heterogeneous planting practice and reduce the prevalence of monoculture oil palm cultivation.

   \
   The primary objective of this initiative is expected to lead to environmental and social challenges. By doing so, the project aims to revitalize local agriculture, enhance biodiversity, and improve the resilience and livelihoods of small-scale farmers.

    \n 

   **__Intervention Details__**
   * Number of farmers supported : 1 farmer is affiliated with the certification group (Gapoktan Gawi Bahaum)
   * Total land area intervened      : 1 ha
   * Technology introduced           : Land clearing without burning practice; semi-organic farming practices for individual plots; and intercropping of fruit trees and oil palm.

    \n 

   **__Impact__:**
   * Farmers are provided with support and assistance to improve their farming and cultivation techniques. This guidance encompasses a range of activities and knowledge-sharing aimed at helping farmers achieve better yields, improved crop quality, and sustainable agricultural practices.
   * Farmers are willing to participate in agricultural practices, signifying their eagerness and preparedness to engage actively in various aspects of agriculture.
   * Farmers are willing to participate in a trial initiative of planting oil palm trees in combination with other fruit crops.
   * Farmers have the opportunity and capacity to expand and diversify their income sources beyond palm oil cultivation with fruit crops.

   \
   \
   **__Next steps__ :**

   
   1. Seeds procurement and planting activity.
   2. The implementation of food security in agriculture involves a comprehensive approach to ensuring a stable and adequate supply of food for the community.
   3. Planning for the cultivation of mangoes, rambutan, crystal guava, and durian.

\
**__Photos:__**

 ![Organic Fertilizers Distribution](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/villageentity/6bad0259-5534-4a80-b702-7d4438905deb.png)

**Dekripsi:**

Desa Bahaur berjarak sekitar 15 km dari Kecamatan Hanau dan 365 km dari pusat Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah dan dapat diakses melalui jalur darat. Jumlah penduduk Bahaur pada tahun 2023 yakni sebanyak 1.345 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki 52% dan perempuan 48%.

\
Terdapat 3 suku yang mendiami Desa Bahaur, yaitu suku Dayak, Banjar, dan Jawa. Untuk keperluan sehari-hari, sebanyak 375 kepala keluarga menggunakan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk beraktivitas, sedangkan 152 kepala keluarga menggunakan listrik dari listrik non-negara berupa generator. Dalam hal fasilitas pendidikan, Desa Bahaur memiliki 4 lembaga pendidikan formal, yaitu 4 SD dan 1 SMP.

\
Mata pencaharian masyarakat di Bahaur sebagian besar bergantung pada sektor pertanian, dimana sebanyak 50-80% diantaranya adalah petani kelapa sawit (dominan), karet, dan aren. Komoditas pertanian lain yang dikembangkan masyarakat adalah tanaman pangan seperti jagung, kacang tanah, luffa (gambas), mentimun, dan tanaman hortikultura lainnya. Sedangkan potensi perikanan yang ada di desa ini adalah ikan nila, ikan gurame, dan ikan lele.

\
 \n **Rencana Tata Ruang:**

Rencana tata ruang Desa Bahaur dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya. Di dalam kawasan lindung, segmen terluasnya terdiri dari kawasan perlindungan hutan dan gambut, yaitu sebesar 28% atau sekitar 3.864 hektar. Selain itu, pada kawasan budidaya didominasi oleh lahan budidaya kelapa sawit, yang mencakup 46% (6.243 hektar) dari keseluruhan wilayah, menjadikannya sebagai zona terluas di Desa Bahaur. Rincian lebih lanjut mengenai rencana tata ruang dijelaskan pada tabel di bawah ini.

\
\

|    | **Pola Tata Ruang** | **Area (ha)** |
|----|----|----|
| **Kawasan Lindung** (4.388 ha) | Ekosistem Kerangas | 132 |
|    | Hutan Adat | 26 |
|    | Perlindungan Hutan dan Gambut | 3.864 |
|    | Batas Sungai | 184 |
|    | Sungai | 180 |
| **Kawasan** **Budidaya** (9.041 ha) | Hutan Perkebunan Rakyat | 101 |
|    | Perkebunan Campuran | 9133 |
|    | Kolam Air Tawar | 0,3 |
|    | Ladang | 0,78 |
|    | Perkebunan Kelapa Sawit | 6.243 |
|    | Perkebunan Rakyat Independen | 1.727 |
|    | Pemukiman Warga | 545 |
|    | Total Area (ha) | 13.429 |

\
\
**Peta Rencana Tata Ruang Desa Bahaur**

 ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/villageentity/85b964cc-6408-45c0-a5c2-5a6912ce71b2.png)

\
\
**Village Category:**

* Desa Sertifikasi
* Desa Konservasi

\
**Intervensi:**


1. Gawi Bapakat
2. Mendukung petani kelapa sawit untuk memperoleh sertifikasi RSPO pada desa-desa penghasil kelapa sawit
3. Pertanian regeneratif bagi petani skala kecil perkebunan kelapa sawit: Demonstrasi plot organik
4. Uji coba praktik agroforestri kelapa sawit baru bagi petani skala kecil

\

---

\

1. **Gawi Bapakat: Desa Sertifikasi & Desa Konservasi**

* Berdasarkan analisis tutupan lahan yang dilakukan pada tahun 2022, Bahaur memiliki 32,6% (4.388 hektar) dari total luas lahan yang ditetapkan sebagai kawasan lindung. Secara spesifik, lahan tersebut mencakup 88% (3.864 hektar) yang dialokasikan untuk perlindungan hutan dan gambut.
* Distribusi lahan pertanian yang telah ditetapkan untuk perkebunan kelapa sawit di Bahaur yaitu seluas 67% (9.041 hektar), dengan 19% lahan di dalamnya ditujukan untuk perkebunan rakyat independen.
* Komitmen Desa Bahaur untuk bertransisi menjadi desa sertifikasi, didorong oleh luasnya budidaya kelapa sawit di tutupan lahan mereka, menandakan dedikasi yang mendalam terhadap prinsip-prinsip praktik pertanian yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Upaya ini berupaya untuk menyelaraskan pembangunan ekonomi dengan tanggung jawab ekologi dan sosial, sehingga dapat berkontribusi pada masa depan yang adil dan berkelanjutan.
* Setelah dilakukan pemetaan  tata guna lahan, Desa Bahaur berkomitmen untuk melestarikan tutupan hutan dan lahan gambut di wilayah yurisdiksinya, dimana sebagian besar wilayahnya berada di dalam kawasan hutan negara. Melalui komitmen ini, desa telah menginisiasi pembentukan perhutanan sosial yaitu hutan desa seluas 216 hektar dan hutan kemasyarakatan seluas 439 hektar. Kedua inisiatif ini saat sedang dalam proses pengajuan registrasi administratif ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga turut aktif terlibat dalam upaya penjangkauan masyarakat dan melakukan survei lapangan. Selain itu, Desa Bahaur juga berkomitmen melindungi  tutupan hutan dan lahan gambut di APL seluas 756 hektar yang akan masuk  kedalam skema perlindungan APL (Area Penggunaan Lain). Proses untuk mengintegrasikan hutan tersebut dalam skema perlindungan sedang berlangsung, mencakup tahap registrasi administratif, peningkatan kesadaran masyarakat, dan survei lapangan. Adapun penerbitan Surat Keputusan (SK) perlindungan hutan di APL merupakan tanggung jawab kepala desa.
* Sebagai bagian dari program Gawi Bapakat, Bahaur berkomitmen untuk mengupayakan keberlanjutan. Mereka telah melakukan beberapa upaya untuk mengelola lahan secara berkelanjutan, melindungi hak asasi manusia dan juga memantau deforestasi dan kebakaran.

\

| **Syarat Keberlanjutan** | **Status** |
|----|----|
| Identifikasi penggunaan lahan | √ |
| Unit Pendataan Konflik | √ |
| Regulasi Desa terkait Perlindungan Tutupan Hutan | √ |
| Sistem Pengawasan Kebakaran dan Deforestasi | √ |
| Unit Paralegal Desa | √ |

\
\
**__Detail Intervensi:__**

**Desa Konservasi:**

* Total area hutan desa : 216 hektar
* Total area hutan kemasyarakatan : 439 hektar
* Total area hutan perlindungan APL: 756 hektar
* Total area yang disokong sebagai insentif : 1 hektar
* Tipe-tipe bantuan: Melakukan kegiatan pengawasan tutupan hutan, mencegah deforestasi dan kebakaran hutan, dan mempromosikan insentif desa: mata pencaharian alternatif dalam pertanian, perikanan, dan peternakan.
* Teknologi yang diperkenalkan : Penggunaan aplikasi peta berbasis Android (Avenza Maps dan Gaia GPS) untuk menandai titik-titik patroli keamanan di area.

\
\
**__Dampak:__**

Melalui program Gawi Bapakat, masyarakat lokal akan diberikan berbagai insentif dan alternatif peluang mata pencaharian yang bertujuan untuk mendorong keberlanjutan jangka panjang.

\
\
__Langkah selanjutnya__:

* Menetapkan kriteria dan ketentuan alokasi insentif.
* Upaya pengamanan dan konservasi yang bertujuan menjaga keutuhan dan kelestarian kawasan perhutanan sosial dan kawasan usulan APL (Area Penggunaan Lain).

\
\
**__Kutipan:__**

*“Sangat penting untuk menjaga kelestarian hutan karena keberadaan perusahaan kelapa sawit di sekitar desa kami. Terlebih lagi, keberadaan lahan gambut di beberapa bagian hutan membuat pembangunan perkebunan kelapa sawit menjadi sulit secara finansial, terutama karena peningkatan modal. Maka dari itu, diperlukan investasi."* - Bapak Abdul Rajab, Kepala Desa Bahaur.

\

---

\

2. **Mendukung petani kelapa sawit untuk memperoleh sertifikasi RSPO pada desa-desa penghasil kelapa sawit**

   Petani kelapa sawit skala kecil di Desa Bahaur telah mendapat bantuan untuk memperoleh sertifikat yang sejalan dengan standar *Roundtable on Sustainable Palm Oil* (RSPO) dan *Indonesian Sustainable Palm Oil* (ISPO).

   \
   Proses sertifikasi dilaksanakan pada 14 Maret 2023 dan melibatkan pemetaan petani skala kecil, pelatihan, dan bantuan bagi petani untuk memperoleh dokumen-dokumen resmi yang diperlukan. Petani juga mendapat pelatihan terkait pemberian kerja yang bebas dan adil, penjaminan kesehatan dan keselamatan kerja, serta identifikasi area dengan nilai konservasi tinggi.

   \
   Para petani di desa tersebut tergabung dalam asosiasi petani kelapa sawit tingkat kabupaten, yaitu Asosiasi Kelapa Sawit Bahalap Seruyan (APKSBS), yang didirikan untuk memberikan layanan bagi seluruh petani di Kabupaten Seruyan yang ingin mendapatkan sertifikasi. Asosiasi petani kabupaten bertujuan untuk mengurangi biaya sertifikasi dengan memperluas skalanya.

   \
   \
   **Dampak:**

   Petani kelapa sawit telah mempelajari praktik pertanian yang tepat serta memperoleh dokumen resmi.

   \
   \
   **__Detail Intervensi:__**
   * Jumlah petani yang memperoleh bantuan: 48 petani dari Gapoktan Gawi Bapakat
   * Total area: 45 hektar dari Gapoktan Gawi Bapakat
   * Jumlah bidang tanah: 53 bidang tanah
   * Total produksi (per tahun): 18 ton per hektar (estimasi nilai, data masih dalam proses pengecekan dan proses audit sedang berjalan)

\

---

\
\

3. **Pertanian regeneratif bagi petani skala kecil perkebunan kelapa sawit: Demonstrasi plot organik**

   Untuk mengembalikan dan meningkatkan kesuburan tanah, jasa ekosistem, dan kesejahteraan masyarakat yang terlibat dalam sistem pertanian, pertanian regeneratif tengah diterapkan di Desa Bahaur dalam konteks perkebunan kelapa sawit berskala kecil. Hal ini diharapkan menjadi penting dalam upaya mitigasi beberapa masalah lingkungan dan sosial yang diasosiasikan dengan budidaya kelapa sawit konvensional.

   \
   Demonstrasi plot pertanian organik dapat dimanfaatkan sebagai contoh praktis dan nyata dari penerapan praktik pertanian organik. Plot-plot tersebut berada di lahan pertanian dimana petani, peneliti, dan masyarakat dapat mengamati dan mempelajari tentang keuntungan dan teknik pertanian organik. \n 

   \
   **__Detail Intervensi:__**
   * Jumlah petani yang memperoleh bantuan: 48 petani
   * Total area lahan yang mendapat intervensi: 45.84 ha
   * Teknologi yang diperkenalkan         : Produksi pupuk organik dan pestisida.

   \
   \
   **__Dampak:__**

   Petani memperoleh pelatihan yang komprehensif terkait pertanian organik, yang meliputi manajemen tanah berkelanjutan, pengendalian hama secara alami, praktik bebas kimia, dan perlindungan keanekaragaman hayati. Hal ini akan membekali petani-petani dengan kemampuan bertani kelapa sawit yang bersahabat dengan lingkungan dan berkelanjutan.

   \
   \
   **__Langkah Selanjutnya:__**

   Petani telah memperoleh bantuan peralatan, bahan, dan pelatihan agar dapat memproduksi pupuk organik secara mandiri sehingga petani dapat melaksanakan pertanian regeneratif berkelanjutan. Terlepas dari itu, petani juga akan mampu mengenalkan praktik tumpangsari ke dalam sistem bertani mereka. Tumpangsari melibatkan penanaman tanaman berumur pendek atau pohon yang berbeda di tanah yang sama, dan dalam hal ini bertujuan untuk membangun sistem polikultur.

   \
   \
   **__Kutipan:__**

   *“Asistensi Kaleka dalam praktik organik meningkatkan kesadaran kami sebagai petani untuk berkontribusi dalam menjaga kesuburan tanah dengan cara mengurangi penggunaan bahan kimia berlebih pada manajemen pertanian.”* – Pak Bujiansyah

    \n  ![Pak Bujiansyah](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/villageentity/61efda7e-0d5a-4296-85df-db69edffc61a.png)

   **__Foto:__**

    ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/villageentity/77a9d150-ed8a-4fd2-9063-64f7262119cc.png)

    ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/villageentity/5887fcd3-7513-4787-9e0f-c71fdd12d714.png)

\

---

\

4. **Uji coba praktik agroforestri kelapa sawit baru bagi petani skala kecil**

   Sebagian besar produksi pangan dilaksanakan oleh para transmigran di sektor pertanian, sedangkan kebanyakan penduduk lokal telah meninggalkan praktik bertani. Lahan mereka menjadi tidak aktif lebih dari lima tahun. Untuk mengaktifkan kembali lahan-lahan tersebut, inisiatif pilot telah dimulai untuk sistem agroforestri kelapa sawit baru dan praktik penanaman heterogen dan pengurangan prevalensi budidaya kelapa sawit monokultur. \n 

   Tujuan utama dari inisiatif ini diharapkan dapat menjawab tantangan lingkungan dan sosial. Dengan begitu, inisiatif ini ingin merevitalisasi pertanian lokal, meningkatkan keanekaragaman hayati, dan memperbaiki ketahanan dan penghidupan petani skala kecil.

   \
   \
   **__Detail Intervensi:__**
   * Jumlah petani yang memperoleh bantuan: 1 petani yang berafiliasi dengan kelompok sertifikasi (Gapoktan Gawi Bapakat)
   * Total area lahan yang diintervensi     : 1 ha
   * Teknologi yang diperkenalkan        : Pembukaan lahan tanpa praktik pembakaran; praktik pertanian semi-organik untuk plot individu; dan tumpangsari pohon berbuah dan kelapa sawit.

   \
   \
   **__Dampak__:**
   * Petani diberikan bantuan dan asistensi untuk meningkatkan teknik bertani dan memanen mereka.  Panduan ini mencakup berbagai kegiatan dan berbagi pengetahuan yang bertujuan membantu petani mencapai hasil panen yang lebih baik, peningkatan kualitas tanaman, dan praktik pertanian berkelanjutan.
   * Petani bersedia untuk berpartisipasi dalam praktik pertanian, menunjukkan ketertarikan dan kesiapan mereka untuk terlibat aktif dalam berbagai aspek pertanian.
   * Petani bersedia untuk berpartisipasi dalam percobaan inisiatif penanaman pohon kelapa sawit yang dikombinasikan dengan tanaman buah lainnya.
   * Petani telah berkesempatan dan memiliki kapasitas untuk memperluas dan mendiversifikasi sumber pemasukan mereka melampaui budidaya kelapa sawit dengan tanaman buah-buahan.

   \
   \
   **__Langkah Selanjutnya__:**

   
   1. Kegiatan pengadaan dan penanaman benih.
   2. Penerapan keamanan pangan dalam pertanian meliputi pendekatan komprehensif untuk memastikan pasokan pangan yang stabil dan terpenuhi untuk masyarakat,
   3. Perencanaan budidaya mangga, rambutan, jambu kristal, dan durian.

\
\
**__Foto:__**

 ![Distribusi Pupuk Organik](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/villageentity/e5804cd6-9436-42be-b35d-17066efa4134.png)

Bahaur

**Description:**

Bangkal is a village located about 16 km away from Seruyan Raya Subdistrict and 255 km away from the center of Seruyan Regency, Central Kalimantan. The total population of Bangkal in 2022 is around 4,765 with sex ratio male is 52.7% and female is 47.3%.

\
The various ethnic groups that inhabit the village of Bangkal are 65% of Dayak ethnic (Tomuan, Katingan, and Kuhin), 5% of Banjar ethnic, and 30% from the other ethnic groups. Bangkal Village is accessible by road and has basic infrastructure, including village road, trail, boat mooring, rural irrigation, school, post office, market with permanent building, and tourist destination (Rumah Bentang Cagar Budaya and Rungau River). In terms of educational background, Bangkal has the most educational institutions in Seruyan Raya Subdistrict with a total of 9 schools (5 elementary schools, 2 junior high schools, 1 senior high school, and 1 vocational high school).

\
Local communities in Bangkal mainly depend on agriculture. Most of the land in Bangkal Village is managed by the community for oil palm plantations and the remaining is developed for the agricultural sector on food crops and horticultural crops. The fishery potentials in the village are biawan fish *(Helostoma temminckii),* snakehead fish *(Channa micropeltes)*, and catfish *(Clariidae sp.).*

\
\
**The Spatial Plan:**

The Bangkal village area is predominantly characterized by oil palm plantations, encompassing 67% (10,368 ha) of the total area, followed by a community mixed farming area comprising 20% (10,368 ha). This mapping highlights oil palm as the principal commodity in the village, as illustrated in the table below.

|    | **Spatial Pattern** | **Area (ha)** |
|----|----|----|
| **Protection Area** (1,581.81 ha) | Lake | 395.61 |
|    | Forest Protection | 754.02 |
|    | Lake Border | 295.06 |
|    | River Border | 90.71 |
|    | River | 46.41 |
| **Cultivation Area** (13,946.12 ha) | Industrial Building | 65.3 |
|    | Community Mixed Farming | 3,219.91 |
|    | Waste Treatment Pond | 5.57 |
|    | Oil Palm Plantation | 10,368.38 |
|    | Village Settlement | 251.65 |
|    | Dryland Farming | 14.59 |
|    | Reservoir | 20.72 |
| **Total Area (ha)** |    | **15,527.93** |

\
\
 **The Village Spatial Plan**

 ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/villageentity/f17cd13c-28bb-4113-b26d-4d11050dfc8d.jpg)

\
\
**Village Category:**

Certification Village, the village which is committed to sustainably cultivating commodities in accordance with the standards in RSPO and ISPO.

\
**Intervention:**


1. Gawi Bapakat: Certification Village
2. Support oil palm farmers to achieve RSPO certification in oil palm producing villages
3. Regenerative agriculture in smallholder oil palm farms: Demonstration plots of organic
4. Trialing new oil palm agroforestry for smallholders
5. Regenerative farming for food security using mixed systems to cultivate food crops
6. FLC (Farmer Learning Centre)

\

---

\

1. **Gawi Bapakat: Certification Village**
   * The landscape of Bangkal Village is characterized by the prevalent presence of extensive oil palm plantations, encompassing a substantial portion of the village's total land area. These oil palm plantations extend over an expansive 66.8% (10,369.99 ha). This dominance of oil palm cultivation in Bangkal is a defining feature of the village's agricultural landscape and plays a pivotal role in its economic and environmental dynamics.
   * Bangkal has 4.86% (1,581.81 ha) of protected areas covered from its total land area, which is dominated by forest cover of 754.16 ha.
   * Following out the identification of land use, Bangkal Village is steadfastly dedicated to attaining the prestigious status of a "Certification Village." This commitment focuses on ensuring that every oil palm company and smallholders obtains either an Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) or Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) certification. This priority speaks volumes about the village's dedication to sustainability and responsible land management. It is a deliberate step toward fostering an agricultural landscape where every palm oil producer operates in harmony with the environment, adheres to ethical labor practices, and contributes positively to the social fabric of the community.
   * As part of Gawi Bapakat program, Bangkal has committed to pursue sustainability. They have put in place several efforts to manage the land sustainably, protect human rights and also monitor deforestation and fire.

\

| **Sustainability requirement** | **Status** |
|----|----|
| Identification of land use | √ |
| Unit of conflict data collection | √ |
| Forest Cover Protection Village Regulations | √ |
| Fire and Deforestation Monitoring Systems | √ |
| Village Paralegal Unit | √ |

\
\
**__Intervention Details__**

* Total area supported      : 49 hectares
* Type of support              : Certification and regenerative agriculture,
* Technology introduced   : Agroforestry, regenerative agriculture, demonstration plot of organic

   \n 

**__Impact:__**


1. Farmers are registered as RSPO or ISPO certificate holders
2. Community understand and able to implement the organic farming method

\
\
**__Quote:__**

*“The programs held are good and really help farmers, especially those of us who are rural communities who have minimal knowledge about sustainable palm oil farming. People say fertilizers a, b, c are good, we follow them but don't know what they contain. While using organic since 2017, the plantation results are very good and this really supports the organic palm oil program. The ingredients are easy to obtain and the price is not burdensome for farmers.”* – Mr. Sigilen

\

---

\

2. **Support oil palm farmers to achieve RSPO and ISPO certification in oil palm producing villages**

The independent, oil palm smallholders in Bangkal village have been supported to be certified according to the Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) and Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) standards.

\
The certification process commenced in April 2023 and involved mapping of smallholders, training and supporting farmers to obtain all the necessary legal documents. Farmers were also trained on free and fair work, occupational health and safety, and identification of high conservation value areas.

\
Farmers in the village belong to a district, oil palm farmer association called, which was established to provide services for all farmers in Seruyan district who wish to be certified. The district farmer association aims to reduce the costs of certification by bringing it to scale.

 \n 

**__Intervention Details:__**

* Number of farmers supported : 27 farmers
* Total area                                : 49 hectares
* Number of land parcels           : 40 land parcels
* Total production (per year)      : 18 ton per hectare (estimated value, data is still being checked and the audit process is still ongoing)

 \n 

**__Impacts:__**

Oil palm farmers have learned good agricultural practices and obtained legal documentation.

\

---

\

3. **Regenerative agriculture in smallholder oil palm farms: Demonstration plots of organic**

To restore and enhance the health of soil, ecosystems, and communities involved in agricultural systems, regenerative agriculture is currently being implemented in Bangkal in the context of small-scale oil palm plantations. This is expected to be essential in mitigating some of the environmental and social problems associated with conventional oil palm cultivation. \n 

Organic farming demonstration plots can be used as practical and real examples of successful implementation of organic farming practices. These plots are areas within agricultural land where farmers, researchers, and the public can observe and learn about the benefits and techniques of organic farming.

 \n 

**__Intervention Details:__**

* Number of farmers supported : 26 farmers
* Total land area intervened       : 37.81 ha
* Technology introduced            : The production of organic fertilizers and pesticides.

  \
  \

**__Impact:__**

Farmers received comprehensive training in organic agriculture, covering sustainable soil management, natural pest control, chemical-free practices, and biodiversity promotion.  This equips them with environmentally friendly and sustainable palm oil farming skills.

 \n 

**__Next steps:__**

Farmers have received support with tools, materials and training to be able to produce organic fertilizer independently so they can practice regenerative agriculture sustainably. Apart from that, farmers will also be introduced to intercropping practices into their farming systems. Intercropping involves planting short-lived plants or different trees together on the same land, and in this case is aimed at establishing a polyculture system.

 \n 

**__Quotes:__**

* *“This organic palm oil activity is very good for farmers because the costs involved are not too expensive for chemicals, it is widely available around farmers and is environmentally friendly and does not damage the environment in the long term. During the 2 years of using organic fertilizer (chicken manure) there was a very good impact on the soil where the soil became loose because lots of worms appeared. In terms of plantation productivity, production is increasing, the program held by Kaleka is very helpful both technically and in terms of the knowledge provided through training.”* – Mr. Majianto

\
* *“The programs held are good and really help farmers, especially those of us who are rural people who have minimal knowledge. What people say is fertilizer a, b, c, it's good, we follow it but we don't know what it contains. While using organic since 2017, the plantation results have been very good and this is very supportive of the organic palm oil program. The ingredients are easy to find and the prices do not burden farmers.”* – Mr. Sigilen

 \n 

**__Photos:__**

 ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/villageentity/22153520-011a-4646-bcc4-9e24b8426844.png)

 ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/villageentity/6dde202a-8523-4faa-9027-6b7d094a8b26.png)


---

\

4. **Trialing new oil palm agroforestry for smallholders**

The majority of food production is carried out by transmigrants in the agricultural sector, while most local residents have ceased farming practices. Their lands have remained inactive for more than five years. To reactivate these lands, a pilot project for a new oil palm agroforestry system is being initiated in Bangkal Village for smallholders. The goal is to introduce a more diverse and heterogeneous planting practice and reduce the prevalence of monoculture oil palm cultivation.

\
The primary objective of this initiative is expected to lead to environmental and social challenges. By doing so, the project aims to revitalize local agriculture, enhance biodiversity, and improve the resilience and livelihoods of small-scale farmers.

\
\
**__Intervention Details:__**

* Number of farmers supported : 4 farmers
* Total land area intervened       : 1 ha
* Technology introduced            : Land clearing without burning practice; semi-organic farming practices for individual plots; and intercropping of fruit trees and oil palm.

\
\
**__Impact :__**


1. Farmers are provided with support and assistance to improve their farming and cultivation techniques. This guidance encompasses a range of activities and knowledge-sharing aimed at helping farmers achieve better yields, improved crop quality, and sustainable agricultural practices.
2. Farmers are willing to participate in agricultural practices, signifying their eagerness and preparedness to engage actively in various aspects of agriculture.
3. Farmers are willing to participate in a trial initiative of planting oil palm trees in combination with other fruit crops.
4. Farmers have the opportunity and capacity to expand and diversify their income sources beyond palm oil cultivation with fruit crops.

\
\
**__Species__ :**


1. Orange *(Citrus sinensis)*
2. Guava *(Psidium guajava)*
3. Pineapple *(Ananas comosus)*
4. Rambutan *(Nephelium lappaceum)*

\
\
**__Next steps :__**


1. Seeds procurement and planting activity.
2. The implementation of food security in agriculture involves a comprehensive approach to ensuring a stable and adequate supply of food for the community. \n 

\
**__Photo:__**

 ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/villageentity/7c2b3b31-5360-42c3-858c-a2c2a9dcd219.png)


---

\
\

5. **Regenerative farming methods for food security using mixed systems to cultivate food crops**

Regenerative farming methods can play an essential role in ensuring food security by promoting sustainable and resilient agricultural practices. Mixed cropping systems, which involve growing multiple crops together in the same field, are one approach to regenerative farming that can enhance food security. \n 

To implement regenerative farming methods using mixed systems for cultivating food crops in Bangkal Village, it's essential to consider the specific characteristics, resources, and needs of the community.

\
\
**__Intervention Details:__**

* Number of farmers supported : 10 farmers
* Total land area intervened       : 6 ha
* Technology introduced            : Regenerative farming method by using organic materials, such as manure, and planting intercrops

\
\
**__Impact:__**


1. Diversified cropping systems and regenerative practices can lead to higher and more stable food production. Communities are less vulnerable to crop failures due to pests, diseases, or adverse weather conditions.
2. By growing a mix of crops and integrating various farming practices, communities can increase their income potential. Selling surplus crops, vegetables, nuts, or value-added products can provide additional revenue streams.
3. Training community members in regenerative farming methods empowers them with knowledge and skills to make informed decisions about their farming practices. This knowledge can be shared and passed down to future generations.

\
\
**__Next steps:__**

Continuing sustainable regenerative agricultural practices independently by the farmers.

\
**__Photos:__** \n 

 ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/villageentity/08f62b2d-87ff-4d0f-b252-8c3c1215612a.png)


---

\

6. **Construction of the Farmer Learning Center (FLC) to increase farmers' capacity in cultivating crops and livestock.**

   \

A Farmer’s Learning Centre in Bangkal village serves as a facility designed to provide training, education, and resources to farmers. It is established to help farmers improve their agricultural practices, enhance their knowledge and skills in areas such as crop cultivation, livestock management, sustainable farming techniques, and more. Moreover, it is expected to support and empower farmers to increase their agricultural productivity, sustainability, and overall well-being.

\
Bangkal was selected for its strategic location, situated equidistant between Pangkalan Bun and Seruyan. At present, the construction phase of Farmer’s Learning Centre has commenced, encompassing material preparation (15%). The development of this learning center engages local community participation.

\
The learning center is poised to feature permanent structures, classroom facilities for training purposes, an auditorium for meetings, and a 3-hectare demonstration plot. Moreover, the dimensions of the learning center reach 216 m² (single floor). The main building is located on the village-owned land, while the agricultural demonstration plot utilizes privately-owned land belonging to local residents.

\
\
**__Intervention Details:__**

* Type of supports:


1. Permanent building (including classroom facilities for training and learning center hall);
2. Agricultural and forestry demonstration plot covering an area of approximately 3 hectares;
3. Agricultural tools;
4. Training for making organic fertilizer;
5. Cattle pen;
6. Compost house.

\
* Technology will be introduced: introduction of making organic fertilizer and use of agricultural equipment.

\
\
**__Impacts:__**

* It is a good opportunity to introduce Bangkal Village to other villages. This can help promote the culture, agricultural potential, and the way of life of the community in Bangkal.
* The establishment of a learning process of knowledge sharing among farmers. This is expected to facilitate the transfer of valuable information, skills, and experiences related to agricultural practices and techniques among farmers in Bangkal involved in agriculture.
* Introducing local commodities for a positive impact toward the local economy, culture, and environment in Bangkal Village.
* Local community in Bangkal Village take a part in maintaining the FLC (Farmer’s Learning Center) and participating in the production of compost fertilizer.

\
\
**__Photos:__**

 ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/villageentity/01ca8d6c-e4b8-4b3a-ba9b-f420a50a198e.png)

 ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/villageentity/42cfc49c-b0d5-4ce8-bb87-5c381c61f357.png)

**Deskripsi:**

Desa Bangkal berjarak sekitar 16 km dari Kecamatan Seruyan Raya dan 255 km dari pusat Kabupaten Seruyan di Kalimantan Tengah. Pada tahun 2022, jumlah penduduk Bangkal berjumlah sekitar 4.765 orang, dengan rasio jenis kelamin laki-laki dan perempuan sebesar 52,7% dan 47,3%.

\
Berbagai kelompok etnis yang mendiami desa Bangkal terdiri dari 65% etnis Dayak (Tomuan, Katingan, dan Kuhin), 5% etnis Banjar, dan 30% dari kelompok etnis lainnya. Desa Bangkal dapat diakses melalui jalur darat seperti jalanan desa; serta memiliki infrastruktur dasar yang tersedia, seperti dermaga, sistem irigasi pedesaan, sekolah, kantor pos, pasar dengan bangunan permanen. Desa Bangkal juga memiliki objek wisata, diantaranya yaitu Rumah Bentang Cagar Budaya dan Sungai Rungau. Dalam hal fasilitas pendidikan, Bangkal memiliki lembaga pendidikan paling banyak di Kecamatan Seruyan Raya, dengan total sembilan sekolah (5 Sekolah Dasar, 2 Sekolah Menengah Pertama, 1 Sekolah Menengah Atas, dan 1 Sekolah Menengah Kejuruan).

\
Mata pencaharian utama masyarakat lokal di Bangkal sebagian besar bergantung pada pertanian. Hampir seluruh lahan di desa Bangkal dikelola oleh masyarakat untuk perkebunan kelapa sawit, sementara sisanya digunakan untuk tujuan pertanian, dengan fokus pada tanaman pangan dan hortikultura. Desa ini juga memiliki potensi perikanan, termasuk ikan biawan *(Helostoma temminckii)*, ikan gabus *(Channa micropeltes)*, dan ikan lele *(Clariidae sp.)*.

\
\
**Perencanaan Tata Ruang:**

|    | **Pola Tata Ruang** | Luas (ha |
|----|----|----|
| **Kawasan perlindungan** (1.581,81 ha) | Danau | 395,6 |
|    | Perlindungan hutan | 754,1 |
|    | Perbatasan danau | 295,1 |
|    | Perbatasan sungai | 90,7 |
|    | Sungai | 46,4 |
| **Kawasan penanaman** (13.946,12 ha) | Bangunan industrial | 65,3 |
|    | Komunitas pertanian campuran | 3.219,9 |
|    | Kolam pengolahan limbah | 5,6 |
|    | Perkebunan kelapa sawit | 10.368,4 |
|    | Pemukiman desa | 251,7 |
|    | Pertanian lahan kering | 14,6 |
|    | Waduk air | 20,7 |
| **Total Luas (ha)** |    | 15.527,9 |

\
\
**Figur. Peta Tata Ruang**

 ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/villageentity/5e0b9d2c-2644-4dd7-9004-79346c496990.png)

\
\
**__Kategori Desa:__**

* Desa Sertifikasi: desa yang berkomitmen untuk melakukan budidaya komoditas secara berkelanjutan sesuai dengan standar di dalam RSPO dan ISPO.

\
\
**__Intervensi:__**

* Gawi Bapakat: Desa Sertifikasi.
* Mendukung petani kelapa sawit untuk mencapai pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan melalui sertifikasi RSPO atau ISPO.
* Penerapan pertanian regeneratif di perkebunan kelapa sawit rakyat: pendirian demplot untuk praktik pertanian organik.
* Uji coba praktik agroforestri kelapa sawit baru bagi petani kecil.
* Penerapan praktik pertanian regeneratif untuk meningkatkan ketahanan pangan dengan menggunakan sistem tumpangsari dalam budidaya tanaman pangan.
* Pembangunan *Farmer’s Learning Center* (FLC) untuk meningkatkan kapasitas petani dalam budidaya tanaman dan ternak.

  \


---

\

1. **Gawi Bapakat: Desa Sertifikasi**
   * Bentang alam di Desa Bangkal dicirikan dengan perkebunan kelapa sawit yang luas, meliputi sebagian besar total luas lahan desa yaitu sekitar 66,8% (10.369,99 ha). Dominasi budidaya kelapa sawit di Desa Bangkal memiliki peran penting dalam bidang perekonomian dan lingkungan pada area ini.
   * Desa Bangkal memiliki sekitar 4,8% (1.581,81 ha) kawasan lindung, yang sebagian besar ditutupi oleh hutan seluas 754,1 ha.
   * Berdasarkan pola penggunaan lahan yang teridentifikasi, Desa Bangkal berdedikasi untuk mendapatkan status sebagai "Desa Sertifikasi". Komitmen ini berfokus untuk memastikan bahwa setiap perusahaan kelapa sawit dan petani kecil memperoleh sertifikasi *Indonesia Sustainable Palm Oil* *(ISPO)* atau *Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO)*. Selain itu, prioritas ini juga mencerminkan dedikasi desa terhadap keberlanjutan dan pengelolaan lahan yang bertanggung jawab, menandakan adanya inisiatif untuk mengembangkan keberlanjutan bentang alam pertanian. Diharapkan setiap produsen kelapa sawit beroperasi secara harmonis dengan lingkungan, mematuhi praktik ketenagakerjaan yang tertib, dan memberikan kontribusi positif terhadap tatanan sosial dan ekonomi masyarakat lokal.
   * Sebagai bagian dari program Gawi Bapakat, Desa Bangkal berkomitmen untuk mengupayakan keberlanjutan. Mereka telah menerapkan beberapa inisiatif untuk mengelola lahan secara berkelanjutan, melindungi hak asasi manusia, dan memantau kejadian deforestasi dan kebakaran hutan dan lahan.

\

| **Persyaratan keberlanjutan** | **Status** |
|----|----|
| Identifikasi penggunaan lahan | **√** |
| Unit pengumpulan data konflik | **√** |
| Peraturan Desa Perlindungan Tutupan Hutan | **√** |
| Sistem Pemantauan Kebakaran dan Deforestasi | **√** |
| Unit Paralegal Desa | **√** |

\
\
**__Detail Intervensi:__**

* Total area yang didukung        : 49 hektar
* Jenis dukungan                       : Sertifikasi dan pertanian regeneratif
* Teknologi yang diperkenalkan : Agroforestri, pertanian regeneratif, demplot organik

\
\
**__Dampak:__**


1. Petani terdaftar sebagai pemegang sertifikat RSPO atau ISPO.
2. Masyarakat memahami dan mampu menerapkan metode pertanian organik.

\
\
**__Kutipan:__**

*“Program-program yang diadakan bagus dan sangat membantu para petani, terutama kami yang merupakan masyarakat pedesaan yang minim pengetahuan tentang pertanian kelapa sawit berkelanjutan. Kata orang pupuk a, b, dan c bagus; kami mengikutinya tetapi tidak tahu apa isinya. Selama menggunakan pupuk organik sejak tahun 2017, hasil perkebunan sangat bagus, dan ini sangat mendukung program kelapa sawit organik. Bahannya mudah didapat, dan harganya tidak memberatkan petani.”* - Pak Sigilen

\

---

\

2. **Mendukung petani kelapa sawit untuk mencapai pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan melalui sertifikasi RSPO atau ISPO.**

   Petani swadaya sawit di Desa Bangkal telah mendapat dukungan dalam memperoleh sertifikasi sesuai standar *Roundtable on Sustainable Palm Oil* (RSPO) dan *Indonesia Sustainable Palm Oil* (ISPO).

   \
   Proses sertifikasi dimulai pada bulan April 2023 dan melibatkan pemetaan petani skala kecil serta pemberian pelatihan dan dukungan untuk membantu petani memperoleh semua dokumen yang diperlukan. Para petani juga diberikan pelatihan dalam bidang-bidang seperti praktik pekerja buruh yang bebas dan adil, kesehatan dan keselamatan kerja, dan identifikasi kawasan bernilai konservasi tinggi. \n 

   Para petani di desa tersebut tergabung dalam asosiasi petani kelapa sawit tingkat kabupaten, yang didirikan untuk memberikan layanan kepada semua petani di Kabupaten Seruyan yang ingin mendapatkan sertifikasi. Asosiasi petani kabupaten bertujuan untuk mengurangi biaya sertifikasi dengan mencapai skala ekonomi.

   \
   \
   **__Detail Intervensi:__**
   * Jumlah petani yang didukung       : 26 petani
   * Total luas lahan yang diintervensi : 37,8 hektar
   * Teknologi yang diperkenalkan       : Produksi pupuk organik dan pestisida

    \n 

   **__Dampak__:**

   Petani menerima pelatihan secara komprehensif mengenai pertanian organik, yang mencakup pengelolaan tanah berkelanjutan, pengendalian hama alami, praktik bebas bahan kimia, dan promosi keanekaragaman hayati. Hal ini membekali mereka dengan keterampilan bertani kelapa sawit yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

    \n 

   **__Langkah selanjutnya:__**

   Petani mendapat dukungan alat, bahan, dan pelatihan yang memungkinkan mereka untuk memproduksi pupuk organik secara mandiri, sehingga dapat membantu mereka dalam mempraktikkan praktik pertanian regeneratif berkelanjutan. Selain itu, petani akan diperkenalkan dengan praktik tumpang sari dalam praktik pertanian. Tumpang sari melibatkan penanaman tanaman berumur pendek atau spesies pohon berbeda secara bersamaan di lahan yang sama, dan dalam konteks ini bertujuan untuk membangun sistem polikultur.

   \
   \
   **__Kutipan:__**

   *“Kegiatan kelapa sawit organik ini sangat baik bagi petani karena biaya bahan kimianya tidak terlalu mahal, dapat dilakukan oleh siapa saja, ramah lingkungan, dan tidak merusak lingkungan dalam jangka panjang. Selama 2 tahun penggunaan pupuk organik (kotoran ayam) memberikan dampak yang sangat baik bagi tanah. Tanah menjadi gembur karena banyak muncul cacing. Dari segi produktivitas perkebunan, produksi semakin meningkat, dan program yang diadakan oleh Kaleka sangat membantu baik secara teknis maupun ilmu yang diberikan melalui pelatihan.”* – Pak Majianto

   \
   *“Program-program yang diadakan bagus dan sangat membantu para petani, terutama kami yang merupakan masyarakat pedesaan yang minim pengetahuan. Yang orang bilang pupuk a, b, dan c; ini baik; kami mengikutinya, tetapi kami tidak tahu apa isinya. Sejak penggunaan kelapa sawit organik pada tahun 2017, hasil perkebunan sangat baik, hal ini sangat mendukung program kelapa sawit organik. Bahannya mudah didapat, dan harganya tidak memberatkan petani.”* – Pak Sigilen

\
\
**__Foto:__**

 ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/villageentity/7048c149-aad6-4f9a-9eaa-3a676caaf5c0.png)

 ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/villageentity/86bfc6a4-9920-4469-a55d-a94c2c168b4c.png)


---

\

4. **Uji coba praktik agroforestri kelapa sawit baru bagi petani skala kecil**

   Mayoritas produksi pangan dilakukan oleh para transmigran di sektor pertanian, sementara sebagian besar penduduk lokal telah menghentikan praktik pertanian mereka dan membiarkan lahan mereka tidak ditanami selama lebih dari lima tahun. Untuk meremajakan lahan-lahan yang tidak aktif ini, sebuah proyek percontohan untuk sistem agroforestri kelapa sawit baru diluncurkan di Desa Bangkal dengan menyasar petani kecil. Tujuannya adalah untuk memperkenalkan praktik penanaman yang lebih beragam dalam praktik agroforestri serta mengurangi prevalensi budidaya kelapa sawit monokultur.

   \
   Tujuan utama inisiatif ini adalah untuk mengatasi tantangan lingkungan dan sosial. Dengan melakukan hal ini, proyek ini bertujuan untuk merevitalisasi pertanian lokal, meningkatkan keanekaragaman hayati, dan meningkatkan ketahanan dan penghidupan petani skala kecil.

   \
   \
   **__Detail Intervensi:__**
   * Jumlah petani yang didukung		    : 4 petani
   * Total luas lahan yang diintervensi 	: 1 hektar
   * Teknologi yang diperkenalkan 	    : Pembukaan lahan tanpa menggunakan praktek pembakaran; praktik pertanian semi-organik untuk lahan individu; dan tumpang sari pohon buah-buahan dan kelapa sawit.

   \
   \
   **__Dampak:__**

   
   1. Para petani diberikan dukungan dan bantuan untuk meningkatkan teknik pertanian dan budidaya. Panduan ini mencakup berbagai kegiatan dan inisiatif berbagi pengetahuan yang bertujuan membantu petani mencapai hasil panen yang lebih baik, kualitas tanaman yang lebih bernilai, dan praktik pertanian berkelanjutan.
   2. Kesediaan petani untuk berpartisipasi dalam praktik pertanian menunjukkan keinginan dan kesiapan mereka untuk terlibat aktif dalam berbagai aspek pertanian.
   3. Para petani menyatakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam inisiatif percobaan yang melibatkan penanaman pohon kelapa sawit bersamaan dengan tanaman buah-buahan lainnya.
   4. Petani memiliki peluang dan kapasitas untuk memperluas dan mendiversifikasi sumber pendapatan mereka di luar budidaya kelapa sawit, serta menambahkan tanaman buah-buahan ke dalam aktivitas pertanian mereka.

   \
   \
   **__Spesies:__**

   
   1. Jeruk (*Citrus sinensis*)
   2. Jambu Kristal (*Psidium guajava*)
   3. Nanas (*Ananas comosus*)
   4. Rambutan (*Nephelium lappaceum)*

   \
   \
   **__Langkah selanjutnya:__**

   
   1. Kegiatan pengadaan bibit tanaman dan penanaman.
   2. Penerapan ketahanan pangan di bidang pertanian melibatkan pendekatan komprehensif untuk menjamin pasokan pangan yang stabil dan memadai bagi masyarakat.

   \
   \
   **__Foto:__**

   \

 ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/villageentity/5abd438b-3ca7-46db-bed8-d071da442ec6.png)


---

\

5. **Penerapan pertanian regeneratif untuk keamanan pangan menggunakan sistem tumpangsari dalam budidaya tanaman pangan**

   Metode pertanian regeneratif dapat memainkan peran penting dalam menjamin ketahanan pangan dengan mendorong praktik pertanian yang tangguh dan berkelanjutan. Salah satu pendekatan pertanian regeneratif yang dapat meningkatkan ketahanan pangan adalah sistem tumpangsari, yang melibatkan penanaman beberapa tanaman secara bersamaan di lahan yang sama.

   \
   Untuk menerapkan metode pertanian regeneratif dengan sistem campuran dalam budidaya tanaman pangan di Desa Bangkal, perlu mempertimbangkan karakteristik spesifik, sumber daya, dan kebutuhan masyarakat.

   \
   \
   **__Detail Intervensi:__**
   * Jumlah petani yang didukung		    : 10 petani
   * Total luas lahan yang diintervensi	: 6 hektar
   * Teknologi yang diperkenalkan     	: metode pertanian regeneratif dengan menggunakan bahan organik, seperti pupuk kandang, dan menanam tanaman sela

   \
   \
   **__Dampak:__**

   
   1. Sistem tanam yang terdiversifikasi dan praktik regeneratif dapat menghasilkan produksi pangan yang lebih tinggi dan stabil. Masyarakat tidak terlalu rentan terhadap kegagalan panen yang disebabkan oleh hama, penyakit, atau kondisi cuaca buruk.
   2. Dengan menanam tanaman campuran dan mengintegrasikan berbagai praktik pertanian, masyarakat dapat meningkatkan potensi pendapatan mereka. Menjual kelebihan hasil panen, sayuran, kacang-kacangan, atau produk bernilai tambah dapat menciptakan aliran pendapatan tambahan bagi masyarakat.
   3. Memberikan pelatihan kepada anggota masyarakat mengenai metode pertanian regeneratif akan memberdayakan mereka dengan pengetahuan dan keterampilan untuk membuat keputusan yang tepat mengenai praktik pertanian mereka. Pengetahuan ini dapat dibagikan dan diwariskan kepada generasi mendatang.

   \
   \
   **__Langkah selanjutnya:__** Melanjutkan praktik pertanian regeneratif berkelanjutan secara mandiri oleh para petani.

   \
   \
   **__Foto:__**

   \

 ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/villageentity/54eef965-a1d7-410e-ad01-a994ad9483b1.png)


---

\
\

6. **Pembangunan Pusat Pembelajaran Petani *(Farmer’s Learning Centre)* untuk meningkatkan kapasitas petani dalam budidaya tanaman dan ternak**

   Pusat pembelajaran petani di Desa Bangkal merupakan fasilitas yang dirancang untuk memberikan pelatihan, pendidikan, dan sumber daya kepada petani. Didirikan untuk membantu petani dalam meningkatkan praktik pertanian mereka dan keterampilan mereka di berbagai bidang seperti budidaya tanaman, pengelolaan ternak, teknik pertanian berkelanjutan, dan banyak lagi. Selain itu, pusat pembelajaran ini diharapkan dapat mendukung dan memberdayakan petani untuk meningkatkan produktivitas pertanian, keberlanjutan, dan kesejahteraan mereka secara keseluruhan.

   \
   Desa Bangkal dipilih karena letaknya yang strategis, berjarak sama antara Pangkalan Bun dan Seruyan. Tahap pembangunan Pusat Pembelajaran Petani *(*FLC*)* saat ini telah dimulai meliputi persiapan material (15%). Pembangunan pusat pembelajaran ini melibatkan partisipasi masyarakat setempat.

   \
   Pusat pembelajaran ini dirancang untuk memiliki bangunan permanen, fasilitas kelas untuk tujuan pelatihan, auditorium untuk pertemuan, dan demplot seluas 3 hektar. Apalagi dimensi pusat pembelajaran meliputi area seluas 216 m² (satu lantai). Bangunan induk berada di lahan milik desa, sedangkan demplot pertanian menggunakan lahan milik warga setempat.

   \
   **__Detail Intervensi:__**
   * Jenis dukungan:

   
   1. Bangunan permanen (termasuk fasilitas ruang kelas untuk pusat pelatihan dan pembelajaran);
   2. Demplot pertanian dan kehutanan seluas kurang lebih 3 hektar;
   3. Alat pertanian;
   4. Pelatihan pembuatan pupuk organik;
   5. Kandang ternak;
   6. Rumah kompos.
   * Teknologi akan diperkenalkan, termasuk pengenalan pupuk organik dan penggunaan peralatan pertanian.

   \
   \
   **__Dampak:__**
   * Hal ini merupakan peluang yang baik untuk memperkenalkan Desa Bangkal kepada desa-desa lain. Hal ini dapat membantu memajukan budaya, potensi pertanian, dan cara hidup masyarakat di kawasan tersebut.
   * Pembentukan proses pembelajaran berbagi pengetahuan di kalangan petani diharapkan dapat memfasilitasi transfer informasi, keterampilan, dan pengalaman berharga terkait praktik dan teknik pertanian di antara para petani yang terlibat dalam pertanian di Desa Bangkal.
   * Pengenalan komoditas lokal diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap perekonomian, budaya, dan lingkungan lokal di Desa Bangkal.
   * Masyarakat lokal di Desa Bangkal akan dilibatkan dalam pemeliharaan *Farmer’s Learning Center* (FLC) dan berpartisipasi dalam produksi pupuk kompos.

   \
   \
   **__Foto:__**

   \

 ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/villageentity/fe433156-dfd3-4e51-9bf1-44243130db12.png)

 ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/villageentity/cf1839f7-cbde-4b32-a906-845c9a0797c0.png)

Bangkal

**Description:**

Batu Agung is located in the Central Seruyan sub-district of Seruyan district in Central Kalimantan Province. Topographically, it is located in the plains. It is 30 km away from the center of the sub-district. The village covers an area of 3319 ha, of which 47.8% is located within a forest.

\
Batu Agung has a total population of 1,620, and the primary sector of its economy is agriculture. It is approximated that the primary commodities in this village are dryland paddy and fruits (banana, durian, rambutan, and bread tree), as reflected in the Central Seruyan profile.

\
Oil palm farmers from the village are currently completing the RSPO certification process and expect to get certified by August 2023.

\
\
**The Spatial Plan:**

Batu Agung has not yet developed a village spatial plan. The existing village land use and land cover is detailed in the table and figure presented below. As shown in the table, Batu Agung contains three types of land cover areas; the oil palm plantation covers the highest percentage of area at 97% (3,217.33 ha), while the settlement area accounts for only 3%, at 88.38 hectares.

\
\
**Land cover area of Batu Agung**

| **Landcover** | **Area (ha)** | **%** |
|----|----|----|
| Settlement | 88.38 | 3 |
| Oil Palm Plantation | 3,217.33 | 97 |
| Mining | 13.42 | 0 |
| **Total** | **3,319.13** | **100** |

\
\
**Land cover and forest area map of Batu Agung**

 ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/villageentity/a2fc8629-f8f2-49a5-b988-156b11280e6b.jpg)


---

\
**Intervention**

**Palm Oil Certification**

The independent oil palm smallholders of Batu Agung village have been offered support to get certified according to the RSPO and ISPO standards.

\
The certification process commenced on 5 September 2021 and involved mapping of smallholders, training programs, and supporting farmers to obtain all the necessary legal documents. Farmers were also trained in free and fair work, occupational health and safety, and identification of high conservation value areas.

\
Farmers in the village belong to a district-level oil palm farmers’ association called the Association of Bahalap Palm Oil Farmers (APKSB), which was established to provide services for all farmers in Seruyan district who wish to be certified. The district farmers’ association aims to reduce the costs of certification by bringing it to scale.

\
\
__Intervention Details:__

* Number of farmers supported: 28 farmers from BUMDes (village-owned enterprises) Sumber Makmur
* Total area: 46.18 ha from BUMDes (village-owned enterprises) Sumber Makmur
* Number of land parcels: 53 land parcels in BUMDes (village-owned enterprises) Sumber Makmur
* Total production (per year): 18 ton per hectare (estimated value; data is still being checked, and the audit process is still ongoing)

\
\
__Impacts:__

* Oil palm farmers have learned good agricultural practices and obtained legal documentation.
* Farmers have adopted good agricultural practices in their oil palm plantations. For instance, they have adopted natural pest management techniques such as using the white buttercup flower (*Turnera subulata*), which helps eradicate pests in oil palm plantations They also plant hardwood/woody plants in riparian areas, five meters from the river.

\
\
__Partner:__

* [Action for Sustainable Derivatives (ASD)](https://kaleka.id/partners/action-for-sustainable-derivatives)

\


**Deskripsi:**

Batu Agung terletak di Kecamatan Seruyan Tengah, Kabupaten Seruyan, Provinsi Kalimantan Tengah yang secara topografis terletak di daerah dataran. Jaraknya 30 km dari pusat Kecamatan. Desa ini mencakup wilayah seluas 3319 ha dimana 47,8% wilayahnya terletak di dalam hutan.

\
Dengan jumlah penduduk 1.620 jiwa, sektor utama perekonomian Batu Agung adalah pertanian. Diperkirakan komoditas unggulan di desa ini adalah padi sawah dan buah-buahan (pisang, durian, rambutan dan sukun) yang tercermin dari profil Seruyan Tengah.

\
Petani sawit dari desa tersebut saat ini sedang menyelesaikan proses sertifikasi RSPO dengan harapan dapat tersertifikasi pada Agustus 2023.

\
 \n **Rencana Tata Ruang:**

Desa Batu Agung belum menyusun rencana tata ruang desa. Penggunaan lahan dan tutupan lahan desa yang ada dirinci dalam tabel dan gambar di bawah ini. Seperti terlihat pada tabel, tutupan lahan di Batu Agung terdiri dari tiga jenis tutupan lahan, yaitu perkebunan kelapa sawit dengan luasan terluas dengan persentase 97% (3.217,33 ha) sedangkan luas pemukiman hanya seluas 3% dengan 88,38 hektar.

\
\
**Tabel: Area Tutupan Lahan Desa Batu Agung**

| **Tutupan Lahan** | **Area (ha)** | **%** |
|----|----|----|
| Pemukiman | 88.38 | 3 |
| Perkebunan Sawit | 3,217.33 | 97 |
| Tambang | 13.42 | 0 |
| **Total** | **3,319.13** | **100** |

 \n 

**Figur 9. Tutupan Lahan dan Peta Area Hutan**

 ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/villageentity/a2fc8629-f8f2-49a5-b988-156b11280e6b.jpg)


---

\
**Intervensi**

**Sertifikasi Kelapa Sawit**

Petani sawit swadaya di Desa Batu Agung telah didukung untuk mendapatkan sertifikasi sesuai dengan standar *Roundtable on Sustainable Palm Oil* (RSPO) dan *Indonesian Sustainable Palm Oil* (ISPO).

\
Proses sertifikasi dimulai pada 18 April 2021 dan melibatkan pemetaan petani kecil, pelatihan dan pendampingan petani untuk mendapatkan semua dokumen hukum yang diperlukan. Petani juga dibimbing pada 8 Desember 2022 tentang kerja bebas dan adil, kesehatan dan keselamatan kerja, dan identifikasi kawasan bernilai konservasi tinggi.

\
Petani di desa tersebut tergabung dalam satu kabupaten, Asosiasi Petani Kelapa Sawit yang disebut Asosiasi Petani Kelapa Sawit Bahalap (APKSB), yang didirikan untuk memberikan pelayanan bagi seluruh petani di Kabupaten Seruyan yang ingin disertifikasi. Asosiasi petani kabupaten bertujuan untuk mengurangi biaya sertifikasi.

\
\
**__Detail Intervensi:__**

Jumlah petani yang didukung  : 28 petani dari BUMDes Sumber Makmur

Luas area                                 : 46.18 ha dari BUMDes Sumber Makmur

Jumlah bidang tanah               : 53 bidang tanah dari BUMDes Sumber Makmur

Total produksi (per tahun)       : 18 ton per hektar (nilai estimasi, data masih diperiksa dan proses audit masih berlangsung)

\
 \n **__Dampak__**

* Petani kelapa sawit telah mempelajari praktik pertanian yang baik dan memperoleh dokumentasi hukum.
* Petani telah mengadopsi praktik pertanian yang baik di perkebunan kelapa sawit mereka. Antara lain, mereka telah mengadopsi teknik pengendalian hama secara alami seperti menggunakan bunga *buttercup* putih (*Turnera subulata*), yang membantu membasmi hama di perkebunan kelapa sawit. Mereka juga menanam tanaman keras/berkayu di daerah riparian, lima meter dari sungai.

\
 \n **__Mitra:__**

* [Action for Sustainable Derivatives (ASD)](https://kaleka.id/partners/action-for-sustainable-derivatives)

\


Batu Agung

**Description:**

Bumi Jaya is an inland village located in Central Seruyan sub-district. It is one of the smallest villages by area in the sub-district. It is the closest village to Seruyan’s capital Kuala Pembuang, the sub-district-level downtown area. Bumi Jaya ranks as the most highly populated village within the sub-district, with a population density of 169.33 people per square kilometer as of 2021.

\
Like the entirety of Central Seruyan, the village is classified as a lowland, with an elevation of less than 500 meters above sea level. Agriculture is the principal occupation of the residents. Around 112 people are identified as palm oil farmers. Based on the age of the palm oil trees surveyed, it is suggested that Bumi Jaya is relatively new to palm oil cultivation. Nearly the entire land area is classified as outside state forests.

\
Bumi Jaya is moderately accessible; inter-village land transportation is available even though the village road is not paved with asphalt or concrete yet. The village is 100% electrified—all of the 614 households have access to electricity from the state-owned company PLN. Bumi Jaya is also one of the few villages in Central Seruyan that has a functioning village unit cooperative.

\
Bumi Jaya has made preparations for an external audit of Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) certification activities, with a target of 244 smallholders.

\
\
**The Spatial Plan:**

Bumi Jaya has not yet developed a village spatial plan. The existing village land use and land cover is detailed in the table and figure given below. As shown in the table, land cover area in Bumi Jaya consists of two types of land: oil palm plantation, covering 99% (2,211.23 ha) of land, and dryland farming, which accounts for only 1% of land, with an area of 31.96 ha.

\
\
**The land cover area of Bumi Jaya**

| **Landcover** | **Area (ha)** | **%** |
|----|----|----|
| Oil Palm Plantation | 2,211.23 | 99 |
| Dryland Farming | 31.96 | 1 |
| **Total** | **2,243.18** | **100** |

\
**The land cover and forest area map**

\
 ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/villageentity/b19a5c21-b2a3-43e7-a000-1e5b36c03ea9.jpg)

\

---

**Intervention**

**Palm Oil Certification**

The independent oil palm smallholders of Bumi Jaya village have been offered support to get certified according to the RSPO and Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) standards.

\
The certification process commenced on 18 April 2021 and involved mapping of smallholders, training programs, and helping farmers obtain all the necessary legal documents. Farmers were also trained in free and fair work, occupational health and safety, and identification of high conservation value areas.

\
Farmers in the village belong to a district-level oil palm farmers’ association called the Association of Bahalap Palm Oil Farmers (APKSB), which was established to provide services for all farmers in Seruyan district who wish to be certified. The district farmers’ association aims to reduce the costs of certification by bringing it to scale.

\
\
__Intervention Details:__

* Number of farmers supported: 243 farmers from KSU (multi-business cooperative) Usaha Bersama
* Total area: 366.61 ha from KSU (multi-business cooperative) Usaha Bersama
* Number of land parcels: 413 land parcels in KSU (multi-business cooperative) Usaha Bersama
* Total production (per year): 18 ton per ha (estimated value; data is still being checked, and the audit process is still ongoing)

\
\
__Impact:__

* Oil palm farmers have learned good agricultural practices and obtained legal documentation.
* Farmers have adopted good agricultural practices in their oil palm plantations. For instance, they have adopted natural pest management techniques such as using the white buttercup flower (*Turnera subulata*), which helps eradicate pests in oil palm plantations. They also plant hardwood/woody plants in riparian areas, five meters from the river.

\
\
__Partner:__

* [Action for Sustainable Derivatives (ASD)](https://kaleka.id/partners/action-for-sustainable-derivatives)

\
\


**Deskripsi:**

Bumi Jaya adalah desa pedalaman yang terletak di kecamatan Seruyan Tengah. Ini adalah salah satu desa terkecil berdasarkan wilayah di kecamatan. Ini adalah desa terdekat dengan ibu kota Seruyan, Kuala Pembuang, pusat kota setingkat kecamatan. Bumi Jaya menempati urutan sebagai desa terpadat di kecamatan dengan kepadatan penduduk 169,33 orang per kilometer persegi pada tahun 2021.

\
Seperti Keseluruhan Seruyan Tengah, desa ini digolongkan sebagai dataran rendah dengan ketinggian kurang dari 500 meter di atas permukaan laut. Bertani merupakan pekerjaan utama penduduk. Sekitar 112 orang teridentifikasi sebagai petani kelapa sawit. Berdasarkan umur pohon kelapa sawit yang disurvei, Bumi Jaya relatif baru dalam membudidayakan kelapa sawit. Hampir semua kawasan diklasifikasikan sebagai di luar kawasan hutan.

\
Desa Bumi Jaya cukup mudah untuk dijangkau, tersedia transportasi darat antar desa meskipun jalan desa belum diaspal atau dibeton. Dari 614 rumah tangga yang tinggal di sana, hampir seluruhnya memiliki akses listrik dari perusahaan milik negara (PLN). Selain itu, Desa Bumi Jaya juga merupakan salah satu dari sedikit desa di Seruyan Tengah yang memiliki koperasi unit desa yang aktif dan berfungsi.

\
Di Desa Bumi Jaya telah dilakukan persiapan audit eksternal kegiatan sertifikasi RSPO dengan target sebanyak 244 petani.

\
 \n **Rencana Tata Ruang:**

Desa Bumi Jaya belum menyusun rencana tata ruang desa. Penggunaan lahan dan tutupan lahan desa yang ada dirinci dalam tabel dan gambar di bawah ini. Seperti terlihat pada tabel, tutupan lahan di Bumi Jaya terdiri dari dua jenis tutupan lahan, yaitu perkebunan kelapa sawit dengan luasan terluas dengan persentase 99% (2.211,23 ha) dan lahan pertanian lahan kering yang hanya tertutup 1% dengan seluas 31,96 hektar.

\
 \n **Tabel 7. Area tutupan lahan Desa Bumi Jaya**

| **Tutupan lahan** | **Area (ha)** | **%** |
|----|----|----|
| Perkebunan Sawit | 2,211.23 | 99 |
| Pertanian Lahan Kering | 31.96 | 1 |
| **Total** | **2,243.18** | **100** |

\
\
**Gambar 8. Peta Tutupan Lahan dan Kawasan Hutan**

 ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/villageentity/b19a5c21-b2a3-43e7-a000-1e5b36c03ea9.jpg)

\

---

\
**Sertifikasi Kelapa Sawit**

Petani sawit swadaya di Desa Bumi Jaya telah didukung untuk mendapatkan sertifikasi sesuai dengan standar Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

\
Proses sertifikasi dimulai pada 18 April 2021 dan melibatkan pemetaan petani kecil, pelatihan dan pendampingan petani untuk mendapatkan semua dokumen hukum yang diperlukan. Petani juga dibimbing pada 8 Desember 2022 tentang kerja bebas dan adil, kesehatan dan keselamatan kerja, dan identifikasi kawasan bernilai konservasi tinggi.

\
Petani di desa tersebut tergabung dalam satu kabupaten, Asosiasi Petani Kelapa Sawit yang disebut Asosiasi Petani Kelapa Sawit Bahalap (APKSB), yang didirikan untuk memberikan pelayanan bagi seluruh petani di Kabupaten Seruyan yang ingin disertifikasi. Asosiasi petani kabupaten bertujuan untuk mengurangi biaya sertifikasi.

\
\
__Dampak__


1. Petani kelapa sawit telah mempelajari praktik pertanian yang baik dan memperoleh dokumentasi hukum.
2. Petani telah mengadopsi praktik pertanian yang baik di perkebunan kelapa sawit mereka. Antara lain, mereka telah mengadopsi teknik pengendalian hama secara alami seperti menggunakan bunga *buttercup* putih (Turnera subulata), yang membantu membasmi hama di perkebunan kelapa sawit. Mereka juga menanam tanaman keras/berkayu di daerah riparian, lima meter dari sungai.

\
\
__Detail Intervensi:__

* Jumlah petani yang didukung  : 243 petani dari KSU (Koperasi Serba Usaha) Usaha Bersama
* Luas area                                 : 366.61 hektar dari KSU (Koperasi Serba Usaha) Usaha Bersama
* Jumlah bidang tanah               : 413 bidang tanah dari KSU (Koperasi Serba Usaha) Usaha Bersama
* Total produksi (per tahun)       : 18 ton per hektar (nilai estimasi, data masih diperiksa dan proses audit masih berlangsung)

\
 \n __Mitra:__

* [Action for Sustainable Derivatives (ASD)](https://kaleka.id/partners/action-for-sustainable-derivatives)

\


Cerita Kami

Update Terakhir